Malam “Berkesan” Ayah dan Anak

Oleh : Tim Rhodes

Malam itu diperkirakan akan menjadi malam yang luar biasa.

Malam berkesanSebagai ayah dari tiga orang anak, saya menganggap setiap kesempatan untuk bersama setiap anak sangatlah berharga. Itu sebabnya saya sudah menanti-nantikan malam istimewa itu. Rencananya saya akan menghabiskan malam bersama Liam, anak saya yang berusia 6 tahun, dengan menyantap pizza dan mungkin juga nonton bioskop.

Saat kami berjalan ke luar pintu, kami melihat tong sampah dan tong daur ulang kami masih di jalanan. Seperti biasa, Liam dan saya pun memutuskan untuk bermain saat melakukan tugas-tugas dengan adu cepat mengembalikan tong-tong itu ke tempatnya di garasi. Aktivitas yang dimulai dengan tertawa-tawa itu berubah menjadi tangisan, ketika Liam tersandung tong daur ulang saat ia hendak mencapai garis finis. Di tengah berantakannya sampah yang ia tendang dalam proses itu, saya dapat melihat ada sesuatu yang merah-merah dan mendengar Liam menangis, “Tanganku, jari-jariku!”

Saya biasa mendengar jeritan seperti ini.

Ketika melihat setetes darah atau goresan kecil pun, anak sulung saya ini benar-benar percaya bahwa ia sudah berada di ambang kematian. Kecap dan saus tomat hampir menambah kepanikan.

Karena yakin ia bereaksi berlebihan, saya menekan tangannya dan membawanya ke kamar mandi sembari menenangkannya. Saya menjelaskan padanya bahwa ini mungkin hanya goresan kecil saja, dan secara perlahan-lahan dan bertahap saya menuntunnya melalui langkah-langkah yang perlu diambil untuk merawat luka. Liam menyukai struktur, dan pemetaan sederhana kadang bisa mengurangi rasa sakit yang hebat.

Di kamar mandi, saya menyalakan keran air dan mulai memeriksa dan membersihkan lukanya. Ketika darahnya mulai dibersihkan, saya melihat salah satu jarinya tampak seperti tidak wajar. Benar-benar terlalu merah. Perut saya mulas ketika menyadari bahwa seluruh kuku jarinya hancur ketika ia terjatuh tadi. Kuku lainnya, meski masih menempel tetapi sudah terkoyak-koyak.

Saat itu juga saya tahu bahwa rencana kami untuk malam itu akan berubah drastis. Saya berlutut di depannya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan kemudian saya melakukan hal yang akan dilakukan semua ayah yang baik dalam situasi itu – bergegas menuju UGD rumah sakit terdekat.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sekolahnya kepada Liam – untuk menghentikan tangisnya dan untuk menahan tangis saya sendiri. Saya berusaha membuat lelucon-lelucon selama di ruang tunggu, untuk menenangkan diri kami sendiri. Saya meyakinkan Liam bahwa jari-jarinya tidak akan diamputasi, dan menenteramkan hatinya dengan berkata bahwa saya tidak akan pernah mengajaknya balapan memindahkan tong sampah lagi. Saya memegangi tangannya dan mengalihkan perhatiannya ketika perawat membersihkan dan merawat lukanya. Saya melihat matanya bersinar ketika dokter berkata padanya bahwa anak-anak itu seperti cicak karena mereka sangat cepat sembuh.

Dalam semua keadaan tidak mampu yang saya rasakan, ada sesuatu yang begitu luar biasa tentang kesempatan untuk hadir dan kuat selama pengalamannya yang menyakitkan itu. Untuk memberinya semacam ketenteraman pada saat yang paling ia butuhkan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya saya berada di tempat lain pada saat itu.

Selama perjalanan pulang dari rumah sakit, setelah sekitar lima jam dari awal malam kami yang berantakan itu, Liam duduk di kursi belakang, kebanyakan hanya diam karena masih di bawah pengaruh obat bius. Namun salah satu dari beberapa hal yang dapat ia katakan adalah “Ayah, aku minta maaf ya sudah mengacaukan acara nonton kita.”

Saya pun tidak dapat membendung airmata saya yang sudah lama saya tahan-tahan. “Nak, kamu tidak perlu minta maaf. Pikirkan saja semua yang dapat kita lakukan pada malam ini: kamu dapat merasakan duduk di kursi roda untuk pertama kali. Kamu ditembus sinar-X dan dapat melihat tulang-tulangmu. Kamu dapat mendengar bahwa kamu seperti cicak. Kita dapat nonton bioskop lain kali. Yang kita lakukan pada malam ini lebih baik dari itu.”

Hati saya hancur karena kesakitan yang harus ia alami, tetapi saya tahu ini akan menjadi malam yang berharga – bukan karena kekacauan itu, tetapi karena yang ada di dalam kekacauan itu. Hanya dia dan saya.

Malam itu saya kira akan menjadi malam yang luar biasa, dan ternyata benar.