Kekacauan yang Kudus
Bahkan di kota Betlehem, tidak ada yang namanya malam senyap.
Saya menyukai lagu “O Little Town of Bethlehem” dan “Silent Night” dengan melodi sayu tentang jalan yang sepi dan gelap dari desa ini di bawah bintang-bintang, yang sedang menanti dengan penuh harap dan rasa takut akan kelahiran Kristus. Namun kota Betlehem yang saya temukan pada kunjungan terakhir saya ke Timur Tengah sama sekali tidak senyap ataupun sayu. Sebaliknya, kota ini penuh sesak, gaduh, dan penuh suara knalpot, selagi para pengemudi membunyikan klakson mereka dan berteriak terhadap satu sama lain melalui jendela yang terbuka.
Kelompok kecil saya singgah di Gereja Nativity, dimana kami menemukan sedikit kedamaian. Ini adalah gereja tertua di dunia yang berfungsi sejak tahun 339 Masehi, dibangun di tempat yang kata Justin Martyr, kemungkinan besar tempat Yesus lahir.
Basilika besar ini sedang direnovasi. Perancah silang menyilangi interior ruangan, menutupi pilar-pilar yang begitu indah dan lantai mozaik kuno. Tidak terpengaruh dengan semua itu, orang dari seluruh dunia berdiri dengan sabarnya mengantri. Saya pun berdiri dan menyaksikan serta mengikuti petunjuk. Semuanya datang untuk hal ini: turun ke gua, untuk berlutut dan bersandar ke suatu gua kecil dimana hampir tidak cukup untuk satu orang. Disana, ada bintang perak menghiasi lantai, menandai tempat dimana banyak orang percaya sebagai tempat Maria melahirkan Yesus. Udara terasa pengap dan lembab. Seorang wanita lanjut usia duduk dalam penyembahan beberapa detik terlalu lama dan sang pemandu wisata berteriak dengan tidak sabar kepadanya “Sudah cukup! Ini terlalu lama! Kamu keluar!” sebelum menyuruh orang lain masuk.
Realita masa kini [akan Betlehem] menghancurkan gambaran masa kecil saya akan tempat ini.
Ketika saya keluar dari gua itu, saya dapat mendengar sang pemandu wisata dari seberang gereja berbicara dalam bahasa Italia, Perancis, Polandia dan Inggris – suara mereka bercampur dengan obrolan hening para peziarah. Itu adalah suara yang indah, namun kemudian ada yang berteriak, “Berhenti! Berhenti bicara! Kamu!” Saya melihat seorang polisi di sudut yang cukup jauh, memberi tanda kepada sang pemandu. Orang terus berbicara, tak terpengaruh dengan anjurannya. Ia mencoba lagi, lebih keras kali ini, “Kebaktian akan dimulai. Berhenti sekarang atau saya usir Anda semua keluar!” Akhirnya kegaduhan di ruang ibadah Ortodoks ini berakhir.
Kacau sekali, pikir saya. Gereja ini dipenuhi dengan polisi dan enam denominasi yang mengoperasikan kebaktian yang terpisah-pisah, semuanya mengklaim tempat kelahiran Kristus ini. Terkadang ada kedamaian diantara mereka – terkadang tidak. Polisi sampai harus melerai para imam yang berkelahi di beberapa kesempatan.
Hari itu belum berakhir. Mendekati akhir tur, sang pemandu tanpa diduga membawa kami ke suatu toko suvenir. Hal ini tidak ada dalam jadwal kami. Ia tersenyum dan mengusap kedua tangannya sambil meminta kami semua untuk berbelanja habis-habisan. “Semuanya sedang obral – diskon 20 persen, hanya untuk Anda!” katanya. Kedua pria mendekati kami sambil tersenyum lebar, siap untuk mengantar kami ke kasir. Beberapa menit kemudian, kebanyakan orang dalam grup saya meninggalkan toko tanpa membeli apa-apa. Sang pemilik yang berpakaian rapi, berlari keluar, mendekati saya dan mulai memohon: “Anda harus mendukung kami! Anda hanya harus membeli sesuatu disini!”
Itu bukanlah hari yang menyenangkan di Betlehem, seperti yang saya bayangkan. Saya tidak menemukan kedamaian sama sekali di tempat itu; tidak ada kota kecil yang indah yang sedang menantikan seorang Juruselamat. Saya tidak menemukan momen sunyi, tidak ada cahaya dari jalan-jalan yang gelap – hanyalah teriakan yang datang dari gereja yang mendewakan kelahiran-Nya. Realita masa kini itu menghancurkan gambaran masa kecil saya akan tempat ini.
Namun kemudian, setelah saya kembali ke rumah, saya menyadari betapa semua ini memberikan harapan. Memang, ada pergulatan konstan atas kota itu dan atas gereja itu, sebab keduanya dianggap sangat berharga. Dan apakah Betlehem sangat berbeda dari hari yang kudus itu? Oleh karena adanya sensus, setiap orang kembali ke kampung halamannya dan pemilik hotel mengambil keuntungan. Restoran kebanjiran pengunjung. Setiap keluarga menyewa kamar apapun yang ada, dan ditagih secara berlebihan. Kebisingan, debu, kotoran hewan di sandal – setiap orang terlalu sibuk menghasilkan uang dan berusaha untuk menyelesaikannya secepat mungkin. Mereka tidak menyadari adanya bayi yang lahir di kandang malam itu. Semuanya dalam keadaan kacau.
Saya merasa begitu lega. Saya jadi ingin tinggal diam dan tenang saat Natal. Saya tidak akan menjadikan segala sesuatu bersih atau indah. Akan ada kamar yang kotor dan teriakan karena ketidaksabaran. Akan ada banyak orang di waktu yang salah dan tidak cukup orang di waktu yang tepat. Program Natal yang saya sedang tulis untuk gereja kami tidak akan luar biasa, dan kami akan lupa kalimat yang kami harus ucapkan. Kami akan berusaha untuk mencari keuntungan dari musim libur ini, menjual barang-barang kami – dan kami pun akan menghabiskan uang terlalu banyak. Usaha saya untuk menciptakan suatu katedral penyembahan bagi Yesus, kemungkinan akan berakhir sebagai kekacauan.
Namun Yesus telah mengetahui semuanya ini, dan pada akhirnya, segala sesuatu akan baik-baik saja. Sebab inilah persisnya model tempat yang Ia pilih untuk dilahirkan. Inilah persisnya tipe orang yang Ia pilih untuk dilahirkan di antara mereka. Dan inilah persisnya tipe orang yang baginya Ia dilahirkan, untuk menyelamatkan mereka.
Kita tidak perlu membersihkan semuanya atau membuat semuanya sempurna. Kita berikan tempat untuk saat indah ini. Kita berlutut. Dan masuk ke dalamnya.
Sumber: “http://www.intouch.org/contributors/leslie-leyland-fields” Leslie Leyland Fields