Di Negeri Asing
Saya bersama istri pernah tertahan di area parkir Danish, dan berusaha memikirkan bagaimana caranya melakukan pembayaran. Bahasanya sama sekali tidak kami mengerti, dan tombol-tombolnya berwarna kuning dan biru. Dari pengalaman tinggal di Amerika saya bisa menebak bahwa tombol merah kemungkinan berarti “batal” dan tombol hijau berarti “masuk”, tetapi tombol kuning dan biru? Namun syukurlah, dengan kekuatan gabungan otak kami (dan sedikit tebakan beruntung), kami akhirnya bisa keluar juga. Perjalanan ke luar negeri, meskipun relatif baru bagi kami, telah memperdalam ikatan kami sebagai suami istri, mengajar kami untuk mentertawakan ketidaktahuan kami bersama dan menggabungkan sumber daya kami yang terbatas untuk memahami segala sesuatu yang tampaknya begitu aneh. Hal yang kurang disadari banyak orang adalah, bahwa dari sudut pandang Alkitab, setiap pasangan pernikahan Kristen itu tinggal di negeri asing, dan memahami hal ini dapat memperdalam persahabatan dalam pernikahan.
Para Peziarah
Tahukah Anda mengapa the Pilgrims menyebut diri mereka “para peziarah”? Bukan karena mereka sudah melakukan ziarah ke luar negeri sampai ke Amerika, tetapi karena mereka tahu bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal mereka: “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang” (Ibrani 13:14). Bagaimana jika kita memandang pernikahan juga melalui kacamata ini – sebagai dua sahabat yang berkelana di negeri asing?
Para peziarah hidup dengan mengingat kebenaran mulia ini: "Kita semua akan menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya, baik ataupun jahat." (II Korintus 5:10). Hal yang disebut Paulus di sini adalah “takhta pengadilan Kristus,” saat yang akan dihadapi semua orang Kristen. Pengadilan ini bukan untuk menentukan apakah kita akan menikmati kekekalan bersama Allah atau tidak – yang sudah dijamin pasti melalui karya penebusan Yesus di kayu salib. Takhta pengadilan Kristus adalah proklamasi tentang apa yang sudah kita lakukan dengan kasih karunia dan pemeliharaan Allah dalam hidup kita.
Perkataan “baik atau pun jahat” dapat diterjemahkan dengan “entah berguna atau pun tidak.” (Ada kata lain yang bisa dipilih Paulus jika ia hendak menekankan kata “jahat”). Kelak kita akan ditanya tentang bagaimana respons kita terhadap tindakan belas kasihan Allah yang luar biasa: Apakah kita hanya berpangku tangan bermandikan berkat-berkat Allah dan mengisi hari-hari kita dengan hal-hal yang tak berguna dan memuaskan diri sendiri saja? Atau apakah kita seperti Paulus, yang bekerja dengan pemahaman bahwa kita akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita ini kepada Bapa surgawi?
Menjadi sahabat bagi istri saya berarti menolongnya agar siap menghadapi hari yang mulia ini – ingin melihatnya mendapat ganjaran dalam hidup ini dan juga menerima berkat-berkat dalam kekekalan. Pandangan sebagian besar dari kita adalah bagaimana membuat pernikahan kita lebih menyenangkan atau lebih memuaskan sekarang ini; kita ingin menjadi sahabat selama di bumi. Hal ini baik, namun Alkitab mendorong kita untuk mengarahkan pandangan kita lebih dari itu, karena cara kita menjalani pernikahan di bumi ini akan berdampak dalam kekekalan. Allah adalah Pencipta yang sungguh baik sehingga kesenangan-kesenangan dunia seperti tertawa, persahabatan, makanan lezat, keintiman seksual, dan percakapan hampir dapat membuat kita berpikir, Hidup tidak bisa menjadi lebih baik lagi dari ini. Padahal Allah berkata ada kehidupan yang lebih baik. Yang jauh sangat baik.
Percakapan pada Hari Itu
Perlu diperhatikan bahwa Paulus berkata, Tuhan akan memberi ganjaran atas apa pun yang baik yang kita lakukan, bukan atas kebaikan yang kita terima. Pengertian ini saja dapat mengubah cara kita memandang hari-hari pernikahan kita dan cara kita memelihara persahabatan atas dasar saling melayani.
Pada hari yang disebut para teolog sebagai tahta pengadilan Kristus itu, Allah akan bercakap-cakap dengan setiap kita. Di tengah percakapan ini, kita akan melihat apa yang sudah terjadi pada kita – termasuk dalam pernikahan kita – dari perspektif yang sangat berbeda daricara kita memandang pernikahan selama ini. Saya akan mendapat ganjaran bukan atas bagaimana istri saya sudah mengasihi saya, tetapi atas bagaimana saya sudah mengasihi istri saya selama di bumi. Allah tidak akan bertanya pada saya, “Gary, apakah Lisa mengetahui bahasa kasihmu dan menghargainya? Apakah ia menghormatimu?Apakah ia tahu kebutuhan-kebutuhanmu dan berusaha memenuhinya? Melainkan, Tuhan akan bertanya, “Gary, tahukah kamu bahasa kasih Lisa, dan apakah kamu bermurah hati dengan pengetahuanmu itu? Apakah kamu mengerti kebutuhannya untuk disayangi, diterima dan dikasihi, dan membanjirinya dengan hal-hal itu? Apakah kamu berusaha menolongnya menjadi sepenuh pribadi yang Kuciptakan baginya, atau apakah kamu memperlakukannya sebagai pembantu yang akan memenuhi segala kebutuhan dan keinginanmu sendiri?” dan kekekalan saya akan diteguhkan oleh jawaban yang saya berikan.
Jika saya hanya hidup untuk saat ini, saya akan menganggap “hari baik” jika Lisa memperhatikan, menghargai dan melayani saya dan membuat hidup saya lebih menyenangkan. Saya sudah hidup bertahun-tahun dengan definisi “hari baik” dan persahabatan kami pun menderita karenanya. Alih-alih memikirkan apakah saya sudah menjadi sahabat yang baik, saya malah terobesi dengan apa yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan) sebagai pasangan hidup saya. Dengan hidup untuk kekekalan, saya kini memandang “hari baik” sebagai saat saya mendapat berkat dari kesempatan untuk menghargai Lisa, melayaninya dan membuat hidupnya lebih menyenangkan, karena itulah yang paling menyukakan Allah saya.
Ketika kita hidup dengan memandang kepada hari yang akan datang itu, dan bukan hanya selalu berfokus pada hari ini, segalanya berubah. Kita mulai mencari-cari kesempatan untuk mengasihi, melayani, memberi semangat dan menghargai, dan bukan terobsesi dengan bagaimana segala kebutuhan kita dapat terpenuhi dengan baik. Dan sementara kita melakukan hal ini, persahabatan kita akan semakin dalam. Pasangan pernikahan yang menjalani kehidupan dengan tetap mengingat tahta pengadilan Kristus dan membiarkannya menguasai agenda mereka untuk menjadi sahabat sejati harus mengadopsi Ibrani10:24 sebagai ayat tema mereka: “Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.” Pemberian apa lagi yang lebih baik dan dapat saya lakukan bagi istri saya—sahabat terbaik saya dalam Kristus—selain menolongnya melakukan sesuatu yang akan membuatnya mendapat ganjaran di surga? Bagaimana jika saya mendoakannya, mendukungnya, menguatkannya dan memberinya saran-saran agar ia menjadi lebih mampu daripada jika ia hidup dengan dirinya sendiri saja? Bukan saja ia akan menerima berkat ketaatan dalam hidup ini, saya juga sudah menolongnya untuk memperoleh berkat berlipat ganda dalam kehidupan yang akan datang. Jadi, Anda lihat, hidup untuk hari itu bukanlah suatu bentuk religius untuk menghindar. Bukan tentang keluar dari bumi ini. Tetapi tentang mengecek apa yang terjadi di sini dengan intensitas baru sementara karya penebusan Allah dinyatakan melalui kita.
– Gary Thomas