Level Terbaik Kita
Mari kita luruskan satu hal: Mengejar keunggulan bukanlah soal mengejar kesempurnaan, melainkan menunjukkan bahwa kita peduli.
Oleh : Jamie A. Hughes
Ketika suami dan saya menikah 16 tahun yang lalu, kami datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Ia menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya di rumah yang sama. Lingkungannya kebanyakan tidak berubah. Sedangkan saya adalah anak dari seorang manajer penjualan eceran. Sama halnya dengan anak-anak tentara, saya terbiasa menaruh barang-barang saya di kotak-kotak, siap pindah tempat setiap dua tahun sekali. Terus pindah-pindah tempat tinggal, supaya karir ayah saya bisa menanjak.
Di alamat baru yang ke-12, keluarga saya sudah bisa mengosongkan rumah, memenuhi truk yang akan mengangkut kami ke tempat baru, dalam waktu kurang dari 10 jam. Kami tidak pernah yakin, apakah ini adalah sesuatu yang seharusnya kami banggakan atau sesali. Dan ketika kami tiba di rumah sewaan di kota lain, kami memindahkan barang-barang kurang lebih dengan cara yang sama – menempatkan perabotan dan menggantung foto-foto di tembok dengan kecepatan yang mungkin membuat orang-orang takjub dan menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi karena pekerjaannya dilakukan dengan cepat, hasilnya belum tentu baik. Masih ada foto-foto yang terpasang miring di dinding, atau peletakkannya tidak rapi di tengah. Selalu ada beberapa kelebihan lubang paku. Namun hal itu tidak pernah benar-benar menganggu kami. Mengapa harus terganggu? Segala sesuatu yang digantung di tembok, nantinya akan dibungkus koran dan dipindahkan ke kota baru dalam waktu 1.000 hari.
Sekarang, saat suami dan saya memiliki rumah kami sendiri yang telah kami tempati selama hampir 5 tahun (dan belum ada rencana untuk pindah). Saya berharap, saya dapat berkata bahwa perhatian saya untuk mendekorasi rumah sudah lebih baik. Walaupun memang masih jauh lebih rapi dan teliti dibandingkan dengan suami saya. Baginya, setiap 8 inci itu berarti. Sehingga menggantung sesuatu di dinding bukanlah sekedar tugas, melainkan suatu perhitungan yang teliti. Secara jujur, menurut saya, keseluruhan prosesnya seperti kisah yang tertulis di suatu pasal di kitab Imamat.
Pertama, dindingnya sendiri harus diukur secara vertikal dan horizontal. Kemudian piguranya dievaluasi untuk memastikan pigura itu diletakkan dengan jarak yang sama dari lantai, plafon dan dinding yang saling berdekatan. Terakhir, ia akan memutuskan jarak antara bagian atas pigura dan pengaitnya untuk memastikan pigura itu tergantung dengan seimbang. Jarak diantara setiap gambar dihitung. Dan bila barang-barang digantung dengan pola zig zag, Anda dapat bertaruh bahwa setiap barangnya akan segaris dengan barang lainnya – dari atas ke bawah, dan dari kiri ke kanan. Semua perhitungan ini dilakukan sebelum satu pun paku dipasang di dinding. Dan suami saya tidak pernah memaku apapun dua kali, tidak pernah melakukan kesalahan. Sekalipun proses yang sulit ini dulunya selalu membuat saya kesal karena melebihi kemampuan berpikir rasional saya, namun saya harus akui, sekarang saya menghargai ketelitiannya.
Seberapapun kerasnya kita berusaha untuk mencapai kesempurnaan, kita akan selalu mendapatkan yang tidak ideal, namun itu bukan alasan untuk berputus asa.
Tetapi — suami saya pun mengakuinya, ia dapat menggantung gambar-gambar menyerupai galeri seni di rumah kami — selalu saja ada kesalahan dimana-mana. Mungkin terdengar kasar, namun ia (sama seperti kita semua) adalah mahluk yang terbatas dan tidak sempurna di dunia yang berdosa. Apa yang nampak sempurna bagi mata kita ternyata masih miring, meski hanya sepersekian milimeter itu tetaplah miring.
Seberapa pun kerasnya kita berusaha untuk mencapai kesempurnaan, kita akan selalu tersandung di garis finis (sekalipun bahkan setelah kita telah mencapainya sejauh ini). Kita akan selalu mendapatkan yang tidak ideal. Namun itu bukan alasan untuk berputus asa. Ingatlah, kita menyembah Yesus yang telah bangkit yang adalah“cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3). Kristus bukanlah “sesuatu” yang mirip Allah. Ia bukanlah semata-mata “cukup baik untuk melakukan pekerjaan pemerintahan.” Dan Ia, seperti halnya dunia yang Ia ciptakan, memberitahukan sesuatu kepada kita mengenai sifat-Nya.
Pada enam hari pertama yang digambarkan dalam kitab Kejadian, Allah menciptakan langit dan ruang, terang dan tanah dalam urutan tertentu. Dari sudut ke sudut, dunia ini dipenuhi dengan hal-hal yang Ia rancang untuk tujuan spesifik serta untuk beroperasi dengan cara yang spesifik. Itulah mengapa – bahkan dalam keadaannya yang rusak – dunia kita masih menjadi pemandangan untuk dilihat. Segala sesuatu – mulai dari pola kepingan salju yang rumit hingga cara kerja canggih ekosistem hutan hujan menunjuk kepada karya tangan Tuhan dan kesempurnaan yang akan datang. Bagi-Nya, tidak ada perkiraan, pengukuran setengah-setengah atau hasil minimal atau cukup baik. Dan oleh karena hal ini, kita dapat hidup dengan penuh pengharapan, dengan mata yang tertuju pada kekekalan, dan “mengharapkan apa yang tidak kita lihat” (Roma 8:25). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa apa yang terjadi disini dan sekarang adalah urusan yang sekedarnya, atau bahwa kehidupan kita tidak lebih dari sekedar tempat bersandar sementara. Dalam masa penantian, kita dapat menjadikan dunia ini lebih indah dengan berfokus pada sesama dan hal-hal yang membutuhkan perhatian.
Ya.., bahkan pada bingkai photo sekalipun – dengan memberikan level terbaik kita untuk memasangnya.