Mengapa Sulit Sekali Menjadi Pengikut?

(Matt Woodley)

Kita tahu Yesus itu dapat dipercaya, tetapi kita menolak kepemimpinan-Nya.

Kita punya masalah otoritas. Masalah orang Amerika dan juga masalah dunia. Secara jelasnya, kita tidak percaya pada para pemimpin dan institusi yang seharusnya dan bisa membuat manusia berhasil.

Demikianlah kesimpulan dari Barometer Kepercayaan Edelman, sebuah survei tahunan yang dilakukan terhadap lebih dari 36.000 responden di 28 negara. Menurut laporan tahun 2022, “Dunia gagal menghadapi tantangan-tantangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya pada zaman kita karena dunia terjebak dalam lingkaran setan ketidakpercayaan.” Sekira dua pertiga partisipan menganggap bahwa figur-figur otoritas seperti jurnalis, politisi, dan pemimpin bisnis adalah kebohongan besar. Banyak dari kita yang tertipu, kecewa, dan terpecah-belah oleh figur-figur otoritas. Tak heran jika kita memiliki masalah otoritas. Seperti ditulis pendeta Tim Keller, “Dasar pemikiran modernitas adalah menjungkirbalikan semua otoritas di luar diri.”

Pemikiran ini menjadi masalah penting yang harus diselesaikan orang percaya, karena Yesus menuntut otoritas tertinggi atas hidup kita. Di dalam Yohanes pasal 10, Yesus berkata, “Akulah Gembala yang baik” (Yohanes 10:11). Pernyataan ini lembut dan menghibur, tetapi perkataan itu juga berarti, “Aku harus menjadi otoritas yang terutama dalam hidupmu. Suara-Ku, perspektif-Ku, pengajaran-Ku, kepemimpinan-Ku harus menjadi yang terpenting bagimu di atas semua yang lain.”

Bersyukur, Yesus lalu mengingatkan kita bahwa otoritas-Nya itu sangat diperlukan dan indah. Di dalam ayat 17-18, Yesus berkata, “Bapa mengasihi Aku karena Aku memberikan nyawa-Ku agar Aku mengambilnya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari Aku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah perintah yang Kuterima dari Bapa-Ku” (Yohanes 10:17-18).

Selama berpuluh-puluh tahun saya berusaha memahami kedua ayat ini. Apakah Yesus itu berkata bahwa Bapa mengasihi Yesus karena Yesus melakukan sesuatu yang menakjubkan dengan bersedia mati di kayu salib? Bukankah itu berarti kasih Tuhan itu bersyarat? Ada dua yang menjelaskan bagian ini pada saya—seorang petugas pemadam kebakaran di kota New York dan Yohanes 3:16.

Billy Burke melayani sebagai Kapten Engine 21. Saya bertemu dengan saudara laki-laki Billy di gereja tempat saya mulai menjadi gembala di Long Island pada bulan Juni 2001. Tiga bulan kemudian terjadilah serangan 9-11. Saat api dan asap tebal menyelimuti kedua menara, Billy dan tim pemadam kebakarannya menyerbu ke Menara Utara. Ketika mereka melihat Menara Selatan runtuh, Billy menarik timnya ke tempat yang aman, tetapi ia sendiri lalu masuk kembali ke gedung itu untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Sebelum ia meninggal dalam kobaran api, salah seorang wanita yang diselamatkannya mendengar ia berkata, “Inilah yang kulakukan.”

Ayahnya sudah mengasihi Billy sejak sebelum peristiwa 9-11, tetapi sekarang saya bayangkan ayah Billy yang petugas pemadam kebakaran itu akan berkata seperti, “Saya sangat bangga pada anak saya. Saya mengasihinya karena ia berlari ke dalam gedung yang terbakar dan menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan orang lain. Itulah tepatnya yang juga akan saya lakukan, karena itulah kami. Kami memiliki debar jantung yang sama.”

Menurut Yohanes 3:16, Allah Bapa, sama seperti Allah Anak, sangat mengasihi dunia yang cemar dan berdosa ini. Di sepanjang Perjanjian Baru, kita melihat visi Allah Tritunggal ini, persekutuan tiga pribadi yang selalu hidup dalam harmoni yang sempurna, mencurahkan kasih dan hormat kepada satu sama lain dan bersatu dalam mencurahkan kasih kepada seluruh ciptaan. Di pasal 10, Yesus yang menindaklanjuti Yohanes 3:16, sebenarnya sedang mengatakan, “Seperti Bapa-Ku, dan Roh Kudus, Aku senang mengasihi dunia yang buruk ini. Aku akan pergi ke gedung yang terbakar untuk orang-orang ini. Karena kasih Kami bersama, Aku menyerahkan nyawa-Ku bagi domba-domba yang berada di bawah otoritas-Ku. Bapa dan Aku—itulah Kami. Dia mengasihi Aku karena Aku rela memberikan nyawa-Ku bagi orang-orang yang Kami kasihi. Kami memiliki debar jantung kasih yang sama untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa ini.”

Dengan bekerja seperti tukang kayu ahli, Yesus memperbaiki hati kita yang hancur dan menunjukkan pada kita indahnya kepemimpinan sejati. Semua figur otoritas lain pada akhirnya akan mengecewakan, meninggalkan (karena manusia mudah berubah dan fana), memanfaatkan, atau kadang bahkan menghancurkan kita. Yesus adalah satu-satunya yang berkata, “Lihat, betapa Aku sangat mengasihimu! Aku menjadi dosa untuk menanggung dosamu. Aku menjadi miskin untuk membuatmu kaya. Aku mati seperti budak tak dikenal agar kamu bisa dikenal oleh Bapa-Ku. Sekarang, dengarkanlah suara-Ku. Serahkan segalanya. Jangan menahan apa pun.”

Sayangnya, kita seringkali enggan hidup di bawah otoritas Yesus. Kita membawa luka dan ketakutan dari figur-figur otoritas yang rusak dan merusak. Namun Yesus memberikan undangan yang ramah: Aku tidak seperti itu. Otoritas-Ku selalu memimpin kepada hidup (Yohanes 10:10). Jadi, marilah datang kepada-Ku semua yang telah bekerja di bawah otoritas yang cacat atau menyakitkan, dan Aku akan memberimu kelegaan yang sesungguhnya di bawah kepemimpinan-Ku yang penuh kasih (Matius 11:28-30).

Begitu kita memahami keindahan Injil, “masalah otoritas” yang sama sekali baru muncul— kebutuhan untuk membuat Yesus memiliki lebih banyak otoritas atas hidup kita!