Melayani Orang, Bukan Label
Mengasihi seperti Yesus mengasihi
Satu hari Minggu dalam sebulan, keluarga kami menjadi sukarelawan bersama tim pelayanan ke kota pedalaman yang menyediakan makanan, membagikan pakaian, dan melayani orang-orang yang membutuhkan. Karena kami kebanyakan melayani pada hari Minggu, kami biasanya akan mengikuti ibadah di gereja pada hari Sabtu malam, meskipun terkadang kami juga tidak pergi beribadah sama sekali. Seorang anak remaja kami, yang tidak keberatan kalau kami sesekali bolos ibadah, pernah berkata, “Kukira, lebih baik membantu orang miskin daripada pergi ke gereja, bukan?” Saya biasanya hanya tertawa resah, karena terkadang saya juga mengajukan pertanyaan yang sama.
Suatu kali, ketika ia memberikan alasan ini lagi, saya menjawab dengan perkataan Yesus, “Orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada padamu” (Yohanes 12:8), untuk mengingatkan anak kami bahwa ibadah juga penting. Lalu, ketika saya meluangkan waktu untuk mencari ayat yang berisi perkataan Yesus itu, saya menyadari bahwa Yesus sebenarnya sedang menegur kekikiran Yudas, bukan menunjukkan tentang membuat prioritas. Yudas bukannya lebih peduli pada orang miskin; ia lebih prihatin memikirkan minyak wangi yang dicurahkan ke kaki Yesus sebagai pengorbanan yang sia-sia. Ia hanya ingin memiliki uangnya untuk dirinya sendiri (karena ia bendahara kas di kelompok murid-murid Yesus). Tetapi Yesus tidak akan membiarkan Yudas menyembunyikan dosanya di balik label-label umum dan belas kasihan yang palsu. Maka, Yesus pun menegurnya dengan berkata, “Jangan khawatir, tidak seperti wanita ini, kamu akan selalu memiliki ‘orang miskin’ atau alasan tertentu lainnya yang sama lemahnya dengan menghindari memberi.”
Bukankah kita juga kadang berlaku seperti itu? Kita bersembunyi di balik label-label. Kita mengelompokkan orang lain berdasarkan kebutuhan mereka, menyebut mereka “orang miskin” atau “tunawisma” atau “yang membutuhkan,” tanpa menyadari bahwa, di dalam proses itu, kita telah mengubah belas kasihan menjadi komoditas. Setiap tindakan pelayanan menjadi transaksi memberi dan menerima. Dengan sumber daya kita yang terbatas, kita memutuskan apa yang harus diberikan kepada “mesin belas kasihan” yang impersonal—dan apa yang harus disimpan untuk diri kita sendiri.
Tetapi, jika “orang miskin” dan “yang membutuhkan” itu adalah orang-orang yang memiliki nama, wajah, dan kisah, kita tidak lagi memiliki label untuk disembunyikan. Ketika orang itu adalah Tina yang kelaparan, Andi yang membutuhkan tempat tinggal, atau Jerry yang tidak dapat membayar tagihan listrik, kita tidak lagi sekadar memberi uang atau bantuan. Kita juga akan memberikan diri kita sendiri. Itulah yang dimaksud dengan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, bukan sekadar label atau alasan: Kita menemukan diri kita dalam relasi, bukan dalam transaksi. Begitulah cara Maria menunjukkan belas kasihan kepada Yesus dalam adegan di Yohanes 12.
Di Matius 9, ketika orang-orang Farisi mengetahui bahwa Yesus sedang makan di rumah Matius, mereka bertanya kepada para murid, “Mengapa Gurumu makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa?” (Matius 9:11). Perbedaannya sangat mencolok. Sementara orang Farisi berdiri jauh-jauh, melabeli orang berdasarkan kebutuhan terdalam mereka, Yesus justru “berada di meja makan” dan berusaha mengenal mereka. Inilah yang Tuhan maksudkan ketika Dia berkata Dia menghendaki “belas kasihan dan bukan persembahan” (Matius 9:13). Lalu, ketika Yesus melakukan perjalanan, berkhotbah dan menyembuhkan banyak orang sakit, Matius menulis bahwa ketika Yesus melihat orang banyak, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Sesederhana itu, seperti itulah cara terbaik kita untuk melayani orang lain: mengasihi seperti Yesus mengasihi. Kita menolak untuk menggolongkan orang lain atau menjadikan mereka sebagai alasan. Sebaliknya, kita menyediakan waktu untuk mengenal mereka secara individu.
Itulah yang keluarga kami sukai dari pelayanan yang kami ikuti ini. Mereka menerima apa saja yang diberikan—makanan, pakaian, buku, sepeda, perabotan rumah tangga—dan kemudian berusaha menyesuaikannya dengan kebutuhan nyata individu-individu. Mereka menerima orang-orang dengan beban masalah apa pun—kecanduan, pengangguran, menderita sakit, berdukacita, memiliki catatan kriminal—dan kemudian menghubungkannya dengan sumber-sumber yang tersedia di komunitas itu. Mereka tidak melayani dengan mentalitas “satu ukuran untuk semua.” Tetapi untuk benar-benar dapat memenuhi kebutuhan orang-orang yang datang, kami harus bercakap-cakap, terlibat, dan mendengarkan untuk mengetahui bagaimana kami dapat menolongnya. Dan sejujurnya, saya merasa takut hampir setiap kali kami berada di sana. Bagaimana jika saya mengatakan sesuatu yang menyinggung? Bagaimana jika mereka berkata saya tidak diterima di lingkungan mereka? Bagaimana jika saya benar-benar membahayakan keluarga saya dengan pergi ke sana? Bagaimana jika pelayanan yang saya lakukan lebih untuk membuat diri saya merasa baik daripada benar-benar memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata? Namun setelah menjalaninya dari bulan ke bulan, secara perlahan-lahan Tuhan menolong saya menghadapi ketakutan-ketakutan ini.
Sebagai contoh, pada satu hari Minggu saat musim dingin yang lalu, ketika kami berada di tempat pelayanan, saya melihat seorang pria yang baru akhir-akhir ini saja datang ke sana. Dari percakapan sebelumnya saya tahu bahwa ia senang menggambar dan melukis. Jadi untuk memulai percakapan, saya bertanya apakah ia sedang membuat sebuah karya seni akhir-akhir ini.
“Tidak,” katanya. “Tempat tinggal saya terlalu dingin untuk melakukan hal itu.”
“Maaf,” kata saya. “Saya tahu Anda menyukainya. Maaf, terlalu dingin.”
Saat saya melangkah pergi, suatu kesadaran yang mengganggu menerpa saya. Ia tidak memiliki penghangat ruangan di tempat tinggalnya. Saya menganggap sebagai hal yang lumrah jika di rumah saya ada perapian. Tetapi baginya, barang itu merupakan suatu kemewahan yang tak mungkin dapat ia beli. Saya merasa malu pada kami berdua.
Sebelumnya, pada hari yang sama, saya berpikir untuk membuang kue yang jatuh di dalam mobil saat kami dalam perjalanan menuju ke sana. Lapisan gulanya rusak atau menempel dengan bagian bawahnya, sehingga terlihat agak jelek. Tetapi kami tetap melanjutkan dan meletakkan setiap kue itu di piring kertas kecil, dan di akhir sore, semua kue itu sudah diambil. Saya merasa malu atas setiap kejadian saya membuang makanan yang sangat berarti hanya karena tidak terlihat baik.
Saya tidak tahu kebutuhan orang-orang yang saya jumpai. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus hidup dengan cara bertahan setiap waktu. Saya tidak pernah menjadi pengangguran. Saya tidak pernah bepergian tanpa mobil. Saya tidak tahu bagaimana saya akan tidur atau mandi jika saya tidak punya rumah. Dan bahkan jika semua hal itu diambil, saya tak dapat membayangkan jika saya tidak memiliki keluarga atau teman yang menerima saya. Kebutuhan-kebutuhan ekstrem orang lain menimbulkan rasa tidak aman yang tak dapat saya ungkapkan dan kemungkinan tak dapat saya hadapi jika tiba-tiba saya mendapati diri saya berada di posisi mereka.
Dan itulah hal yang paling saya gumulkan: saya bisa saja berada di posisi mereka yang entah kenapa saya tidak berada di sana. Meskipun sebagian orang yang kami layani menderita sebagai akibat dari pilihan buruk mereka sendiri, tetapi sebagian besar tidak. Mereka sudah melakukan yang terbaik semampu mereka — sama seperti saya — tetapi mereka tetap saja berakhir miskin, lapar, dan harus terus berjuang untuk bertahan hidup. Mengapa saya berada di pihak yang melayani ini? Mengapa saya bisa memberi makan anak-anak saya, mengenakan pakaian pada mereka, menyediakan mereka rumah dan pendidikan yang baik, sementara para orang tua ini tidak bisa? Mengapa saya bisa melompat ke dalam mobil dan kembali ke dalam kehidupan kelas menengah, sementara orang-orang ini terjebak di perkampungan kumuh?
Ironisnya, di sisi lain ketakutan ini ada iman yang memanggil saya untuk melakukan pekerjaan yang penuh kasih ini, yang membuat saya datang lagi dari bulan ke bulan untuk melayani orang-orang, dan tidak terus bersembunyi di balik label-label umum. Saya percaya bahwa sama seperti Tuhan melihat orang-orang yang kami layani secara individu, Dia melihat saya. Dan sama seperti Dia menunjukkan belas kasihan-Nya kepada mereka dengan mengutus kami untuk menjadi tangan dan kaki-Nya, Dia telah dan akan selalu memperhatikan kebutuhan saya—di mana pun saya berada.
Memang benar, kita akan selalu memiliki orang-orang miskin di tengah kita, tetapi bersyukur, seperti dikatakan Daud: “Orang miskin akan makan sampai kenyang; orang yang datang pada TUHAN akan memuji Dia” (Mazmur 22:26, BIS).