Hadiah dari Catatan di Pinggir Halaman
Oleh Jamie A. Hughes
Bangku gereja berderit saat orang mulai duduk di atasnya dan mengipasi diri mereka dengan buletin gereja. Papan lantai kayu naik, dan unit jendela yang bergerak secara tidak teratur dari belakang ruang ibadah yang kecil itu. Tempat ini memiliki pengalih perhatian yang terus-menerus, khususnya bagi seorang anak perempuan berusia 8 tahun yang dapat melihat indahnya musim semi hanya dengan memandang melalui jendela. Namun saya tidak mendengar semuanya itu ketika James – paman saya dan satu nama – membuka Alkitabnya ke Kisah Para Rasul 27 dan mulai berkhotbah.
“Apakah menurut Anda, melayani Tuhan itu benar-benar sepadan?” ia bertanya. “Paulus dan Lukas merasa demikian.” Selama 45 menit kemudian, saya duduk dan terpesona mendengarkan kisah yang ia ceritakan tentang kapal yang diombang-ambingkan badai dan terdampar di atas karang berbatu. Dia meringkuk melawan angin, mengangkat tali-tali kapal, dan melemparkannya ke laut. Dan kisah tentang seekor ular beludak di Malta pada pasal 28? Ia juga memperagakan kisah itu, ular yang mengigit tangan kanannya dikibaskan dengan telapak kirinya.
Paman James mati empat tahun lalu setelah berjuang melawan kanker prostat. Saya sangat merindukannya, namun syukurlah, tidak seperti orang lainnya di generasinya yang menganggap bahwa membuat catatan di Alkitab sama artinya dengan vandalisme, ia dengan bebas membumbui Alkitabnya dengan keterangan dan komentar yang berwarna. Dengan membaca salinannya, saya belajar bukan hanya tentang pentingnya beberapa kata dan hubungan antar ayat, namun juga tentang pribadinya. James tidak dapat membaca tentang satu karakter tanpa menambahkan pemikirannya. Ayah Izebel, Etbaal, “bukan siapa-siapa selain orang kafir yang jahat” dalam pemikiran paman James. Dan Ahab? Dia adalah “yang terburuk diantara semuanya.”
Dengan membaca salinannya, saya belajar bukan hanya tentang pentingnya beberapa kata dan hubungan antar ayat, namun juga tentang pribadinya.
Ia juga mencatat momen-momen ajaib seperti halnya seorang anak kecil, seperti saat ia melingkari Kisah Para Rasul 12:10 dan menambahkan catatan (dalam huruf besar semua): “Tuhan menyuruh pintu gerbang tua yang besar itu untuk terbuka dan membuka jalan bagi Petrus!!!” dan dalam Yakobus 1, persis disamping kalimat, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan,” pengamatan dia adalah, “Tidak masuk akal. Tapi Tuhan memang tidak masuk akal. Dia melakukan mujizat.”
Alkitabnya juga memberitahu saya bahwa hubungan paman James dengan Tuhan adalah hubungan yang jujur. Di samping Filipi 1:29 dimana Paulus membahas tentang menderita bagi Yesus, ada hadiah yang berharga – suatu pengakuan yang berbunyi, “Depresi ini begitu berat. Namun aku mencari wajah Tuhan dan Ia berfirman kepadaku. Dia benar-benar melakukannya! Sangat jelas di dalam hatiku.” Saat saya tumbuh dewasa, saya tahu paman James bergumul dengan keraguan dan depresi yang mengikutinya, namun halaman itu menjadi bukti positif bahwa hatinya telah ditentramkan dan penderitaannya mereda.
Saya juga tahu bahwa ia percaya kepada pengharapan yang Allah janjikan, sebab kata itu dilingkari di seluruh Perjanjian Lama dan Baru – terkadang dengan tinta hitam, terkadang dengan tinta merah, hijau, atau biru. Sekali waktu, saya membuka seluruh isi Alkitab untuk melihat tepatnya berapa kali ia menandai dan mendapati kejutan yang menyenangkan menanti di Roma 5 – suatu penanda buku bertuliskan beberapa kalimat dari Emily Dickinson: “Pengharapan itu seumpama burung / yang bertengger di jiwa / dan menyanyikan lagu tanpa kata-kata / dan tidak pernah berhenti sama sekali.”
Setiap kali saya membuka Alkitab paman James, saya duduk di sampingnya sama seperti ketika saya masih kecil. Kami berpegangan tangan, dan ia menceritakan kepada saya kisah-kisah tentang raksasa yang terbunuh oleh batu kerikil, telinga yang terpotong pedang ditempelkan kembali ke kepala seorang budak, dan kisah yang terbaik dari semuanya itu adalah seorang Juruselamat yang mengasihi saya melebihi nyawa-Nya sendiri.
Dari yang saya lihat, pemikiran paman saya tidak membangkang pada Firman Tuhan. Pemikirannya justru mengasihi Firman Tuhan. Ia menambahkan sedikit dari dirinya, sedikit dari kisahnya kepada narasi Allah yang luar biasa. Di pinggir halaman itu, janji-janji Tuhan dan bukti kebenarannya tumpang tindih. Ini adalah hadiah yang ia tinggalkan tanpa disadarinya, dan hadiah itu telah sangat memperkaya hidup saya. Ini adalah salah satu hal yang tidak sabar saya ingin sampaikan kepadanya suatu saat nanti. Saya tahu saya akan berjumpa lagi dengan dirinya, sebab Yohanes 14:3 mengatakannya. Dan karena paman James menggaris-bawahinya … tiga kali.