Ketika Anda Menunggu

(Karen Swallow Prior)

Penderitaan dan Karakter Kesabaran

Setiap kali saya diminta memberi nasihat kepada kaum muda, saya selalu menyampaikan hal yang sama: Bersabarlah. Yang saya maksud dengan perkataan ini adalah: Tenang. Jangan tergesa-gesa. Hidup masih panjang. Berusahalah dengan sungguh-sungguh, maka ganjaran akan datang. Mimpi-mimpi—sebagian—akan menjadi kenyataan. Mimpi-mimpi yang tidak menjadi kenyataan akan diganti dengan yang lain, yang bahkan mungkin lebih baik.

                Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kesabaran lebih dikaitkan dengan hal-hal yang umum dan bersifat praktis. Misalnya ketika kita harus berhenti di lampu merah, berdiri mengantre, menunggu meja, dan lain-lain. Tetapi karakter kesabaran mengandung arti yang lebih dari sekadar menunggu.

Hakikat kesabaran adalah kesediaan menanggung penderitaan.

Sesungguhnya, penderitaan adalah arti dari akar kata untuk kesabaran (patience), dan ini diperjelas oleh fakta bahwa kita juga memakai kata sabar (patient) untuk orang yang sedang dalam perawatan medis (pasien). Menariknya, akar kata patient sama dengan kata passion yang juga berarti penderitaan. Seseorang yang memiliki passion – misalnya dalam hal musik, olahraga, atau orang tertentu – rela menderita demi obyek passion itu. Dan ketika kita berbicara tentang “The Passion of Christ,passion di sini benar-benar merujuk pada penyaliban – kesengsaraan Kristus di salib, demi kita. Jadi dalam arti yang menyeluruh, kesabaran adalah kesediaan untuk menjalani atau menanggung penderitaan. Dan kesabaran adalah sebuah “virtue” (kebajikan, kualitas moral, karakter, atau sifat yang baik).

Karena penderitaan tak dapat dihindari di dunia ini, kedengarannya mungkin bodoh jika kita menganggap kesediaan untuk menderita sebagai kebajikan. Tetapi, meski penderitaan tak dapat dielakkan, kita dapat memilih tentang cara menanggung atau menjalaninya. Menunjukkan kesabaran berarti menjalani atau menanggung penderitaan dengan baik.

Saya mulai menulis artikel ini ketika Tuhan menganggap sudah tepat waktunya untuk menguji seberapa jauh sebenarnya saya memercayai yang saya tuliskan. Dia tidak hanya memberi saya kesempatan untuk memahami karakter kesabaran secara abstrak, tetapi juga secara konkret dalam kehidupan nyata. Dua hari setelah saya menyelesaikan konsep awal tulisan ini, saya tertabrak bus ketika sedang menyeberang jalan. Penderitaan fisik paling mengerikan dalam hidup saya pun dimulai.

Namun, dengan sempat merenungkan tentang karakter kesabaran beberapa saat sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi, benar-benar merupakan anugerah besar. Sesungguhnya, saya sempat membaca kembali kitab Ayub, salah satu tokoh yang paling terkenal dengan kesabarannya yang saleh dalam sejarah manusia. Dari kisahnya, dan teladannya, yang kemudian dipuji dalam surat Yakobus 5:10-11, muncul ungkapan klasik “kesabaran Ayub.”

Terbaring di rumah sakit, dengan berbagai peralatan medis yang dipasang – dengan tulang-tulang yang remuk dan jahitan-jahitan dari ujung kepala sampai ujung kaki – saya teringat pada yang dikatakan Allah kepada Iblis untuk menguji hamba-Nya yang setia itu: “Ia ada dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya.” (Ayub 2:6). Seberat apa pun kesakitan dan penderitaan saya, nyawa saya – seperti halnya nyawa Ayub – masih dijaga. Rasa syukur kepada Allah muncul seketika dalam hati saya, meski untuk menggeliat saja, saya meringis dengan amat kesakitan. Saya tahu, seburuk apa pun keadaan saya saat itu, saya bisa saja mengalami hal yang jauh lebih buruk. Penderitaan Ayub tentu saja amat jauh lebih buruk. Dalam ujian iman yang diizinkan Allah terjadi padanya, Ayub kehilangan semua anaknya, seluruh hewan ternaknya, kesehatannya, rasa hormat istrinya dan juga teman-temannya. Tetapi ia tidak mengutuki Allah. Ayub berseru, mengeluh dan meratap di hadapan Allah, tetapi ia tidak kehilangan imannya. Jawaban Allah atas seruan penderitaan Ayub merupakan kata-kata yang seharusnya merendahkan hati semua orang yang memiliki telinga untuk mendengar:

“Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?

Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!

Siapakah yang telah menetapkan ukurannya?

Bukankah engkau mengetahuinya? –

Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?

Atas apakah sendi-sendinya dilantak,

dan siapakah yang memasang batu penjurunya

pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama,

dan semua anak Allah bersorak-sorai?” (Ayub 38:4-7)

Ayub mendengarkan dan menerima perkataan Tuhan ini, dan Allah kemudian mengembalikan kepada Ayub semua kehilangannya, bahkan jauh lebih banyak dari yang dimilikinya semula.

Moral cerita Alkitab ini adalah bahwa Allah akan menambahkan kemakmuran kita atau mengakhiri penderitaan kita jika kita benar-benar memelihara iman kita kepada-Nya? Bukan sama sekali! Siapa pun kita, di mana pun kita tinggal, atau apa pun yang kita miliki di dunia ini, kita tak dapat terhindar dari penderitaan. Namun jika kita memiliki karakter kesabaran, kita dapat menanggung penderitaan tanpa kehilangan iman atau memilih respons yang berdosa.

Ahli filsafat kuno Aristoteles mungkin bisa membantu kita dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa semua sifat baik (virtue) adalah pertengahan di antara yang berlebihan dan yang sangat kurang. Kesabaran adalah pertengahan di antara kemarahan yang berlebihan dan kasih yang terlalu sedikit. Ketika mengalami penderitaan, entah karena kesalahan sendiri atau orang lain, orang saleh menyikapinya dengan tidak sangat marah dan juga tidak sangat tenang, tetapi dengan kesabaran yang sedang. Ayub adalah teladan kesabaran sempurna karena ia tidak marah kepada Allah dan juga tidak menyerah kalah. Ia menerima kehilangannya meski dengan mempertanyakannya juga. Jadi Ayub merupakan contoh terbaik yang dapat saya tiru dalam penderitaan saya sendiri ketika saya mencari – dan terus mencari – apa yang Tuhan mau saya pelajari melalui keadaan itu, tanpa menyangkali penderitaan saya atau menjadi pahit karenanya.

Salah satu tokoh sastra favorit saya adalah Jane Eyre. Dalam novel yang berjudul sama dengan namanya, kita menjumpai Jane sebagai seorang gadis kecil yatim piatu yang tinggal bersama bibinya yang kejam dan saudara-saudara sepupunya yang dengki. Jane merasa kesepian dan tidak dikasihi, dan ia jadi suka menyerang (pemarah). Keluarga itu lalu mengirimnya untuk tinggal di sekolah berdana-bantuan, yang murid-muridnya telantar dan menderita kelaparan, dengan kondisi-kondisi yang sangat buruk sampai beberapa dari mereka menjadi sakit dan mati. Dari semua situasi ini, penderitaan Jane yang terberat adalah merasa selalu menjadi orang luar, tidak pernah dikenal dan dikasihi sebagaimana adanya. Pada awalnya, reaksinya adalah marah. Tetapi lama kelamaan – dan melalui pengaruh teladan-teladan yang baik – ia belajar untuk menjalani penderitaannya dengan baik.

Jane lulus dari sekolah itu dan kemudian menjadi guru di sebuah keluarga kaya yang nyentrik yang tinggal di daerah suram dan terpencil. Perlahan-lahan, Jane yang polos dan pendiam mulai saling jatuh cinta dengan Edward Rochester, majikannya yang galak dan menakutkan. Namun, pada saat Jane mulai percaya bahwa kerinduannya selama ini untuk dimiliki seseorang secara permanen akan menjadi kenyataan, impiannya justru hancur dengan cara yang paling menyedihkan.

Jane tergoda untuk merespons dengan menentang Tuhan dan ajaran-ajaran Kristen yang sudah membentuk diri dan kehidupannya. Tetapi ia tidak melakukannya. Ia menanggung penderitaannya – betapapun beratnya penderitaan itu – dan memilih untuk tidak merespons dengan berbuat dosa. Lagi-lagi Jane menghadapi ujian kesabaran kesalehannya, dan lagi-lagi kesabarannya menunjukkan tahan uji.

Ketika akhirnya Jane menemukan cinta dan menikah, situasinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Sekarang ia memasuki pernikahan bukan sebagai bawahan yang mengemis cinta dan ingin dimiliki, tetapi sebagai pasangan yang sepadan dan sama-sama dewasa.

Baik Jane maupun Ayub mendapat ganjaran atas kesabarannya. Tokoh Alkitab maupun tokoh fiksi itu pada akhirnya menerima lebih dari yang mereka miliki atau harapkan sebelumnya. Tetapi kita tidak boleh memikirkan kebajikan/sifat baik (virtue) seperti ini. Kita harus menunjukkan kesabaran – seperti juga semua kebajikan/sifat baik (virtue) lainnya seperti keberanian, kesederhanaan, kemurahan dan kerendahan hati – untuk kebaikan kesabaran itu sendiri, bukan dengan harapan memperoleh hadiah materi atau relasi tertentu atas tindakan kita. Seperti kata pepatah, “Sifat baik (virtue) itu sendiri adalah sebuah ganjaran.”

Namun penderitaan bukanlah hal yang kebanyakan dari kita jalani dengan baik, termasuk saya. Suami saya, orang paling sabar yang saya kenal, selalu menjadi pengingat saya tentang betapa tidak sabarnya saya,bahkan dalam bentuk-bentuk penderitaan yang paling ringan. Saya seorang yang cepat ketika berjalan, suka spontan ngetwit postingan, pembeli yang impulsif, dan tukang interupsi. Saya sulit sekali bersikap tenang jika harus menanti pesanan makanan lebih dari tiga menit. Kehidupan awal-awal kami dipenuhi dengan “penderitaan-penderitaan” kecil semacam itu yang menguji kesabaran kami. Terkadang bahkan lebih sulit menghadapi ujian-ujian kecil daripada ujian-ujian besar. Saya berharap kesabaran yang saya belajar lakukan akibat kecelakaan itu dan sesudahnya dapat menolong saya untuk melakukan kesabaran dalam hal-hal yang kurang signifikan ini.

Akibat kejatuhan, dunia dipenuhi dengan orang-orang yang gagal – namun memiliki kemungkinan dalam penebusan. Tetapi kesakitan, penderitaan, kesalahan dan ketidakadilan, menjadi tak terelakkan akibat kejatuhan ini. Gagal memahami realitas dunia saat ini atau janji pembaruan yang akan datang dapat membawa kita ke sisi buruk kesabaran yang di pertengahan itu: marah karena tidak bisa menerima realitas dunia, atau putus asa yang membuat kita menarik diri dari realitas ini.

Untuk memahami realitas dunia, kita perlu mengenali Sang Pencipta dan karakter-Nya. Kesabaran paling sempurna bukan hanya diperoleh dari teleologi (kesadaran akan rancangan Allah) tetapi jugadari eskatologi. Sesungguhnya Alkitab berkata, “Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya. Panjang sabar lebih baik dari pada tinggi hati. Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh” (Pengkhotbah 7:8-9).

Dalam bukuAfter You Believe, N. T. Wright menulis tentang kesabaran sebagai berikut: “Orang yang percaya kepada Allah, Sang Pencipta, dan kemenangan akhir dari maksud-maksud baik-Nya bagi dunia, tidak akan tergesa-gesa mengambil solusi cepat-tepat, baik untuk diri mereka sendiri maupun dalam pekerjaan dan misi mereka – namun mereka juga tidak akan berlambat-lambat untuk memakai kesempatan-kesempatan yang diberikan Tuhan ketika hal itu datang.”

Barangkali tidak ada yang menunjukkan jenis kesabaran ini – kepercayaan kepada Allah dan kemenangan akhir dari maksud-maksud baik-Nya, serta kebijaksanaan untuk membedakan antara solusi cepat-tepat dan kesempatan dari Allah – lebih baik dari Maria, ibu Yesus.

Dan barangkali tidak ada saat yang lebih baik untuk merenungkan tentang karakter kesabaran iniselain pada minggu-minggu Adven. Adven adalah masa penantian; penantian terwujudnya kesabaran kita. Adven menandai saat kita menantikan kelahiran Yesus, kedatangan Mesias yang dijanjikan itu. Dengan memperingati kedatangan Kristus yang pertama, kita menunjukkan kesabaran yang kita butuhkan ketika kita menantikan kedatangan-Nya yang kedua.

Dalam masa penantian ini, sungguh mencerahkan jika kita merenungkan kesabaran yang ditunjukkan Maria sebagai ibu Kristus. Betapa dahsyatnya penantian yang ia jalani!

Pertama-tama, Maria harus menantikan penggenapan pesan pertama yang disampaikan secara sangat tak terduga dan mengejutkan oleh malaikat Gabriel kepadanya: ia akan mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan Anak Allah yang mahatinggi. Seperti apa rasanya menantikan dan menyaksikan perkataan aneh ini menjadi kenyataan?

Kemudian, setelah tubuhnya menunjukkan kebenaran pesan pertama itu, Maria masih harus menantikan penggenapan selanjutnya, tanpa mengetahui pasti kapan dan bagaimananya. Setelah Yesus lahir, dan ketika para gembala yang datang menyembah-Nya mulai berbicara tentang hal-hal yang mereka dengar dan lihat, Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19). Kesabaran macam apa yang diperlukan Maria ketika ia menyaksikan nubuat yang disampaikan padanya perlahan-lahan mulai terwujud lewat berlalunya hari-hari dan tahun-tahun dalam kehidupan putranya?

Tentu saja penderitaan terhebat yang dialami Maria adalah di kaki salib, ketika ia menyaksikan anaknya mati, tanpa mengetahui bagaimana pengorbanan itu akan berakhir. Namun ia menjalani penderitaan ini dengan baik, definisi kesabaran yang sesungguhnya, karena ia sudah menyetujuinya sejak 33 tahun yang lalu, ketika ia berkata kepada malaikat Gabriel, “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38). Kesabaran Maria memberi kita teladan untuk diikuti ketika kita sangat menderita dan tidak tahu bagaimana atau kapan penderitaan itu akan berakhir.

Sebagian dari kita akan mengalami penderitaan yang tidak berakhir bahagia di dunia ini. Masa Adven mengingatkan kita bahwa kesabaran yang kita tunjukkan di masa sekarang ini adalah gambaran awal dari penggenapan yang akan datang. Tetapi penggenapan itu sudah dimulai dari saat ini dan di sini. Kita dapat menunjukkan kesabaran yang merupakan buah Roh itu pada hari ini dan setiap hari – melalui berbagai tantangan besar maupun kecil. Karena seperti dikatakan di Lukas 21:19, “Dengan tetap bertahan dan sabar itulah, kita akan memperoleh hidup kita.”