Narapidana dan Keyakinan
Nampaknya tidak mungkin secara akal manusia. Pendeta Sidonie Hall bekerja di Lembaga Pemasyarakatan dimana tahun lalu, ibadah dilakukan 6 kali dalam seminggu; antara 250 hingga 300 narapidana selalu hadir; 92 orang dibaptis dan 1.500 narapidana menerima kantong Natal berisi baju, kaos kaki, sepatu mandi, perlengkapan mandi dan bahan makanan. Dan semua ini – belum termasuk konseling, pengajaran, atau mengisi persediaan perpustakaan dan dapur – dengan budget tahunan sebesar $287 (Rp. 4.000.000) .
Hall menemui saya di Pusat Penjara Georgia dan mengantar saya melewati pintu kawat duri. Sejumlah pintu electronik yang berat terbuka dan tertutup secara bergantian, memberikan akses memasuki koridor yang berbeda. Selain plakat yang memajang gambar gubernur dan sipir, satu-satunya hiasan lain adalah peringatan bila membawa barang selundupan.
Namun saat kami mendekati kantor pendeta, ada nuansa yang berbeda – tanda selamat datang yang dimulai dengan coretan gambar warna-warni mengelilingi pintunya. Gambar Kristus dan para malaikat dilukis oleh seorang narapidana dan mantan artis tattoo yang tidak pernah berpikir untuk melukis sampai Hall menyediakan alat-alat, tembok yang kosong dan dorongan untuk mengembangkan talentanya.
Seperti seorang ibu yang bangga memperlihatkan hasil karya anaknya, ia menunjukkan poster buatan tangan serta dua gereja yang terbuat dari kardus. Ia mengatakan bahwa pemberian ini adalah “bentuk dari rasa sayang mereka” dan cara narapidana untuk “melakukan hal kecil yang membuat saya senang”.
Inilah kantor yang hampir ia tinggalkan untuk selamanya.
Hall tidak pernah mengharapkan pelayanan penjara sebagai hal yang mudah, namun pada suatu masa yang membuatnya tertekan, ia memutuskan untuk tidak kembali ke sana setelah libur Natal.
Saat ia pergi dari apa yang ia anggap sebagai kebaktian terakhirnya di sana, seorang narapidana sedang menunggunya. Dengan wajah tertunduk, ia memberikan sebuah surat kepadanya dan berkata, “Saya hanya ingin Anda memiliki surat ini sebelum Anda pergi.”
Malam itu Hall membaca: Saat saya mengingat kembali banyak hadiah yang Tuhan berikan dalam kehidupan ini, saya tidak dapat menyangkal berkat karena memiliki Anda sebagai gembala saya dan hal itu menempati urutan teratas. Dengan cara yang tegas namun lembut, Anda telah menunjukkan apa itu kebaikan dan belas kasihan dalam Kekristenan … Saya memuji kasih Anda yang tegar dan sukacita Anda saat kita menang atas sifat alami kita … Seorang pendeta di luar mungkin memiliki jemaat yang tangguh, namun saya ragu mereka memiliki sejumlah orang bodoh dan keras kepala seperti yang Anda miliki di jemaat Anda. Dan ketika seorang dari narapidana ini meledak dalam amarah mereka, sesungguhnya itu tidak bersifat pribadi; itu adalah beban dosa yang begitu berat dan melelahkan seumpama seorang perenang yang tenggelam, kami melawan orang yang berenang untuk menyelamatkan kami. Terima kasih untuk segala yang Anda telah perbuat …
Tuhan yang telah menuntun Hall ke pelayanan penjara nampaknya tidak membatalkan panggilan-Nya atas dirinya.
Hall menceritakan perjalanannya hingga ia sampai di pelayanan penjara – dan mengapa ia begitu berempati pada para narapidana. Sebagai anak paling kecil dari 12 bersaudara, ia tumbuh di dalam sebuah keluarga Kristen yang bahagia, sekalipun iman belum menjadi hal yang sifatnya pribadi. Di awal usia 20-an, ia pergi ke bagian timur laut Amerika dan mengejar karir bisnisnya selama 16 tahun.
Kemudian suatu hubungan yang retak mengubah arah hidupnya. Merasa hancur dan ingin membalas dendam, ia pergi untuk membunuh orang yang telah mengkhianatinya namun di tengah amarah yang memuncak ia pingsan sebelum melakukan niatnya – suatu berkat yang sekarang ia simpulkan sebagai perlindungan Tuhan dan doa ibunya. “Saya tidak menghentikan diri saya; saya terlalu marah dan terperangkap dalam rasa sakit saya sendiri”, katanya. “Saya sangat percaya bahwa itu adalah karya Tuhan yang luar biasa yang menghentikan insiden malam itu, sebab saya sudah berencana untuk membunuhnya.” Takut akan dirinya sendiri, ia melarikan diri ke Georgia, berharap untuk menemukan kembali kedamaian dan sukacita masa mudanya. Sekalipun ia marah pada Tuhan, ia menerima undangan ibu kosnya ke gereja. “Saya menolak dan ragu-ragu”, katanya, “namun saya tetap pergi, sebab di balik semua yang terjadi, saya rasa saya butuh pertolongan.”
Sang pendeta, Dr. Charles Callahan, segera merasa ada yang spesial tentang wanita muda ini dan mendorongnya untuk datang kembali ke gereja. Ia terus menyampaikan khotbah dengan relevansi luar biasa dengan kehidupannya – membuat Hall merasa terganggu dan bertanya-tanya apakah pak pendeta memiliki mata-mata yang mengawasinya. Namun di bawah pengajarannya yang solid dan kegigihannya yang penuh kasih, iman Hall mulai berakar.
Ia dibaptis di gereja, namun masalah yang lebih banyak segera menerpa, termasuk kematian ibunya dan ia ditipu secara finansial. Berpikir bahwa ia “telah kehilangan segalanya”, Hall pergi menemui Callahan. “Kamu mungkin tidak memahami apa yang saya akan katakan kepadamu”, katanya. “Namun hal-hal pribadi yang terjadi padamu tidaklah bersifat pribadi; mereka sifatnya rohani. Tuhan memakainya untuk memanggilmu ke seminari.”
Perkataan itu membuatnya bingung – pertama, sebab ia belum pernah mendengar tentang seminari. Setelah menyadari bahwa orang Jamaika menyebutnya sebagai “Sekolah Alkitab”, ia bingung bagaimana Callahan dapat menyimpulkan demikian. Akhirnya ia mengijinkan Callahan sebagai mentornya melewati proses pendaftaran, dan di awal studinya, ia mengetahui bahwa pelayanan penjara merupakan rancangan Tuhan. Pelayanan sementara di rumah sakit terbukti sebagai persiapan yang baik – melayani orang yang dipengaruhi kondisi medis yang kritis membantu Hall menghilangkan ketakutannya akan situasi yang sulit.
Dan penjara, tanpa usah dipertanyakan lagi, sangat berat. Hall sangat tertekan mendengar kisah-kisah kejahatan berat, yang terkadang diceritakan dengan cara “memamerkan kefasikan.” Ia begitu kasihan pada para korban sehingga ia bertanya-tanya, Bagaimana saya dapat mengasihi para narapidana ini, setalah mengetahui apa yang mereka telah perbuat? Dan bila saya tidak mengasihi mereka, bagaimana saya dapat melayani mereka? Namun titik baliknya terjadi saat ia merasa Tuhan berkata, “Tidakkah Aku mengasihimu? Lihat apa yang engkau telah perbuat!”
Ketika ditanya bagaimana ia menjalankan imannya di tengah lingkungan yang begitu sulit ini, Hall mengatakan bahwa ia berusaha untuk berfokus pada apapun situasi yang ada di hadapannya. Namun demikian, dengan masalah-masalah yang sangat ekstrim, terkadang tidak ada solusinya. “Saya menghadapinya dengan menyadari bahwa saya tidak memiliki kuasa untuk mengatasinya,” katanya. “Karenanya saya memberikannya pada Dia yang dapat mengatasinya: saya hadir secara fisik, namun Pribadi di dalam sayalah yang mengatasi situasinya.”
Baginya, pelayanan penjara jauh dari sekedar pekerjaan – ia mengasihi para narapidana itu, dan mereka menghargai pendekatan keibuannya. Hall begitu berinvestasi pada kesuksesan mereka sehingga ia memberikan mereka cara untuk mengkontaknya. Dan biasanya ia mendapatkan telepon di tengah malam dimana mereka mengakui bahwa mereka telah berbuat hal yang salah, atau hendak melakukan sesuatu dan mereka ingin “Ibu” untuk menghentikan mereka. Ia berkata, “Bila mereka merasa bahwa Anda nyata, mereka akan menuruti nasehat Anda.”
Mereka juga merasakan ketetapan hatinya bahwa mereka akan diperlakukan secara bermartabat, yang terkadang itu berarti harus memenuhi kebutuhan dasar mereka. Contohnya, sabun yang diberikan Negara keras dan kasar. Karenanya para pengunjung sering membawa barang-barang yang bersih serta makanan yang disukai kerabat mereka di penjara. Namun bagi mereka yang “tidak memiliki apapun”, Hall menyediakan hal-hal yang diperlukan setiap 60 atau 90 hari sekali, tergantung pada donasi.
Setiap Natal, ia mengusahakan upaya itu pada semua narapidana di penjaranya.
Kantong hadiah adalah proyek Hall yang paling ambisius, dan yang sangat ia usahakan karena hal itu sangat berarti bagi mereka. Ia berkata, “Apa yang saya lakukan adalah memohon kepada gereja-gereja sepanjang tahun sehingga saya dapat mengumpulkan pasta gigi, deodoran; terkadang narapidana tidak mendapatkan perawatan gigi … hingga Anda bekerja disini, Anda tidak akan pernah melihat kebutuhan dan penderitaan yang terjadi yang disebabkan karena ‘barang-barang’ sederhana tidak mereka miliki. Sekalipun mereka di penjara, Anda tetap harus mengasihi mereka.”
Tidak semua pendeta penjara memberikan hadiah kepada narapidana. “Saya sendiri miskin”, Hall menjelaskan, “sehingga saya menolong mereka dengan cara mendapatkan donasi, membeli produk yang sama bagi semua narapidana, dan mengorganisir pengepakannya, dimana demi alasan keamanan, harus dilakukan di dalam penjara.”
Tugas yang besar ini terbayar harganya sebab “banyak dari mereka tidak pernah mengalami apa kasih itu. Mereka melihat Kristus melalui kasih orang-orang yang memenuhi kebutuhan mereka, sekalipun mereka telah melakukan kejahatan besar. Ini adalah teladan Yesus di atas kayu salib, berkata kepada sang pencuri di sampingnya, ‘Hari ini engkau akan bersama-sama dengan Aku di surga.’ Hal ini mendorong mereka untuk mengubah hidup mereka dan mengasihi satu sama lain.”
Hall sangat percaya bahwa dengan perawatan yang tepat, semua narapidana dapat direhabilitasi; ia terus berdoa agar mereka memiliki kesempatan untuk berhasil “di luar”. Namun bila kebebasan bukanlah rancangan Tuhan bagi beberapa orang, maka doanya adalah agar mereka menjadi misionaris di dalam penjara. Dan mereka tentunya memiliki teladan yang baik.
– Sandy Feit