Kasih Adalah Bahasa Asli Kita
(Kimberly Coyle)
Menggunakan bahasa universal Kristus
Setelah pergi selama sepuluh hari, putri saya yang lebih tua kembali ke rumah dari sebuah perjalanan ke India yang disponsori sekolah. Ia menceritakan pada saya kunjungannya ke Nirmal Hriday, rumah yang didirikan Bunda Teresa untuk orang-orang sakit dan sekarat.Saya tahu pengalaman ini adalah pengalaman yang membuat putri saya paling dekat bersentuhan dengan kematian. Ia bercerita pada saya,bahwa ketikaia tibadi Nirmal Hriday, seorang anggota staf memberinya sebuah balok plastik putih dengan petunjuk-petunjuk singkat untuk memijat kulit dan tulang pasien-pasien yang terikat di tempat tidur agar tubuh merekatidak menjadi luka-luka. Saya membayangkan ia berdiri dengan alat pijat di tangannya, terdiam dan tidak yakin.
Staf itu memintanya untuk bercakap-cakap dengan pasien ketika ia menyentuh mereka, tetapi ia merasa kata-katanya akan menjadi penghiburan kosongdan tidak mengena. Pertama, karena ia memiliki kendala bahasa. Kedua, karena faktanya ia baru berusia 19 tahundan belum banyak mengenal penderitaan. Jadi, tanpa berkata-kata, ia merawat tubuh mereka dan menggenggam tangan orang-orang yang sekarat. Sebagai gantinya, ia menyanyikan lagu-lagu lembutuntuk mereka.
Ketika ia bercerita lebih rinci pada saya, saya membayangkan pertanyaan-pertanyaan para pasiennya. Apakah ini tepat? Jika aku mati sendirian di tempat tidur di suatu tempat yang jauh di dunia ini, apakah aku menginginkan nyanyian yang tak kukenal dan sentuhan lembut seorang anak muda asing untuk mengantarku ke suatu tempat yang tak kelihatan di antara bumi dan langit?
Nama Nirmal Hriday berarti “pure hearts” (hati yang bersih) dalam bahasa Hindi. Apakah rumah ini diberi nama berdasarkan para perawatnya ataukahpara pasiennya, saya bertanya-tanya. Bunda Teresa pernah berkata tentang pelayanannya di sana, “Kematian yang indah adalah bagi orang-orang yang hidup seperti binatang namun mati seperti malaikat – dikasihi dan diinginkan.” Apakah ini kematian yang indah yang mereka inginkan?
Beberapa bulan kemudian, putri saya yang lebih muda masuk ke dapur ketika saya sedang mencuci piring, dan di sela-sela suara desir air dan sabun yang lembut, ia bercerita pada saya bahwa ia sudah menyelesaikan tugas sekolahnya dengan mempelajari Rohingya, kelompok orang-orang yang teraniaya. Dalam laporannya, ia mengikuti perpindahan mereka ketika mereka mencari tempat perlindungan dan keamanan di negara-negara lain dan mengharapkan sekilas rasa kemanusiaan yang umum.Setelah menggeledah makanan kecil, ia membanting pintu dapur dengan keras sambilberucap di sela-sela suara air mengalir, “Mereka disebut sebagai orang-orang yang paling tidak memiliki teman di dunia. Tragis sekali.”
Ketika putri saya melangkah keluar dapur, liriksebuah lagu yang kami nyanyikan di gereja muncul di benak saya. “Aku adalah sahabat Tuhan,” dan saya bertanya-tanya, apakah orang-orang Rohingya yang tidak memiliki teman itu merasakan relasi dengan Tuhan ketika mereka mengembara. Apakah mereka menyanyikan lagu-lagu pembebasan dalam bahasa asli mereka?
Dari waktu ke waktu, saya mengumpulkan pikiran-pikiran saya tentang penderitaan di tempat yang lebih dalam dan tersembunyi. Kelompok-kelompok orang yang teraniaya ada di sana, dan saya mencoba berempati dengan orang-orang yang dibenci karena siapa mereka dan bagaimana mereka berjuang. Di sana, di hati saya, Rohingya menyatu dengan Pure Hearts di India.
Bersama kisah-kisah tentang Rohingya dan orang-orang sekarat di India, saya sudah mengumpulkan banyak kisah tentang keluarga-keluarga imigran yang mencari tempat yang aman.Beberapa tahun lalu, seorang teman dari Nebraska mensponsori satu keluarga pengungsi Yazidi yang datang dengan suaka dari Irak. Keluarga itu tidak dapat berkomunikasi dengan teman saya selama berbulan-bulan, selain melalui penerjemah dan gerak isyarat fisik. Setelah mapan, keluarga ini menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mengundang teman saya untuk makan malam, dan teman saya mengirim pesan pada saya yang berbunyi, “Apa yang akan kami percakapkan? Kami tidak saling mengerti bahasa masing-masing!” Mereka menjamu dengan makanan asli dari Irak sambil duduk bersila dengan nyaman di lantai apartemen baru keluarga itu.
Seiring berjalannya waktu, keluarga itu mulai menyerap budaya Amerika dengan pergi ke sekolah, belajar bahasa Inggris dan mencoba berasimilasi. Mereka bahkan memberi nama putri mereka yang baru lahir dengan nama teman saya yang sangat Amerika itu, yang merasa heran mengapa mereka memilih nama itu. Saya percaya itu karena mereka mengerti “bahasa” teman saya itu. Perhatian dan kasihnya kepada mereka berbicara tanpa kata-kata tentang Tuhan, persahabatan, penerimaan dan rasa menjadi bagian.
Ketika saya menutup mata saya dan mengembara ke tempat yang lebih dalam dan tersembunyi di mana orang-orang yang teraniaya, miskin dan tak memiliki teman berkumpul, saya melihat Kristus di pusat semua kisah penderitaan ini. Dia juga menunjukkan keberbedaan. Dia juga menyiapkan meja. Dia juga mengembara dan menanggung penderitaan hebat. Kristus berkomunikasi dengan bahasa universal yang dimengerti oleh orang-orang dari semua budaya dan segala zaman jika kita bersedia mendengarkan. Dia telah memberi kita contoh kasih agar kita dapat belajar berbicara tentang penebusan dalam kisah satu sama lain.
Paulus di dalam 1 Korintus menulis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing” (1 Korintus 13:1). Saya merasa malu dengan suara berisik yang tanpa kasih ini, tetapi sebagai pengikut Kristus, saya harus mengingatkan diri saya sendiri bahwa: Kasih adalah bahasa asli kita, bahasa pertama dan utama kita.