Melepaskan Semua Keterikatan
Dalam upaya kita menjaga kesucian moral, kita jangan sampai kehilangan pandangan tentang tujuan yang lebih besar – Kristus sendiri.
(Tony Woodlief)
Pertama kali memutuskan menjadi orang Kristen, saya masih mahasiswa. Dengan semangat ganda seorang petobat baru dan “calon” cendekiawan, saya mulai melakukan salah satu hal yang dapat saya lakukan paling baik sampai saat itu – beradu agumentasi. Sasaran saya, sore itu, adalah seorang gadis yang sedang belajar bersama teman saya. Mereka sedang mendiskusikan pelajaran agama mereka, dan gadis itu mengemukakan pendapatnya bahwa semua agama di dunia pada dasarnya mengajarkan hal yang sama, bahwa semua orang seharusnya menjadi orang baik. Jika surga itu ada, katanya, surga akan dipenuhi dengan orang-orang dari semua iman kepercayaan yang berusaha menjalani kehidupan yang baik.
“Tidak ada kata ‘jika’ tentang surga,” kata saya, “dan orang yang bisa masuk ke sana hanyalah orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.”
Ketika menanggapi, ia menyebutkan nama seseorang yang kami semua kenal, seorang yang memberikan banyak waktunya untuk kegiatan-kegiatan amal, mempraktikkan penguasaan diri, bersikap baik pada semua orang yang dijumpai, dan kebetulan ia juga seorang ateis. “Apakah kamu berkata,” tanyanya, “Allah tidak mengizinkan ia masuk surga, tetapi mengizinkan orang Kristen yang tidak banyak berbuat baik di dunia ini? Apakah kamu berkata Allah lebih peduli pada yang kita ucapkan daripada cara hidup kita?”
Saya kira bukan begitu yang saya katakan. Sebenarnya saya sendiri tidak cukup yakin dengan yang saya coba katakan, tetapi tentu saja saya tidak akan mengakui semua itu padanya. Tiba-tiba saya mendapat inspirasi. “Yang saya katakan adalah,” seru saya, “jika kamu tidak percaya Yesus, kamu tidak bisa benar-benar menjadi orang baik.”
Yang terjadi sebenarnya adalah argumentasi tentang seberapa baik tepatnya pengenalan kami terhadap satu sama lain, dengan saya bersikukuh pada pendapat yang jauh di dalam hatinya benar-benar membuat tidak nyaman, karena tanpa Yesus dalam hidup Anda, Anda tak bisa benar-benar menjadi baik.
Kiranya Tuhan berbelas kasih pada kita semua, orang-orang bodoh yang berusaha memenangkan orang lain bagi Kristus tanpa memahami hal yang utama tentang Dia.
Barangkali saya bisa diampuni atas kesalahpahaman saya yang menganggap tujuan hidup orang Kristen adalah kehidupan moral. Saya pernah membaca yang ditulis Paulus tentang dosa. “Atau tidak tahukah kamu,” tulisnya kepada jemaat di Korintus, “bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1 Korintus 6:9-10).
Saat itu sangat jelas bagi saya bahwa menjauhi dosa sangat penting jika orang ingin masuk surga. Saya tetap berpandangan seperti itu selama bertahun-tahun sampai saya diajak ke gereja nenek saya di Carolina Utara setiap hari Minggu. Menjadi baik, bagi saya saat itu, berarti tidak melakukan yang buruk. Anak yang buruk pasti tidak mendapat tempat di surga. Namun pemahaman ini tampaknya cukup tajam “menggerogoti” keselamatan saya.
Dan tembok di sekeliling surga tampaknya makin tinggi ketika saya makin dewasa, karena saya tahu menjauhi dosa saja tidak cukup. Ada banyak perintah tentang mengasihi sesama, mengampuni orang yang bersalah pada kita, kehilangan nyawa agar dapat menyelamatkannya, dst. Keselamatan mulai terasa melelahkan.
Lalu Tuhan dan saya pun mengalami jalan buntu – setidaknya itu yang saya rasakan – sampai saya masuk perguruan tinggi dan mengenal beberapa orang Kristen yang hidupnya penuh damai sejahtera, yang saya sadari sangat saya rindukan. Saya mencoba lagi mendalami Kekristenan, tetapi dengan mentalitas seorang mahasiswa perguruan tinggi, yang artinya saya hanya menyediakan sedikit waktu untuk berdoa dan sangat banyak waktu untuk membaca buku-buku tentang arti menjadi orang Kristen.
Dalam buku-buku itu tidak pernah dikatakan bahwa iman seseorang akan lebih mendalam jika ia berdebat dengan orang non-Kristen, tetapi saya mengabaikan hal itu. Itulah sebabnya sore itu saya mengalami kebuntuan retoris bersama seorang gadis yang tak bisa mengerti mengapa Allah yang saya coba gambarkan tidak lebih menginginkan orang yang mengasihi dan menjauhi dosa daripada banyak orang yang menyebut dirinya Kristen. Masalahnya adalah kami sama-sama memiliki keyakinan yang salah bahwa yang Tuhan inginkan di atas segalanya adalah perilaku yang baik. Padahal tentu saja kenyataannya sama sekali tidak seperti itu, bukan?
“Tidak tahukah kamu,” Paulus melanjutkan dalam suratnya, “bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah?” (1 Korintus 9:24). Paulus, dalam surat-suratnya, sering kembali kepada gambaran tentang orang percaya yang berlari dalam pertandingan. Gambaran yang mungkin menakutkan jika Anda memikirkannya. Perlombaan lari itu berat, aktivitas itu memakan waktu dan menuntut kepatuhan penuh. Secepat apa pun Anda sebagai pelari tidak akan ada artinya jika Anda keluar lintasan. Dan sekalipun Anda terus berada di lintasan yang benar, Anda akan kalah jika Anda tidak berlari dengan semangat di sepanjang pertandingan itu sampai ke garis finis.
Anda harus melakukan pertandingan dengan cara yang benar, kata Paulus, jika ingin menang. “Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal…. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:24-27).
Bayangkan jenis pelari yang memenangkan perlombaan. Ia berlatih tanpa kenal lelah pada musim panas maupun musim dingin untuk menyempurnakan kinerja tubuhnya. Pada hari pertandingan, ia berlari secepat roket menyusuri lintasan, memutuskan pita finis dengan baik di depan saingan terdekatnya. Sekarang bayangkan ia naik ke podium saat upacara penyerahan medali. Namun ketika penyelenggara hendak mengalungkan medali ke lehernya, bayangkan ia meminta mereka menahannya. “Kesehatan saya adalah hadiah saya,” katanya. “Saya sudah mendisiplin tubuh saya hingga saya memiliki tekanan darah yang stabil, kaki yang kuat dan sistem pernapasan yang sangat baik.”
Tidak ada juara pertandingan yang akan berkata begitu, bukan? Atlet-atlet kejuaraan sudah pasti selalu berjuang untuk memiliki kondisi fisik yang prima, tetapi bukan sebagai tujuan. Kemenangan adalah tujuan mereka. Kesehatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan itu.
Kembali kepada penjelaan Paulus tentang pertandingan hidup kita sebagai orang Kristen. Ia berkata jelas bahwa kita harus berusaha keras untuk memenangkan hadiah itu, dan usaha ini adalah gabungan antara menahan diri dari dosa dan mencurahkan kasih kepada sesama (baca 2 Korintus 13:1-13). Tetapi apakah yang dimaksud Paulus di sini berarti tujuan pertandingan kita adalah moralitas yang kita tekuni seumur hidup? Tentu saja tidak. Orang Kristen harus menjalani kehidupan moral agar dapat menyelesaikan pertandingan, tetapi moralitas bukanlah tujuan kita, sebagaimana kesehatan prima bukanlah tujuan para pelari Olimpiade. Tujuannya adalah hadiah itu.
Lalu apa hadiah kita itu? Penulis kitab Ibrani berkata: “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:1-2). Tanggalkan dosa Anda dan ikutlah Kristus, tulisnya, bukan untuk tujuan terbebas dari dosa, tetapi karena Kristus sedang memimpin Anda ke dalam kerajaan surga, dan ini adalah satu-satunya cara mengikut Dia. Persekutuan dengan Allah adalah hadiah kita.
Menahan diri dari dosa dan mengasihi sesama akan membantu kita memenangkan pertandingan, dengan membuat kita makin dekat pada Kristus – untuk ikut dalam penderitaan-Nya, kerendahan-Nya, kematian-Nya. Dengan menyangkal diri dan berbuat baik, kita mengungkapkan kasih dan rasa syukur kita kepada Allah, namun jangan salah – Dia tidak memerlukan semua itu untuk kepentingan diri-Nya. Dia menghendaki semua itu untuk kepentingan kita. Agar kita dapat melepaskan semua keterikatan yang merintangi kita dari Dia.
Kehidupan moral adalah bagian yang penting dalam hidup orang Kristen – sebagai bukti bahwa Roh Kudus tinggal di dalam kita (lihat Galatia 5:1-26) – tetapi oh, betapa kita melemahkan Injil jika kita menjadikannya sebagai tujuan utama hidup kita. Seakan-akan alasan Dia menjadi manusia adalah agar kita lebih menyenangkan untuk didekati. Betapa murahnya kita menghargai darah-Nya, jika kita berpikir moral itu adalah yang terpenting. “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,” kata Yesus, tetapi dalam hal ini Dia bukan memanggil kita untuk sebuah moral, melainkan untuk mengorbankan diri sepenuh-penuhnya; untuk mengasihi tanpa memikirkan konsekuensinya sama sekali, yang pada intinya merupakan panggilan untuk menjadi makin seperti Dia – yang pada gilirannya juga untuk menyelami hati-Nya lebih dalam lagi dan menemukan tempat kita di dalamnya. Ya, semua ini tentu saja melibatkan moral, tetapi berpikir bahwa kehidupan Kristen hanyalah tentang moral seperti mengadopsi pikiran orang Farisi yang berdiri di bait suci, diam-diam memuji diri sendiri karena merasa benar (Lukas 18:10-14). Ia memegang perintah-perintah itu tetapi ia tidak memberikan hatinya kepada Tuhan, dan ia pulang sebagai orang yang tidak dibenarkan.
Saya sering merenungkan argumen saya yang kurang tepat tentang orang ateis yang bermoral tinggi pada sore hari itu. Betapa saya berharap saat itu saya sudah bisa mengingat peringatan Yesus bahwa, jauh melampaui kehidupan moral, orang bisa saja menyatakan setia kepada-Nya, bahkan mampu mengusir setan dan membuat mukjizat dalam nama-Nya, namun mereka tidak mendapat tempat di surga. Mengapa? Karena mereka tidak menyerahkan seluruh hati mereka kepada-Nya: “Pada waktu itu Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!” (Matius 7:21-23). Jelaslah bahwa ada yang lebih penting dari moralitas, dan jika kita tidak memahaminya, seluruh hidup kita yang baik dan bersih pun tidak ada gunanya sama sekali.
Tujuan kehidupan Kristen sangat sederhana dan sangat jelas: bersama dengan Kristus. Sesungguhnya, tidak hanya bersama Dia, tetapi menjadi sama seperti Dia. Namun kita tidak bisa menjadi sama seperti Kristus dengan hati yang jauh dari-Nya. Usaha-usaha keras tidak akan berarti apa-apa, pernyataan-pernyataan hebat tidak berarti apa-apa, tulisan-tulisan indah di majalah-majalah Kristen pun tidak berarti apa-apa, jika kita tidak sepenuh hati berpusat pada Kristus. Semoga kita terus digelorakan untuk hidup sepenuh hati bagi Kristus.