Pilihlah Tuanmu
(Joshua Ryan Butler)
Jika Anda ingin mengabdi pada seseorang, mengabdilah pada tuan yang memerdekakan Anda.
Sejak dari halaman-halaman pertama Kitab Suci, kita melihat sebuah tema besar yang terus berlanjut: kemerdekaan. Allah di kitab Keluaran adalah Allah yang membebaskan para budak. Paulus mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah tujuan keselamatan kita dan ia berkata, “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita” (Galatia 5:1). Dan Yohanes berkata bahwa kemerdekaan kita itu nyata, karena “Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” (Yohanes 8:36). Kita bisa melanjutkan lagi dengan berkata bahwa pesan Allah dalam kitab-kitab Injil adalah kemerdekaan yang radikal. Kita dapat memahami kemerdekaan itu sebagai semacam kelepasan dari belenggu – karena Yesus datang untuk menyelamatkan kita dari belenggu penindasan, dosa dan kematian.
Di Amerika, negara tempat saya tinggal, kemerdekaan merupakan salah satu nilai pokok bangsa kami. Tetapi ketika kami mengucapkan kata itu, yang kami maksudkan seringkali adalah hal seperti: Bisa melakukan yang ingin kulakukan, yang bisa mencakup hal-hal yang egois, atau tidak baik—tidak benar. Penting sekali kita menanyakan: Bagaimana definisi orang Amerika tentang kemerdekaan yang sesuai dengan definisi Allah? Mari kita perhatikan.
Kemerdekaan dari dan untuk
Kemerdekaan sejati bukan hanya bebasdari hal-hal yang buruk, tetapi juga bebas untuk hal-hal yang baik. Ya, Allah membebaskan bangsa Israel dari penindasan bangsa Mesir, tetapi Dia juga membebaskan mereka untuk datang kepada-Nya. Umat-Nya terikat dalam relasi perjanjian kasih yang memberi-hidup. Sesungguhnya, seperti inilah persatuan dengan Allah itu —dalam perlindungan, pemeliharaan dan pelukan-Nya – yang menjaga Israel tidak diperbudak lagi oleh kekuatan-kekuatan musuh yang ada di sekelilingnya.
Dengan kata lain, terikat dengan Allah membawa kemerdekaan. Kita cenderung menganggap kemerdekaan sebagai kebebasan murni (pure independence), kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan. Tetapi Injil melihat kemerdekaan sejati sebagai saling tergantung (interdependence), tergabung dalam persekutuan yang dipenuhi kehadiran Allah. Untuk Dialah kita diciptakan. Seperti dituliskan oleh Paulus, “Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2 Korintus 3:17). Kemerdekaan sejati ditemukan di dalam Allah.
Dan ketika jalan-jalan Allah menjadi jalan-jalan kita, jalan-jalan yang kita lalui menjadi lebih luas. Seperti pemazmur yang bersukacita, “Aku hendak hidup dalam kelegaan, sebab aku mencari titah-titah-Mu” (Mazmur 119:45). Pimpinan Allah menghindarkan kita dari jalan-jalan yang merusak serta jebakan-jebakan yang menanti di ujungnya – dan sebaliknya mengundang kita untuk tinggal bersama Dia di tempat-tempat terbuka yang berudara segar.
Terikat pada Allah
Itulah sebabnya Injil dapat menyebut kita sebagai orang merdeka dan sekaligus hamba. “Hiduplah sebagai orang merdeka,” Petrus menasihati kita, “dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah” (1 Petrus 2:16). Ini perkataan yang menarik: Hamba Allah. Apa yang terjadi di sini? Apakah ia membayangkan Tuhan yang membawa cambuk dan memerintah dengan kejam?
Paulus memakai perkataan yang sama yang jelas-jelas dimaksudkan untuk para pengikut Yesus: “Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba Allah.” Tetapi Paulus juga menjelaskan bahwa hal ini tidak akan membuat kita menjalani kehidupan yang membosankan, tetapi sebaliknya: “Kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal” (Roma 6:22).
Kita adalah orang yang merdeka dari dosa dan hamba bagi Allah. Atau lebih tepatnya, kita bebas dari dosa karena kita sudah menjadi hamba Allah. Apa artinya ini?
Sebagaimana pengamatan bijak teolog besar Bob Dylan, “Anda harus mengabdi pada seseorang.” Di masyarakat kita banyak orang yang menjadi budak seks, hamba uang atau kekuasaan, dan dikuasai olehberbagai keinginan dan nafsu untuk mendapatkan ketenaran, keamanan, atau popularitas. Tetapi Yesus membebaskan kita dari keinginan-keinginan yang merusak, dan mengembalikan kita kepada Dia yang bagi-Nya kita sudah diciptakan. Dia mengingatkan kita bahwa “tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” karena, “ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain” (Matius 6:24).
Maka pilihannya bukanlah antara “satu” tuan atau “tanpa” tuan. Tetapi tuan yang mana/bagaimana. Kita diciptakan untuk menyembah, dan hati kita akan tertawan pada seseorang atau sesuatu – bahkan (dan barangkali yang paling berbahaya) padahal-hal atau diri kita sendiri. Kehadiran Allah yang memberi-hidup, yang tinggal di dalam kita dan memimpin kita inilah yang benar-benar akan memerdekakan kita.
Ketika jemaat Korintus salah memahami prinsip ini, Paulus meluruskannya, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun” (1 Korintus 6:12).
Anda ingin benar-benar merdeka? Paulus berkata, Jadikanlah Yesus sebagai Tuanmu. Karena kemerdekaan itu bukanlah tentang Anda dapat dibebaskan dari apa dan seberapa besar – melainkan tentang hidup bagi Dia yang sudah menyerahkan diri-Nya untuk hadir dalam hidup Anda.
Membebaskan budak yang sesungguhnya
Selain kemerdekaan internal dari keinginan-keinginan yang merusak, penting juga diperhatikan bahwa: kita pun harus membebaskan budak-budak yang sesungguhnya. Tidak satu pun dari yang dibicarakan di atas dapat diartikan sebagai mengecilkan pentingnya pembebasan yang nyata dan kasat mata bagi yang benar-benar tertindas. Dimensi pribadi pembebasan kita dari dosa seharusnya membebaskan kita dari hal-hal yang berpusat pada diri sendiri agar kita dapat hidup bagi keadilan yang sesungguhnya di dunia ini. Mengapa? Karena orang yang melayani Allah di kitab Keluaran membebaskan orang-orang yang tertindas. Yesus membebaskan kita untuk menjadi pembebas, untuk bergabung dengan-Nya dalam mewujudkan keadilan bagi dunia.
Ketika memulai pelayanan-Nya, Yesus menyatakan diri-Nya dengan mengutip perkataan nabi Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas (Lukas 4:18-19).
Yesus adalah segala kemerdekaan itu —bukan saja kemerdekaan dari dosa secara personal, tetapi juga kemerdekaan dari belenggu-belenggu secara sosial. Ketika kita dipersatukan dengan Dia, Dia akan membuat kita memperhatikan kedua hal ini. Kita hidup dari kemerdekaan Injil dan bagi kemerdekaan dunia. Kita melakukannya dengan keyakinan bahwa karya pembebasan Allah tidak akan terhenti – dan karena kita sudah mengalaminya dalam hidup kita sendiri. Pengharapan tertinggi kita adalah bahwa “segala makhluk itu juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Roma 8:21).
Kemerdekaan yang diberikan Yesus bukan hanya untuk manusia tetapi juga untuk segala makhluk. Dia akan membebaskan rumah kita di bumi dari belenggu dosa, maut dan kerusakan agar kita dapat bersukacita dalam kuasa kemuliaan kehadiran Allah yang memberi hidup. Dan kita akan mengalami kemerdekaan yang sepenuh dan sesungguhnya yang untuk itu kita sudah diciptakan.