Keinginan
Gregory E Ganssle
Dalam kehidupan iman, di mana tempat yang tepat untuk keinginan manusia?
Orang Kristen sering berpikir bahwa yang kita percayai adalah hal yang paling berarti dalam hidup kita. Namun, meskipun yang kita percayai itu pasti penting, ternyata yang paling memengaruhi hidup kita adalah keinginan kita. Agustinus menjelaskannya dengan baik ketika ia menulis dalam Enchiridion, “Karena ketika ada pertanyaan tentang apakah seseorang itu baik, yang ditanyakan bukanlah tentang apa yang ia percayai atau ia harapkan, tetapi apa yang ia sukai.”
Para pemasang iklan tahu benar bahwa keputusan-keputusan kita lebih dipengaruhi oleh keinginan kita daripada kepercayaan kita. Saya ingat waktu saya berada di Leningrad pada tahun 1986, pada waktu istilah glasnost (yang artinya kira-kira “keterbukaan”) belum ditemukan. Kami mengajak seorang teman kami orang Rusia ke salah satu tempat penukaran valuta asing. Tempat-tempat penukaran uang untuk transaksi internasional ini hanya menerima mata uang negara Barat dan yang diperbolehkan masuk juga hanya orang-orang Barat. Di salah satu dinding tempat itu terpampang iklan rokok yang sangat besar, sekitar 3 kali 9 meter. Dan di sana ada gambar pemandangan yang indah dengan seorang pria yang sedang bersampan menyusuri sungai pegunungan yang deras di tengah hutan yang hijau lebat. Di sudut kanan bawah, ada gambar satu pak rokok. Teman kami tidak pernah melihat iklan semacam itu. Satu-satunya papan iklan yang pernah saya jumpai di Uni Soviet saat itu adalah papan propaganda Partai Komunis.
“Anda lihat, Arkosha,” saya menjelaskan, “Gambar orang bersampan itu membangkitkan suasana hati atau keinginan untuk menjadi orang seperti itu. Dan suasana hati atau keinginan itu dihubungkan dengan merek rokok itu. Desain iklan itu memiliki tujuan untuk membuat kita berpikir, Aku adalah tipe orang petualang. Aku seharusnya mengisap rokok Marlboro.
Arkosha tercengang. “Maksud Anda orang-orang Amerika benar-benar akan membeli sesuatu karena hal seperti ini?” tanyanya. Ia tak dapat memercayai hal itu.
“Kami selalu jatuh dalam hal-hal seperti itu.”
Anda dapat melihat bahwa Agustinus benar ketika ia mengatakan bahwa yang kita sukai cenderung lebih memengaruhi, dan menjadi lebih penting dari yang kita percayai. Tak ada orang yang berpikir, secara sadar, bahwa merek rokok tertentu dapat memberikan kehidupan yang lebih menantang daripada merek lainnya. Jika ada orang yang mengaku memiliki bukti tentang kebenaran perkataan ini, Anda mungkin akan tertawa. Tetapi keinginan kita akan kehidupan semacam itu dapat membuat kita menghubungkan keduanya. Siapa dan apa yang kita inginkan akan memengaruhi keputusan-keputusan kita.
Jika keinginan-keinginan kita sangat berpengaruh, maka kita tentu perlu memperhatikan keselarasannya dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen. Banyak dari kita, jika mau jujur, merasakan pertentangan dalam hal-hal yang kita inginkan. Di satu sisi kita merasa bahwa mengejar atau bahkan memikirkan keinginan-keinginan kita sendiri adalah hal yang egois. Hidup yang berpusat pada diri sendiri itu adalah ciri kehidupan yang Yesus mau kita tinggalkan. Namun di sisi lain, Yesus menyatakan bahwa Dia datang untuk memberi hidup yang berkelimpahan. Dengan kata lain, Dia akan memberi kita kehidupan yang paling kita inginkan.
Jika saya meninjau keinginan-keinginan saya sendiri, saya mendapati bahwa keinginan-keinginan itu agak rancu dan tidak terstruktur. Kebanyakan keinginan itu terkait dengan situasi-situasi saya saat ini. Saya ingin segala sesuatu berjalan Iancar. Pada intinya, keinginan dasar saya adalah semua peristiwa di dunia ini dapat berjalan seiring dengan rencana-rencana saya. Artinya, mobil saya tidak akan mogok, proyek-proyek menulis saya akan terselesaikan dengan baik, keluarga saya tidak akan sakit, dan saya dapat memiliki sedikit waktu yang tidak tergesa-gesa setiap hari untuk minum kopi dan bercakap-cakap dengan istri saya. Jika saya jujur, saya melihat bahwa saya ingin kehidupan saya itu seperti liburan terus-menerus. Ini adalah keinginan saya yang egois. Keinginan ini sebenarnya tidak terlalu buruk, tetapi mencerminkan keberpusatan saya pada diri sendiri saja.
Namun, jika saya menilik kembali keinginan-keinginan saya tentang liburan, saya menemukan keinginan yang lebih besar untuk bekerja. Saya mendambakan kehidupan yang berarti. Saya ingin yang saya lakukan memiliki dampak bagi kerajaan Tuhan dan kehidupan orang-orang di sekitar saya. Saya ingin menjadi orang yang berintegritas dan murah hati. Saya ingin mengalami Tuhan lebih dalam lagi. Saya mendambakan relasi-relasi yang bukan sekadar pertemanan yang dangkal. Saya menginginkan pengharapan untuk masa depan saya.
Keinginan-keinginan ini tidak berfokus pada diri sendiri seperti keinginan tentang liburan. Bagaimana pun, keinginan-keinginan ini sesuai dengan tujuan yang Tuhan rancangkan untuk hidup saya. Keinginan-keinginan saya yang lebih dalam dan keinginan-keinginan Tuhan untuk saya berjalan seiring. Ada banyak ayat dalam Alkitab yang menunjukkan keselarasan ini. Salah satu contohnya yang jelas terdapat dalam Injil Matius. Yesus berkata kepada orang banyak, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matius 11:28-30). Perhatikanlah bahwa Yesus sedang menarik keinginan kita. Kita semua mendambakan kelegaan dari letih lesu dan berbeban berat. Kita merindukan istirahat – istirahat bagi jiwa kita! Siapa yang akan berkata tidak untuk kehidupan semacam ini? Dan, kehidupan seperti inilah yang Dia sendiri ingin hasilkan di dalam setiap kita. Kerinduan-kerinduan kita yang lebih dalam adalah kerinduan-kerinduan yang sangat selaras dengan tujuan-tujuan Tuhan untuk hidup kita.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa kita tak perlu berpaling dari keinginan-keinginan kita itu: Keinginan-keinginan itu adalah cara Tuhan mendekatkan kita pada diri-Nya. Dalam buku Mere Christianity, C. S. Lewis mengakui hasrat dan keinginan manusiawi kita yang mendasar itu sebagai pemberian Tuhan. Ia menulis bahwa hasrat dan keinginan itu mengalihkan perhatian kita kepada Tuhan dan kepada tujuan utama hidup kita untuk bersama Dia selamanya.
Manusia tidak akan dilahirkan dengan keinginan-keinginan jika keinginan-keinginan itu tidak dapat dipuaskan. Seorang bayi merasa lapar: ada sesuatu yang menjadi makanan. Seekor bebek ingin berenang: ada sesuatu yang menjadi air. Laki-laki merasakan hasrat seksual: ada sesuatu yang disebut seks. Jika saya menemukan suatu keinginan dalam diri saya yang tak dapat dipuaskan di dunia ini, penjelasan yang paling mungkin adalah saya diciptakan untuk dunia lain. Jika tidak ada kesenangan duniawi saya yang memuaskan, ini tidak berarti bahwa dunia ini adalah penipuan. Mungkin kesenangan duniawi itu memang tidak dimaksudkan untuk memuaskan, tetapi hanya untuk dibangkitkan, untuk menunjukkan suatu hal yang nyata. Keinginan-keinginan kita, menurut Lewis, adalah anugerah dan sarana yang dapat dipakai Tuhan untuk kebaikan, kesukaan dan kepuasan kita sendiri.
Namun tidak semua keinginan membawa kita kepada Tuhan. Saya sudah katakan bahwa keinginan-keinginan itu bisa rancu. Saya memiliki keinginan-keinginan yang dangkal maupun yang lebih dalam, namun harus saya akui bahwa keinginan saya yang lebih dalam pun seringkali rancu, termasuk yang tersimpan di dalam jiwa saya, yang menepiskan Tuhan. Saya menginginkan kehidupan yang dipasangi kuk Yesus, yang mengubah beban saya yang berat menjadi beban-Nya yang ringan, tetapi saya juga ingin menjadi diri saya sendiri – untuk menjalani kehidupan dengan cara saya sendiri. Saya memiliki resistensi untuk bersandar pada-Nya demi kebaikan saya. Yesus memanggil saya untuk datang, tetapi saya seringkali tidak datang.
Konflik inilah, saya kira, yang membuat orang mencurigai apa yang mereka inginkan. Kita tahu kita mendua-hati. Kita merindukan Tuhan, tetapi kita juga ingin menjadi diri kita sendiri. Seperti Paulus yang berseru, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma 7:24). Jawabannya bukan dengan menekan keinginan kita atau berpura-pura tidak ada masalah, tetapi dengan mendisiplinkannya. Dan kita mendisiplin keinginan-keinginan yang berpusat pada diri sendiri dengan mengembangkan keinginan-keinginan yang berfokus pada Tuhan. Dengan demikian, semakin saya merindukan kehidupan yang Tuhan inginkan untuk saya, semakin lemah cengkeraman saya untuk berfokus pada diri sendiri.
Lalu, bagaimana kita mengembangkan keinginan-keinginan yang berfokus pada Tuhan? Saya menemukan dua latihan/disiplin rohani yang sangat bermanfaat. Yang pertama adalah latihan mengucap syukur: saya mulai mengucap syukur pada Tuhan atas apa saja yang muncul di pikiran saya. Ketika saya memulainya, pikiran-pikiran yang muncul seringkali hanya hal remeh-temeh dan tidak mengesankan. Namun jika saya dengan sadar mengucap syukur pada Tuhan atas hal-hal kecil itu, saya mendapati bahwa saya akan dengan cepat bergerak ke hal-hal besar dalam hidup saya, yang sangat saya syukuri. Saya mungkin memulai dengan bersyukur pada Tuhan atas cuaca yang baik. Dan tak lama, saya pun sudah mengungkapkan rasa syukur saya atas keluarga, pekerjaan, dan cara-cara Tuhan menjumpai saya setiap hari. Perhatian saya beralih dari keasyikan yang dangkal kepada karunia-karunia mendalam yang mencirikan hidup saya. Saya mengenali tangan Tuhan secara nyata. Panggilan pemazmur untuk “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu” (Mazmur 34:8) menjadi nyata bagi saya secara baru. Saya sungguh mengecap dan melihat kebaikan-Nya.
Latihan yang kedua adalah merenungkan janji-janji kehidupan dalam Yesus. Latihan ini mencakup merenungkan janji-janji-Nya secara terus-menerus. Saya mencerna janji-janji itu perlahan-lahan: Dia menjanjikan kelegaan bagi jiwa saya (betapa saya sangat merindukan kelegaan ini); Dia menjanjikan beban yang ringan (betapa saya merindukan beban yang ringan); Dia berjanji bahwa saya tidak akan mengarungi hidup ini sendirian (betapa saya rindu dipasangi dengan kuk-Nya ketika saya mengarungi hidup ini).
Di dalam Injil Yohanes, kata hidup digunakan sekitar 30 kali oleh Yesus atau tentang Yesus. Dia adalah Roti Hidup. Dia adalah Kebangkitan dan Hidup. Dia adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Dia memberikan hidup yang berkelimpahan kepada kita (Yohanes 6:35, 11:25, 14:6, 10:10). Yesus memanggil kita untuk mengalami hidup-Nya. Saya perlu waktu dan fokus untuk dapat menyelami arti kehidupan supernatural yang diberikan Tuhan ini. Ketika saya merenungkan berbagai aspek kehidupan yang Dia janjikan, saya melihat kebaikan Tuhan dalam hidup saya sendiri: saya mengalami kasih dan kemurahan-Nya dan merasakan tangan-Nya yang lembut menopang saya.
Latihan-latihan rohani ini—disiplin mengucap syukur dan merenungkan janji-janji Tuhan dalam kehidupan – memfokuskan perhatian saya pada kebaikan Tuhan pada saya. Ketika perhatian saya terfokus, keinginan-keinginan saya muncul. Melalui ungkapan syukur yang tulus, hati saya diselaraskan dengan hati Tuhan. Dengan merayakan berkat kehidupan-Nya, kerinduan saya akan Dia pun semakin dalam.
Di dalam otobiografi rohaninya yang terkenal yang berjudul Confessions, Agustinus yang mengamati pekerjaan Tuhan dalam keinginan-keinginan kita, berdoa: “Engkau membangkitkan kami, membuat kami senang memuliakan-Mu, karena Engkau menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sebelum kami mendapatkan kelegaan di dalam-Mu.” Jadi, kesenangan-kesenangan dan keinginan-keinginan kita adalah sarana Tuhan untuk membawa kita kepada-Nya. Kita akan tetap gelisah dengan keinginan-keinginan yang berfokus pada diri sendiri dan tidak didisiplin sampai kita menyadari bahwa kerinduan kita yang terdalam membawa kita kepada Tuhan sendiri.