Masalah Rasial
(Matt Woodley)
Setelah bertahun-tahun mendengarkan dan memahami, saya masih saja harus belajar banyak
Pada musim gugur tahun 1985, saya pindah ke perumahan seminari bersama istri dan kedua anak saya yang masih kecil. Keesokan harinya Joe, Carla, dan kedua putri mereka juga pindah ke seberang aula. Keluarga kami memiliki banyak persamaan. Keempat orang dewasa sama-sama baru memasuki usia tigapuluhan. Joe dan saya sama-sama sedang mengejar Master of Divinity agar bisa menjadi gembala. Kedua keluarga sama-sama memiliki dua anak. Joe dan saya memiliki minat yang sama pada teologi sistematis dan bahasa Yunani Perjanjian Baru. Istri-istri kami sama-sama berbicara tentang keseimbangan antara waktu untuk pekerjaan paruh waktu mereka dan untuk kedua anak serta suami mereka dan sering terjebak di kelas atau perpustakaan.
Tentu saja ada satu perbedaan mencolok yang jarang kami sebutkan – Joe orang kulit hitam dan saya orang kulit putih. Saya bangga mengatakan pada diri saya sendiri bahwa ras tidak menjadi masalah bagi saya. Kami benar-benar satu keluarga dalam Kristus, bukan? Selain itu, bukankah ada banyak persamaan di antara kami. Ras hanyalah satu hal yang sepele.
Lalu, pada suatu hari, tepatnya sesudah liburan Thanksgiving tahun 1986, pandangan saya yang melambung namun naif tentang relasi-relasi antar ras hancur berantakan. Keluarga saya kembali dan tiba di apartemen seminari lebih dulu pada hari Minggu siang. Joe dan Carla bersama dua putrinya yang sangat kelelahan baru masuk ke apartemen sekitar jam 10 malam. Ketika saya mulai membuka sedikit percakapan dengan Joe, saya melihat ia sedang sangat terguncang dengan sesuatu. Dan cerita berikut ini pun akhirnya meluncur keluar: dalam perjalanannya dari Chicago ke Minnesota, serombongan polisi menghadang dan memaksanya keluar dari mobil, menggeledahnya di depan istri dan anak-anaknya, dan kemudian memeriksa mobil dengan saksama. Polisi itu berkata mereka sedang mencari seseorang yang ciri-cirinya miripdengan Joe. Tak ada permintaan maaf yang disampaikan. Joe masih merasa marah dan terhina.
Tiba-tiba saya sadar bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak sama dan tidak akan pernah sama antara Joe dan saya. Saya tidak pernah dipaksa berhenti dan digeledah. Sesungguhnya, saya tak bisa mengingat satu pengalaman negatif pun yang terkait dengan ras saya. Pada hari Minggu sesudah liburan Thanksgivingitu, sesuatu menyentak saya: Joe orang kulit hitam, dan saya orang kulit putih – dan itu adalah hal yang sangat besar. Ada tempat-tempat di pikiran, hati dan memori Joe yang tak dapat saya masuki dan mengerti. Dalam hal pengalaman orang kulit hitam di Amerika, saya adalah orang yang tidak tahu apa-apa.
Tetapi saya senang berpikir bahwa saya adalah seorang pembelajar – pembelajar yang lambat, tetapi juga yang sudah menerima beberapa pelajaran tentang ras selama tiga dasawarsa ini.
Pertama-tama, ada rasa sakit dalam pengalaman orang Afrika-Amerika. Pengalaman Joe pada hari Minggu di bulan November itu bukanlah suatu anomali. Jelasnya, saya bukan sedang mengecam para pejabat polisi, yang kebanyakan hanya melaksanakan tugas dengan keberanian dan rasa bangga. Saya sedang berpikir tentang kecenderungan-kecenderungan yang lebih besar, seperti warisan kekerasan terhadap orang kulit hitam di negara Amerika. Sebagai contoh, saya masih terpengaruh setelah membaca laporan terkini yang mendata dengan rapi 3.959 korban “hukuman mati tanpa pengadilan” di Amerika Serikat dari tahun 1877 sampai 1950. Berikut ini adalah salah satu kisah dari 3.959 korban itu: Tahun 1904, Luther Holbert dan seorang wanita kulit hitam yang bersedia menjadi istrinya dihukum hati di depan ratusan penonton yang makan camilan telur bumbu pedas, minum limun dan bir, sambil menikmati suasana yang seperti piknik.
Saya tidak percaya bahwa semua orang kulit putih adalah, atau dulunya, seorang rasis rahasia. Bersama banyak teman saya sesama orang kulit putih, saya mual mendengar satu kisah hukuman mati itu saja. Meskipun hal-hal ini tidak terjadi pada nenek moyang saya, tetapi pada ayah dan ibu teman-teman Afrika-Amerika saya. Anda tidak bisa langsung mengibaskan masalah ini seperti serpihan ketombe di kerah baju Anda. Tidak, warisan rasisme di negara Amerika ini sudah seperti luka mendalam yang tak tersembuhkan: jika Anda mendekatinya, Anda akan melihat luka itu masih meneteskan darah dan sakit sekali.
Tetapi saya juga menemukan berbagai kontribusi orang Afrika-Amerika yang membanggakan bagi bangsa kami dan gereja. Ada Frederick Douglass, tokoh penghapus perbudakan Amerika yang sangat terkenal dan fasih bicara, orang Kristen yang dikuasai-Alkitab yang mengajar dirinya sendiri untuk membaca dan menulis prosa yang indah, menyampaikan ribuan pidato, menulis tiga otobiografi, dan berunding dengan Presiden Lincoln. Ia menantang orang Kristen untuk bertindak seperti Kristus melaluikalimat temanya: “Saya melihat perbedaan yang sangat besar antara Kekristenan di negara ini dengan Kekristenan Kristus.”
Ada juga George Liele, mantan budak yang menjadi misionaris Amerika Utara pertama– seorang penanam gereja dan penginjil di Jamaika. Dalam waktu satu tahun saja, pada tahun 1791, dilaporkan ada 500 orang yang bertobat dan 400 orang dibaptis.
Tentu saja ada juga nama yang dikenal oleh orang Amerika —Dr. Martin Luther King, Jr. Tetapi sampai beberapa tahun lalu, saya belum pernah benar-benar membaca tulisannya yang brilian, “Surat dari Penjara Birmingham.” Tulisan yang luar biasa, yang membuat saya tercekat ketika mendengar ia menulisnya dari sel penjara dan di bagian-bagian tepikoran bekas dan sobekan kertas.
Saya tidak tahu bahwa pada bulan Januari 1956, setelah serangkaian ancaman terhadap dirinya, Dr. King membuat secangkir kopi malam terakhirnya dan berdoa di meja dapurnya. Ia kemudian mencatat apa yang terjadi pada pagi hari itu: “[Yesus] berjanji tidak akan pernah meninggalkan aku, tidak pernah meninggalkan aku sendirian. Tidak. Tidak pernah sendirian.” Perjumpaan dengan Yesus itu menguatkannya di sepanjang sisa hidupnya yang singkat.
Mengenai nama-nama dan kisah-kisah mulia saudara-saudari Afrika-Amerika dalam Kristus, saya merasa seperti penulis kitab Ibrani: “Dan apakah lagi yang harus aku sebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang …” (Ibrani 11:32). Saya bisa bercerita tentang penyelamat budak Harriet Tubmanthe, penyair abad 18 Phillis Wheatley, Jackie Robinson, Rosa Parks, John Perkins, atau ratusan orang lainnya. Oh, dan saya bisa bercerita tentang William Seymour, pemimpin Kebangunan Rohani di Jalan Azusa pada tahun 1906, sebuah pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa yang dikatakan “menghilangkan segala perbedaan warna kulit.”
Ya, kita adalah satu keluarga dalam Kristus, dan ada banyak yang harus dikerjakan, diubah dan dipulihkan. Mari kita mulai dengan satu langkah kecil: sobat, ceritakanlah pada saya kisah Anda. Ceritakan pada saya luka-luka suku/bangsa Anda dan juga kehebatan suku/bangsa Anda. Saya masih tetap menjadi pembelajar selama sisa perjalanan ziarah di bumi yang singkat ini. Jadi, silakan duduk, mari kita saling memandang dan ceritakanlah kisah Anda.