Ketika Gereja Tidak Lagi Terasa Seperti Rumah

(Michael Morgan)

Keluarga rohani saya adalah segala yang selalu saya inginkan – sampai akhirnya tidak lagi seperti itu.

Anda tidak meninggalkan gereja karena Anda berkembang di situ. Dan setelah 13 tahun, Anda tidak meninggalkannya dengan mudah. Tetapi apa yang Anda lakukan jika tempat yang Anda sebut rumah itu tidak lagi terasa seperti rumah? Dulu ketika saya baru pindah ke kota itu dan tinggal di apartemen yang menghadap ke lapangan parkir mal yang kosong, saya merasa terisolasi. Tetapi gereja lama saya langsung menjadi acuan saya. Iman yang sudah saya kembangkan berakar dengan cara baru di sana. Saya mendapatkan teman-teman dewasa baru, membawa makanan lagi ke acara ramah tamah, merasakan kehangatan mendalam pada acara persekutuan Minggu malam di rumah teman setelah ibadah. Saya menemukan tempat dan jemaat. Saya menyukai keanggotaan saya. Lalu saya bergabung menjadi staf gereja.

***

Melihat ke belakang, waktu saya sebagai staf sangat ketat. Bekerja dari hari Selasa sampai Minggu, perlahan-lahan saya mulai kehilangan kontak dengan orang-orang yang pernah merawat saya sebelumnya. Sebagai gantinya, saya membina hubungan dengan sesama anggota staf. Sepanjang hari saya berada di sekitar orang-orang yang saya kagumi sembari membantu menyiapkan khotbah dan menulis renungan mingguan untuk gereja. Hal yang menggairahkan bagi seorang anak muda yang sedang mencari tempatnya. Hal yang berbahaya bagi seorang anak yang naif yang tidak menyadari bahwa ia membutuhkan batasan-batasan.

Baru-baru ini saya melihat-lihat foto lama dari saat itu dan menemukan satu foto saya bersama istri dua bulan setelah kami menikah. Kami berdiri di bawah sinar matahari musim gugur yang kering, memegang semacam labu – kebersamaan pada hari Sabtu yang jarang terjadi karena saya bekerja 20-30 jam setiap akhir pekan. Kesedihan menyelimuti saya ketika saya melihat dua orang muda yang bahagia itu. Bertemu hanya pada waktu malam setiap hari kerja dan sebentar saja pada hari Minggu malam bukanlah hal yang ideal untuk memulai kehidupan pernikahan.

Anda bisa menekan tombol jeda pada persahabatan (meskipun saya tidak menyarankannya). Tetapi Anda tidak bisa menekan tombol berhenti sejenak dalam pernikahan. Setelah dua tahun memilih antara istri baru dan pekerjaan, saya keluar. Dan tiba-tiba saja relasi-relasi saya dengan anggota staf lainnya menghilang, sama seperti relasi-relasi saya dengan teman-teman sebelumnya yang lenyap. Hidup telah menarik kami ke arah yang baru. Suatu hari kami menengadah ke atas dan menyadari bahwa kami sendirian.

***

Kehadiran kami di gereja semakin jarang pada musim panas sebelum kami mulai mengunjungi gereja-gereja lain. Sejujurnya, kami bisa saja menggunakan akuntabilitas tertentu – seseorang yang bertanggung jawab mengecek kami, menanyakan di mana kami. Tetapi saya tidak melihat hal itu terjadi. Menyadari kenyataan bahwa keluarga saya sudah terputus dari tubuh Kristus membuat terpukul. Kami telah jatuh terselip di celah-celah.

Pada saat itu gereja sedang berkembang secara eksponensial, sehingga ada jauh lebih banyak wajah-wajah asing daripada yang kami kenal. Kami seringkali bisa duduk selama ibadah dan pergi tanpa bertegur sapa dengan seseorang atau seseorang menyapa kami. Rasanya salah jika kami menghadiri ibadah hari Minggu seperti menghadiri pertandingan bola.

Di gereja besar, kelompok-kelompok kecil seharusnya menjembatani kesenjangan antara ibadah bersama dan kehidupan sehari-hari. Kami mencoba tiga kelompok. Dua yang pertama perlahan-lahan melempem dan bubar, tetapi yang ketiga tampaknya lebih baiik. Lalu beberapa orang mulai merencanakan liburan akhir pekan dengan sengaja tidak mengikutsertakan satu keluarga – keluarga yang mengundang istri saya. Dan ternyata itu karena kami.

Keputusan untuk meninggalkan gereja terjadi di penghujung musim yang panjang – setelah hampir 10 tahun kami bertahan dan berharap menemukan jalan keluar. Rasanya sakit untuk pergi, dan sejujurnya, memang benar sakit.  Kami pergi sebagai anggota dengan reputasi baik, yang akan merindukan pendeta-pendeta yang baik dan jemaat yang sehat dan berakar-kuat secara rohani yang tetap berada di sana. Keputusan kami bukanlah suatu hukuman atau kritik terhadap gereja – sama sekali bukan. Kami hanya pergi sebagai keluarga yang tidak lagi merasa seperti di rumah.

***

Ketika mengunjungi bakal gereja kami pada suatu hari Minggu, saya dan istri sedang berjalan bersama anak-anak kami ketika sepasang anak laki-laki kembar berlarian mendekat. Teman-teman sekelas anak sulung saya ini sangat gembira melihat teman sekolah mereka ada di gereja. Saya tak bisa mengharapkan panitia penyambutan yang lebih baik lagi. Saya dan istri masing-masing berpikir, Mungkin inilah rumah baru kita.

Sebulan kemudian, kami duduk di aula pertemuan gereja pada acara makan malam Natal tahunan. Gedung itu penuh dengan meja-meja dan meja-meja itu penuh dengan piring-piring kosong ketika acara makan malam berakhir. Seseorang mengambil pengeras suara dan meminta semua anak-anak dari paduan suara untuk maju ke depan. Anak sulung kami yang duduk semeja dengan beberapa anak seusianya melihat ke arah saya untuk memastikan ia tidak perlu maju. Tetapi yang membuat saya  terheran-heran, anak bungsu saya – yang baru berumur 4 tahun saat itu – bangkit dari tempat duduknya. Saya ingat saya memerhatikannya ketika ia berjalan meninggalkan kami dan mengatakan hal seperti, “Hey teman, kamu yakin? Tidak masalah jika aku dan ibu bersamamu.” Tetapi tidak—ia hanya berjalan maju dan mencari tempat di anak tangga. Ia tidak banyak menyanyi karena ia tidak mengenal lagu-lagunya. Tetapi ia ikut bergabung seakan-akan ia bagian dari mereka.

Sulit mengungkapkan rasa syukur saya atas betapa cepatnya gereja baru kami merangkul dan menarik kami masuk. Awalnya hampir membingungkan. Tetapi kemudian kami menemukan sebuah kelompok kecil, dan saya dan istri sering kagum bagaimana semalam bersama orang-orang itu dapat mengubah sama sekali hari Minggu yang penuh kekesalan dan kelesuan. Kami belajar kembali bagaimana dikenal dan didoakan, bahkan pada masa-masa kami yang paling kelam. Kami belajar kembali tentang indahnya mengakui kesalahan-kesalahan kami sendiri (MazmurHYPERLINK “https://www.intouch.org/read/articles/when-church-stopped-feeling-like-home” 32:1-11). Kami bahkan menerima pesan teks ketika beberapa minggu dan akhir pekan yang sibuk membuat kami tidak muncul pada hari Minggu. “Hanya sekadar mengecek kalian, gaes. Semua baik-baik saja ‘kan?” Saya menjawab pesan-pesan teks itu dengan agak malu, tetapi bersyukur ada yang bertanya. Bersyukur karena mereka dan yang lainnya tetap bertanya.