Nilai Bersih
Tentu, rencana Tuhan adalah untuk mensejahterakan kita. Namun apa hubungannya dengan uang?
Oleh : Winn Collier
Tahun lalu, istri saya dan saya memutuskan untuk menaikkan uang jajan kedua anak kami disertai tanggung jawab yang dituntut dari mereka untuk uang tambahan ini. Ketika kami menjelaskan rencana yang baru ini, mata mereka membelalak disertai senyuman lebar, membayangkan permainan video yang baru, sekantong permen Sour Patch Kids, dan pergi ke toko buku favorit mereka. Namun, saat kami menyebutkan daftar pekerjaan rumah mereka dan hal-hal baru lainnya yang menjadi tugas mereka sekarang, wajah mereka langsung berubah. Kami menyediakan makanan dan tempat tinggal, pakaian, dan perlengkapan sekolah yang diperlukan. Sisanya adalah tanggungan mereka. Bila mereka ingin permen saat nonton bioskop, atau sepatu Nike terbaru, atau kado ulang tahun untuk teman mereka, maka mereka harus merogoh kantong mereka sendiri.
Dengan penyesuaian baru ini, anak-anak kami sekarang berpikir lebih holistik dan strategis tentang apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka hargai. Saya bersyukur sebab struktur yang baru ini memberikan saya suatu jendela ke hati masing-masing anak. Saya menangkap sekilas pergumulan mereka tentang apa yang mereka benar-benar inginkan dan bagaimana mereka melihat dunia ini; saya pun mengamati kreativitas dan panjang akal mereka. Dan menyaksikan mereka menegaskan kepada saya apa yang saya telah percayai sebelumnya – bahwa uang (dan semua jenis sumber daya kita) memberikan kepada kita wawasan yang dapat dipercayai tentang diri kita sendiri. Cara kita memanfaatkan apa yang tersedia bagi kita menunjukkan setidaknya tentang hasrat kita yang sesungguhnya, harapan kita yang terus ada, keyakinan yang mengakar, dan pandangan kita tentang Tuhan.
Pada permulaan pelayanan-Nya, Yesus mengumumkan momen mengguncangkan yang dimulai dengan kehadiran-Nya: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Markus 1:15). Tak lama, Tuhan mencari teman yang mau mengikuti-Nya dalam hal yang baru ini. Berjalan di tepi Danau Galilea, Ia menemukan Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes sibuk menjala ikan dari danau itu. Bisnis mereka kemungkinan besar merupakan bisnis keluarga, yang membentang dari generasi ke generasi. Sebagai nelayan, mereka menopang kehidupan keluarga mereka, membantu memberi pekerjaan kepada tetangga mereka, menghidupkan ekonomi dan mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk hidup dan menabung dan membangun suatu kehidupan. Panggilan terhormat hidup mereka dan cara mereka bertingkah laku memberikan identitas kepada mereka. Namun, pada titik ini, Yesus memiliki sesuatu yang lain untuk mereka lakukan. Ia berkata, “Ikutlah Aku” (Markus 1:17).
Cara kita memanfaatkan apa yang tersedia bagi kita menunjukkan setidaknya tentang hasrat kita yang sesungguhnya, harapan kita yang terus ada, keyakinan yang mengakar, dan pandangan kita tentang Tuhan.
Dan mereka pun melakukannya. Segera, mereka meninggalkan jala mereka (bisnis mereka, pengaruh finansial, pendapatan dan keamanan, serta identitas sosial) untuk dapat mengikut Yesus. Untuk lebih jelasnya: Para nelayan ini meninggalkan kehidupan mereka dan mengikuti Dia tanpa pemaksaan atau manipulasi, dan tindakan yang berani ini memperkuat respon sukacita mereka terhadap kabar baik-Nya. Yesus berkhotbah tentang suatu tatanan baru dimana di dalamnya seorang Raja yang berbeda akan memerintah bumi. Dengan demikian, satu-satunya hal yang masuk akal adalah menilai ulang kehidupan mereka – mengevaluasi kembali dunia ini dan tempat mereka di dalamnya dari perspektif baru yang radikal. Pertanyaan fundamental bagi Yakobus, Yohanes, Simon dan Andreas bukanlah bagaimana mereka akan mencukupi kebutuhan mereka sendiri, atau apakah bisnis keluarga ini akan hancur tanpa kehadiran mereka, namun pertanyaannya adalah apakah mereka percaya bahwa Allahlah yang memiliki dunia dan segala sesuatu di dalamnya. Lalu, jala mereka menjadi ekspresi nyata tentang bagaimana kepercayaan keempat murid ini diletakkan. Jala itu bukanlah sekedar perlengkapan yang digunakan di akhir pekan, melainkan suatu alat yang penting untuk menghidupi mereka. Seringkali kesetiaan, nilai dan visi sejati kita tentang dunia menjadi lebih jelas saat kita memperhatikan bagaimana kita menggunakan (atau melekat pada, atau berhasrat mengejar) sumber finansial kita. Orang yang tamak menggunakan uang dengan cara yang egois. Orang yang dermawan menggunakannya dengan membuka tangan mereka.
Inilah mengapa Yesus banyak berbicara tentang kekayaan. Hampir setengah perumpamaan-Nya berhubungan atau terkait dengan harta milik kita. Yesus berulang-kali memperingatkan tentang “tipu daya kekayaan,” mengatakan berulang kali “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 4:19; Markus 10:23). Paulus pun memperingatkan bagaimana “akar segala kejahatan adalah cinta uang.” (I Timotius 6:10).
Membaca peringatan ini, mungkin kita tidak cukup saling mengingatkan tentang betapa uang dapat berbahaya bagi kita. Selama kita mengekang keserakahan dan memberikan sejumlah uang yang cukup ke gereja dan kegiatan amal, banyak dari kita menganggap bahwa adalah suatu kebajikan untuk menghasilkan uang yang banyak dengan sebanyak mungkin cara. Namun saat kita mendengarkan Firman Tuhan, sikap kewaspadaan itu hadir. Yang pasti, sumber finansial dapat dipergunakan untuk menggerakkan apa yang baik, kudus dan menyembuhkan di dunia kita. Namun, bila kita tidak waspada, maka uang dapat mencuri hati kita. Jarang kita merasa puas hanya karena menggunakannya dengan baik. Itulah mengapa Yesus menegaskan bahwa kita tidak dapat “mengabdi kepada dua tuan … [kita] tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Lukas 16:13).
Entah kita memberikan untuk diri kita sendiri, memberikan untuk gereja dan kegiatan amal, atau menyimpan uang di bawah kasur, setiap transaksi mengijinkan kita untuk mengevaluasi hubungan kita dengan uang. Seringkali, kita mendapati diri kita sedang menyembah di kaki proyeksi keuangan terbaru atau takut akan apa yang akan tersedia bagi kita di masa depan. Namun syukurlah, karena ekonomi bukanlah Tuhan. Hanya ada satu Tuhan, dan hanya Ia saja yang memerintah atas seluruh dunia. Tuhan kita masih mengundang kita untuk meletakkan jala kita –tabungan kita di bank, rencana finansial kita dan rasa takut akan masa depan finansial kita – lalu mengikut Dia.