Menangkap Ikan Kecil
Oleh: Chad Thomas Johnston
Terkadang kisah-kisah yang kurang dikenal mengisyaratkan kebenaran-kebenaran yang jauh lebih besar.
Ketika masih kecil, saya suka membayangkan sebuah jaring yang terus mengembang, yang tampaknya dapat memuat barang-barang ajaib yang tak terhitung banyaknya. Dan saat membaca Alkitab, segala kisah hebatlah yang biasanya tertanam di pikiran saya. Bahtera Nuh, Daud dan Goliat, ikan yang menelan Yunus bulat-bulat – semua ini mendapat banyak tempat di kepala saya. Namun, karena terlalu diributkan dengan yang besar-besar, saya kehilangan yang kecil-kecil, kisah-kisah yang kurang dikenal – ikan-ikan kecil yang lolos melalui lubang-lubang.
Tahun lalu, ketika saya melakukan ‘Baca Alkitab’ untuk pertama kali, saya mendapati diri saya meraup ikan-ikan kecil ini dengan telapak tangan saya dan memperhatikan mereka dengan saksama. Saya menikmatinya dan sebagaimana saran pemazmur, saya mulai menyimpannya dalam hati. Bagaimana mungkin saya tidak memperhatikan mereka sebelumnya?
Cerita Nadab dan Abihu, anak-anak Harun, yang mempersembahkan ”api asing” di tabernakel dan langsung mati karena dihanguskan oleh api yang keluar dari hadirat TUHAN (Imamat 10:1-2). Kisah ketika Gideon membuat baju efod dari emas dan orang-orang Israel menyembahnya (Hakim-hakim 8:22-27). Orang dalam perumpamaan perjamuan kawin, yang tidak mengenakan pakaian pesta dan dihukum sangat berat karena kesalahannya dalam berpakaian. (Matius 22:1-14).
“Ikan kecil” lainnya tampak di Kejadian 19, yang menceritakan tentang pemusnahan Sodom dan Gomora — suatu peristiwa yang sangat dahsyat dari yang pernah ada. Sebelum saya memulai proyek membaca Alkitab dengan lebih intens, saya tidak memperhatikan bagian pasal ini yang berisi perjumpaan singkat tetapi aneh antara dua malaikat Tuhan dengan keponakan Abraham, Lot. Saya curiga asap yang membubung tinggi dari kedua kota yang dihanguskan di dataran Yordan itu telah menutupi bagian yang tidak biasa ini di Sekolah Minggu.
Sebelum Allah memusnahkan Sodom and Gomora, para malaikat itu sudah mengunjungi Lot dan menyuruhnya menyelamatkan diri dari kebinasaan yang akan terjadi dengan lari ke pegunungan. Namun, bukannya segera taat, Lot malah mengusulkan tempat berlindung di kota kecil terdekat yang bernama Zoar. “Jika aku harus lari ke pegunungan, pastilah aku akan tersusul oleh bencana itu, sehingga matilah aku,“ katanya dengan putus asa. “Sungguhlah kota yang di sana itu cukup dekat kiranya untuk lari ke sana; kota itu kecil; izinkanlah kiranya aku lari ke sana. Bukankah kota itu kecil? Jika demikian, nyawaku akan terpelihara.” (Kejadian 19:19-20). Saya hampir tidak percaya bahwa Lot memiliki keberanian untuk bernegosiasi dengan malaikat. Dan yang lebih mencengangkan, Allah ternyata mengabulkan permintaan Lot. Sang Pencipta semesta mengizinkan Lot mengambil jalan berputar, membiarkannya bersembunyi di kota Podunk dan bukan ke tempat yang diperintahkan-Nya semula.
Yang membuat saya terhenyak setelah serangkaian peristiwa menggelikan itu terjadi, Lot dinyatakan mencapai tempat perlindungan yang diusulkannya itu dengan perasaan ketakutan. Kejadian 19:30 berbunyi, “Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersama-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar.” Alkitab tidak menjelaskan mengapa Lot merasa ketakutan, selain bahwa ia tidak berani tinggal di Zoar.
Akhirnya Lot sampai juga di pegunungan, di tempat yang sejak awal Allah mau ia ke sana. Lalu, mengapa Allah mengizinkan Lot pergi ke Zoar? Mengapa pula Dia menyediakan tempat perlindungan ini? Apakah Dia tahu bahwa pada akhirnya Lot akan menaati-Nya? Atau apakah Lot memang berhasil mengubah pikiran Allah?
Saya tidak dapat memahami bagian ini, memikirkannya sampai menemukan sesuatu dari dalamnya. Sebagaimana halnya dengan semua ikan kecil lain yang saya jumpai, kisah-kisah terkecil seringkali memberi saya alasan untuk melakukan jeda terpanjang.
Saya mungkin dapat mengerti jika Allah mengabulkan permohonan seseorang jika hal itu merupakan hal penting yang dipanjatkan dalam situasi-situasi terhormat. Namun mengabulkan orang yang tidak mau menaati perintah sederhana dari para malaikat – perintah yang sebenarnya datang dari Allah sendiri? Saya bingung. Mungkin permohonan paling menggelikan sekalipun tidak luput dari telinga Allah yang mahakuasa.
Saya cenderung memikirkan kehendak Allah itu agak seperti sungai es – yang mengukir lembah-lembah berbentuk U di seluruh negeri, menyimpang dari jalan yang diperuntukan bagi hewan, manusia atau tumbuhan. Orang tidak dapat mendesak sungai es untuk melakukan apa pun.
Meskipun saya mengajukan permohonan kepada Allah, saya seringkali bertanya-tanya apakah saya akan menerima jawaban dari-Nya. Saya lebih sering merasa seperti sedang berkata kepada segumpal es untuk mengabulkan permintaan saya. Namun cara Tuhan menampung permohonan Lot menunjukkan bahwa doa pun bisa menunjukkan ketakutan atau kebodohan. Dengan ikan kecil ini berenang-renang di pikiran saya, saya segera mendapati diri saya bisa berdoa dengan keyakinan baru kepada Yang Lebih Besar dari sungai es saya – dan berharap Dia yang telah mendengarkan permohonan Lot juga akan mengabulkan permintaan saya.