Mereka yang Berduka
Seringkali kita berharap ada maksud dan ganjaran di akhir rasa sakit kita, namun bagaimana bila tidak ada garis akhir yang terlihat?
OlehKayla Yerden
Pertama kali saya berjumpa dengan depresi, saya tidak mengetahui namanya. Saya sedang duduk di bangku kuliah, tanpa adanya kesadaran apapun tentang kesehatan mental, dan menyimpulkan bahwa kehidupan saya yang terlindungi ini telah menganggap bahwa kesenangan dalam hidup sukar didapatkan. Saya berhenti mencari hal-hal berwarna dalam kehidupan saya yang abu-abu. Kelesuan dan kecemasan sesekali datang dalam semua aspek kehidupan saya, membuat teman-teman, perkumpulan dan ketertarikan pada bidang tertentu menjauh dari hidup saya.
Pada suatu hari Minggu, saya mendengarnya dari atas mimbar – atau terasa seperti yang pertama kali bagi saya – bahwa Allah memakai penderitaan kita untuk membentuk karakter kita, demi kebaikan kita. Jadi, saya bertahan dan menunggu. Suatu hari kelak akan ada buahnya. Dan ya, bertahun-tahun kemudian ketika saya melihat ke hari-hari di belakang saya, saya berpikir saya juga melihat seorang wanita yang tekun, kuat dan beriman.
Namun 6 bulan lalu saya pergi ke dokter karena kuatir dengan tiroid saya dan saya pulang dengan suatu evaluasi yang memastikan tanpa ragu bahwa saya depresi. Rasa itu telah kembali – kali ini dengan pengukuran dan pengobatan. Saya pergi ke kantor setelah pertemuan saya dengan dokter dan airmata menggenangi mata saya sepanjang hari saat saya menyadari bahwa untuk waktu yang lama, yang saya lakukan hanyalah bertahan.
Saya langsung teringat akan rasul Paulus. Ia pun dihantui dengan pergumulan yang terus-menerus dengan duri di dalam dagingnya. Apakah penderitaannya dimaksudkan untuk menghasilkan pemurnian rohani seperti yang saya harapkan dari situasi saya? Paulus berpikir demikian. Ia yakin bahwa duri itu ada di dalam dirinya sebagai suatu pelajaran kerendahan hati, dan ia berpuas diri. Namun saya harus bertanya: Apakah sungguh itu adalah terakhir kalinya ia mempertanyakan Allah tentang hal itu? Bahwa itu saat terakhir ia membawanya kepada Tuhan dalam keadaan frustasi? Demi kewarasan saya, saya harap tidak. Saya berharap Paulus bangun pagi dengan kepahitan di dalam hatinya. Saya berharap ia mengulanginya, berdoa dan mengakui ini tidak apa-apa sampai ia meyakini di dalam hatinya, namun kembali berkecil hati di siang hari – sama seperti yang saya alami.
Tidak ada satu pun yang saya dapat tunjukkan dari rasa sakit yang saya alami; bahkan pertumbuhan pun tidak ada. Hanya ada lebih banyak permohonan, pengakuan, harapan-harapan, tangisan, dan doa kepada Yesus
Suatu pagi, sebelum saya mengetahui bahwa saya sedang mengalami depresi, saya duduk di atas tempat tidur saya – seprei belum dirapikan dengan Alkitab, buku jurnal dan kertas catatan saya tergeletak di atasnya – dan saya membaca pesan dari seorang teman saya. Itu adalah gambar dari saat teduhnya hari itu, yang ia kirim setiap pagi dan saya selalu tidak sabar untuk membacanya. Namun pada hari itu, saya mengunci telepon selular saya dengan rasa frustasi. Pesan itu dengan lancangnya mengatakan kepada saya untuk bersyukur kepada Tuhan atas masalah-masalah saya.
Mengapa saya harus berterima kasih kepada-Nya saat sebagian kecil dari sukacita dan kedamaian saya hilang sedangkan orang lain memilikinya? Mengapa saya harus berterima kasih kepada-Nya untuk depresi yang melumpuhkan saya? Untuk tempat tidur yang menjadi satu-satunya tempat yang memberi saya kehidupan, dan untuk berat badan yang bertambah di sekitar paha dan perut saya? Untuk tatapan kosong di depan layar komputer? Untuk hubungan saya yang rusak? Tidak ada satu pun yang saya dapat tunjukkan dari rasa sakit yang saya alami; pertumbuhan pun bahkan tidak ada. Hanya ada lebih banyak permohonan, pengakuan, harapan-harapan, tangisan, dan doa kepada Yesus.
Ketika saya memandang kepada salib, sang penulis dan penyempurna iman saya sedang tergantung disana, saya melihat seorang pria yang sangat ingin berada bersama saya. Ia sekarat untuk mengenal saya, sehingga saya dapat mengenal Dia. Seolah-olah Ia sedang berkata, “Sudah selesai! Sekarang kita bisa menjadi dekat satu sama lain.” Allahku, seorang pencinta sejati. Bila Ia mengorbankan hidup Anak-Nya untuk mengenal saya, apakah Ia bersedia untuk mengorbankan kesehatan mental saya sehingga saya dapat bersekutu dengan Dia? Seberapa keras kasih-Nya?
Bangsa Israel mengetahuinya. Berapa kali mereka telah menderita, dipaksa untuk bersandar hanya kepada Allah saja? Perjalanan panjang mereka bersama Dia menyingkapkan sosok Allah yang berhasrat dan cemburu atas perhatian mereka, yang tidak menghindari rasa sakit untuk mencari umat-Nya. Mereka berbicara tentang hasrat-Nya: “Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita” (Hosea 6:1). Mata saya membaca penyerahan diri terhadap kedaulatan-Nya, namun bagi umat yang mengalami kasih Allah dengan keras, dan bagi umat yang tidak mendapatkan janji penebusan sepanjang hidup mereka, tanpa adanya harapan untuk melihat buah dari penderitaan mereka – penderitaan mereka adalah pintu kepada Tuhan. Dan beberapa ayat setelah itu, mereka memproklamirkan, “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN; … Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi” (Hosea 6:3).
Setiap hari layaknya undian – entah saya mengatakan kepada Tuhan tentang betapa bersyukurnya saya karena depresi telah mengikatkan saya dengan-Nya, atau saya menghindari Dia sebab saya kecewa. Namun setiap kali terasa menyakitkan bagi saya, saya memandang kepada Tuhan dan mengingat bahwa Ia adalah hadiah bagiku. Sama ketika Ia menguatkan hati umat-Nya beberapa kali sebelumnya, Ia pun berjanji kepada saya, “Aku akan bersamamu untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik.” Dialah yang selalu menjadi hadiahnya.