Realita Cerminan Kita
Saya tidak dapat membayangkan satu pun skenario yang dengannya saya dapat memperkenalkan istri saya sebagai saudari perempuan saya kepada siapapun. Saya dapat melihat diri saya sedang dihukum oleh istri saya.
Sekarang pikirkan fakta bahwa Abraham dan anaknya Ishak –raksasa dari tradisi Jahudi-Kristen – keduanya berusaha untuk mengakui istri-istri mereka sebagai saudari perempuan mereka pada kesempatan yang berbeda (Kejadian 12, 20, 26), dengan maksud melindungi diri mereka sendiri agar tidak disakiti. Apa yang mereka pikirkan
Dua dari tiga penipuan yang dilakukan oleh dua kepala keluarga ini dalam kitab Kejadian – dan kembali saya ingatkan bahwa kejadiannya terpisah, bertahun-tahun kemudian – melibatkan seorang raja Filistin bernama Abimelekh. Entah kedua pria ini melakukan tipu muslihat pada raja yang sama atau pada dua penguasa yang berbeda bernama Abimelekh adalah hal yang tidak jelas. Namun pepatah “Sebagaimana sang ayah, demikian pula anaknya” nampaknya memang benar.
Saat saya membaca bahwa Ishak mengikuti jejak ayahnya, saya berpikir bagaimana anak-anak mencerminkan orangtua mereka, baik karena faktor keturunan maupun melalui observasi. Ayah saya seorang pendeta Baptis, dan disinilah saya duduk, mengeksplorasi hal-hal teologia dalam bentuk esai – apakah saya akan menuliskan hal-hal ini bila bukan karena dia? Akankah saya menjadi ayah yang tinggal di rumah bila ibu saya sendiri tidak tinggal di rumah bersama saya?
Kita pun mencerminkan Bapa surgawi kita. Kejadian 1:27 berkata, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Bila demikian, setiap orang adalah “cermin kecil”, yang menampilkan sesuatu yang serupa dengan Allah, sekalipun keserupaan itu telah disimpangkan oleh dosa.
Dalam kasus Abraham dan Ishak, saya melihat bagaimana penyimpangan dari gambar dan rupa Allah memiliki potensi untuk diturunkan dari orangtua ke anaknya dalam suatu perpindahan yang saya sebut sebagai penurunan secara rohani. Saat Abraham nampak seperti mempercayai Allah untuk menopang dia, muslihatnya mengindikasikan hal yang sebaliknya. Ia sepertinya berpikir, Tuhan memiliki rancangan bagiku, tapi aku sebaiknya melindungi diriku dengan berbohong bila seandainya Ia tertidur.
Iman Ishak goyah dalam hal yang sama seperti ayahnya – keduanya mengatasinya dengan cara yang persis sama. Hal ini membuat saya berpikir: Apakah Ishak bertindak karena ia mengetahui tentang ketidak-jujuran ayahnya, atau apakah ia melakukannya karena faktor keturunan untuk melakukan seperti yang ayahnya lakukan?
Sementara saya menuliskan hal-hal ini, saya bertanya-tanya apakah anak perempuan saya yang berusia 3 tahun akan menyerupai istri saya dan saya. Saya sudah melihat cerminan awal diri saya pada dirinya – dalam hal baik maupun buruk. Dalam kesenian primitifnya sebagai anak kecil, saya melihat kreatifitas saya. Saat ia sedang mengamuk, wataknya cepat panas seperti saya; saya kuatir kami memiliki peluru yang sama di perut kami.
Oleh karena saya orangtua yang tinggal di rumah, maka ketika kesabaran saya habis, Evie seringkali menanggung beban gertakan saya. Ketika saya bereaksi dengan amarah yang tidak pada tempatnya atas kekacauan yang dibuatnya, saya hanya dapat meminta maaf setelahnya. Pada saat-saat seperti ini, saya dengan jelas dapat melihat Tuhan di dalam dirinya.
“Jangan kuatir, ayah,” katanya tanpa keraguan. “Saya masih mencintaimu dan saya memaafkanmu.”
Dia memang benar-benar mengatakan hal-hal seperti ini, dan hal itu menghancurkan saya sebab saya tidak layak mendapatkan kasih karunia seperti itu. Saya berusia 36 tahun. Saya tidak memiliki alasan untuk berperilaku buruk seperti itu. Namun ia tetap membebaskan saya. Jadi, sekalipun ia berperilaku sebagai cermin kecil saya, merefleksikan amarah saya, ia juga meniru kasih sayang Bapa surgawi-Nya. Saya berharap dan berdoa agar ia melihat Tuhan di dalam diri saya, sekalipun gambar dan rupa-Nya di dalam diri saya telah tercoreng-telah rusak secara rohani.
Ketika saya berpikir tentang warisan rohani saya sendiri, saya tahu bahwa saya banyak berhutang pada ayah saya. Sebagai seorang pendeta, ayah mengarahkan orang-orang pada reflektor umat manusia yang paling kudus yang pernah dikenal dunia. “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa,” Yesus berkata dalam Yohanes 14:9. Saat saya bercermin, saya melihat bayangan Abraham dan Ishak di dalam saya. Namun ketika saya melihat kepada Yesus, saya melihat Allah itu seperti apa – dan Dia pun menghendaki saya terlihat seperti demikian.
– Chad Thomas Johnston