Ketika Tuhan Berbicara Dengan Lembut
(Aline Mello)
Tidak semua perkataan Tuhan terdengar seperti yang kita harapkan.
Sebagai seorang anak, saya sering membaca Alkitab Perjanjian Lama. Saya ingin membaca kisah-kisah petualangan, kekuatan, dan kedahsyatan yang menggetarkan yang terdapat di halaman-halaman Alkitab. Dan saya akan berlama-lama di tempat Tuhan memilih berbicara dengan umat-Nya – ketika suara-Nya pada Musa dimanifestasikan dengan berbagai hal – semak duri yang menyala, tiang awan dan tiang api, penampakan di Gunung Sinai (Keluaran 3:1-6; Keluaran 13:21; Keluaran 19:18). Lalu, ketika di kaki gunung itu, Musa berbicara dan “Tuhan menjawab dalam guruh” (Keluaran 19:19). Saya juga akan berhenti sejenak untuk memikirkan Ayub, yang bertemu Tuhan dalam badai dan angin ribut (Ayub 38:1; Ayub 40:1-6).
Sebagai orang dewasa, saya ditarik ke dalam pengalaman-pengalaman tentang Tuhan yang lebih tenang. Kisah-kisah yang memberi saya ketenangan menyatakan Dia sebagai Tuhan yang mengerti – seperti ketika Dia datang pada Gideon pada masa peperangan dan berkata bahwa Dia akan menyelamatkan Israel. Bahkan setelah Gideon berkali-kali menguji-Nya dengan meminta tanda melalui bulu domba dan air, Dia berkata, “TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani.” Sekalipun setelah itu Gideon lalu menjawab,”Ah, tuanku, jika TUHAN menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami?” (Hakim-hakim 6:12-13). Saya senang mengetahui bahwa saya juga bisa ragu-ragu seperti Gideon, dan bahwa Tuhan juga bisa memiliki kesabaran yang sama terhadap saya.
Dan ini membawa saya kepada Tomas. Meskipun rekan-rekannya sesama murid Yesus sudah datang padanya dan menyampaikan dengan sukacita, “Kami telah melihat Tuhan” namun Tomas menjawab, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yohanes 20:24-25). Dan ketika akhirnya mereka berkumpul lagi seminggu kemudian, Yesus datang di tengah-tengah mereka, memberi salam dan kemudian berkata kepada Tomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yohanes 20:26-27). Meskipun Yesus kemudian menegurnya dengan berkata, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:29) – saya tetap takjub pada respons Tuhan yang empatik. Dia bersedia menunjukkan bekas luka-luka-Nya kepada Tomas, meskipun hal itu sebenarnya tidak perlu Dia lakukan. Saya tak dapat menghitung betapa sering saya berharap mendengar suara-Nya – perkataan penghiburan sederhana atau janji penyertaan-Nya – namun Dia sepertinya tetap diam.
Dr. Stanley menulis dalam How to Listen to God (Cara Mendengarkan Tuhan): “Saya percaya bahwa alasan utama Tuhan masih berbicara sampai hari ini adalah karena Dia ingin kita mengenaI Dia. Jika Tuhan berhenti berbicara, saya ragu kita akan pernah menemukan seperti apa Dia sebenarnya. Jika prioritas dari semua tujuan kita adalah mengenal Tuhan, maka harus ada yang lebih dari sekadar jalan satu-arah saja. Melainkan, harus ada jalur komunikasi di mana Dia berbicara pada kita dan kita mendengarkan, atau kita berbicara pada-Nya dan Dia mendengarkan.”
Saya akui saya takut pada angin ribut atau badai, api, atau tiang awan. Tetapi saya tidak takut pada Tuhan yang telah membuat diri-Nya menjadi sama dengan manusia dalam rangka menggapai saya, Anda dan seluruh umat manusia. Tuhan yang berulang-ulang menjadikan diri-Nya tersedia dan rentan, dan yang setelah kebangkitan, mengizinkan tubuh-Nya sendiri diteliti. Perjumpaan-perjumpaan di Perjanjian Lama masih menggetarkan saya, tetapi Yesus dan janji tentang Roh Kuduslah yang mengingatkan saya akan kasih-Nya. Kehangatan sinar mentari terbit, tetesan embun di dedaunan pertama di pagi hari, bayangan dahan-dahan pohon dan bagaimana matahari terlihat ketika saya memandang ke atas dan melihatnya melalui kehijauan itu, mengingatkan saya pada kasih dan perhatian-Nya pada saya.
Saya tahu Tuhan ada dalam badai. Tetapi saya juga akan terus mendengarkan suara-Nya yang lembut dan biasa, dengan harapan saya akan mendengar lebih banyak lagi seiring berjalannya waktu—dan lebih banyak mengerti bahwa Dia sedahsyat dan selembut yang dinyatakan Alkitab.