Saat Untuk Berbuat Baik
Kita hanya diberi satu kehidupan, tetapi menjalannya dengan baik seringkali berarti berbuat lebih sedikit, bukan lebih banyak.
(Jamie A. Hughes)
Sejak kanak-kanak, saya sering bermimpi buruk: saya berjalan di sebuah ruangan yang gelap dan menabrak dinding kaca tebal. Ketika saya memeriksanya, dinding-dinding lainnya dan langit-langit bergerak menyatu perlahan-lahan di sekeliling saya, membentuk penjara yang membuat saya tak menemukan jalan keluar. Dan kemudian, dalam mimpi-mimpi semacam itu, keadaan menjadi semakin buruk. Kotak kaca itu mulai tergenang air. Akhirnya saya kehabisan udara, dan dengan tarikan napas terakhir saya pun terbangun.
Arti harafiah mimpi buruk itu tidak benar, karena saya seorang jago renang dan tidak pernah takut tenggelam. Arti simbolisnya, saya cemas dan kewalahan, dan benar-benar tidak dapat menyesuaikan diri. Saya terlalu amat sibuk. Sumber kecemasan sebenarnya – yang saya perangi pada waktu bangun maupun waktu tidur – adalah berbagai keterbatasan.
Saya seIalu merasa seakan-akan saya harus berbuat lebih banyak lagi dengan yang diberikan pada saya. Ketika saya mendengar orang perlu menyambut para imigran dan menolong mereka untuk hidup mapan di tempat yang baru, saya ingin berespons, “Saya ikut.” Merawat orang lanjut usia, mengonseling ibu-ibu yang tidak menikah, mengunjungi narapidana, menyediakan rumah bagi yatim piatu – jawabannya akan selalu ya, karena saya tidak ingin hidup yang singkat dan sementara ini dihabiskan sendirian. Saya lebih suka menjadi seperti yang tertulis dalam puisi John Donne, “Like gold to airy thinness beat,” yang artinya kira-kira selalu terbuka ke luar dan siap menerima apa saja dan siapa saja dengan murah hati.
Bagaimanapun, ada ayatnya tentang hal ini. Bahwa hidup kita harus “dicurahkan seperti darah korban persembahan” dan tubuh kita harus menjadi “persembahan yang hidup dan kudus” (Filipi 2:17, Roma 12:1). Hanya, ada satu masalah, orang yang ingin melakukan berbagai kebajikan ini tampaknya sedang merusak situasi yang seharusnya dapat dinikmati dan menjadi sangat positif: Saya menghabiskan delapan jam sehari di tempat kerja, dan kemudian pulang ke rumah untuk melakukan pekerjaan kedua: mengurus suami dan dua anak angkat. Selain menunaikan tugas-tugas rumahtangga, menyiapkan makan malam, dan mengantar anak tidur, masih ada sesi-sesi percakapan terapi, pendampingan dan konseling. Dan ketika semua itu berakhir, hari terasa sangat melelahkan. Sesungguhnya, begitulah situasi kehidupan saya.
“Mengapa tidak pernah ada cukup waktu,” kata saya frustrasi kepada suami saya, yang mengangguk simpati dan dengan sabar menanti sampai saat yang mengganggu dan melelahkan saya berakhir. Sebagai orang pragmatis, ia membuat daftar semua yang harus kami kerjakan dan mengingatkan saya pada satu fakta penting yang tak dapat dihindari: kami punya anak, dan menambahkan satu (atau banyak) hal lagi bukanlah pilihan tepat untuk saat ini.
Setiap kali ia mengatakan hal itu, saya seperti bisa mendengar dinding-dinding kaca itu bergerak masuk ke tempatnya.
Sebagai orang yang selalu memanfaatkan setiap waktu, saya bersikeras bahwa kami dapat melakukan keduanya. Bahwa kami dapat membesarkan anak-anak kami dan membuat mereka melayani bersama kami. “Akan bermandaat bagi mereka,” kata saya, “melihat orangtua mereka terlibat pelayanan tertentu. Mereka akan senang melayani seperti kita, dan akan menjadi rindu untuk melayani juga.”
Namun pada kenyataannya, anak-anak kami sangat membutuhkan perhatian khusus. Sejak awal kehidupan mereka, kebutuhan-kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, sehingga mereka bertumbuh tanpa rasa aman secara fisik maupun emosional, yang mengakibatkan mereka mengalami keterlambatan dalam perkembangan tertentu. Ini tugas yang sulit, tetapi kami terus mengusahakan kemajuan hari demi hari. “Mereka adalah pelayanan kita untuk saat ini,” suami saya mengingatkan. “Kita akan berbuat sesuai panggilan kita pada saat ini, jadi mari kita melakukannya dengan baik dan tidak mengacaukan diri sendiri dengan mencoba berbuat lebih banyak lagi.”
Saya tahu ia benar, tetapi saya sangat tidak suka berkata tidak. Di dalam keluarga saya, tantangan selalu menjadi hal yang harus dihadapi dan diselesaikan, bukan dihindari atau menyerah sebelumnya. Seperti Mayor JenderaL Lee dalam “Light-Horse Harry” kami terus bergerak maju, tanpa pernah berhenti atau berdiam sejenak. Saya selalu percaya bahwa dengan rencana dan usaha yang cukup, tidak ada hal yang mustahil. Tetapi melalui anak-anak saya, Tuhan bekerja menyadarkan saya dari pemikiran yang sama sekali tidak menakjubkan (dan sangat tidak manusiawi) itu.
Suatu kali, saya meninju dinding-dinding kaca yang Dia tempatkan dalam hidup saya itu, dengan harapan penghalang itu akan hancur dan saya dapat bernapas lega kembali. Namun saya kemudian sadar bahwa batasan-batasan itu bukanlah untuk ditendang ke galah rangsang, tetapi merupakan sarana pertumbuhan. Tulisan Wendell Berry yang berjudul “Poetry and Marriage: The Use of Old Forms” menjadi penolong yang sangat berharga dalam saya memahami makna dan tujuan batasan-batasan itu. Berry berkata, seperti halnya pernikahan – yang memerlukan kalimat berbalasan untuk mengikrarkan dan memenuhi janji – puisi berkembang dalam keterbatasan gaya dan bahasa. Kita tahu apa itu puisi karena ia terikat pada standar keindahan dan musikalitas. “Batasan-batasan tertentu,” kata Berry, “sudah ditetapkan sebelum mulai.”
Ia juga berkata, “Bentuk/gaya adalah sebuah cara menerima dan hidup dalam batasan-batasan kehidupan sebagai ciptaan” dan itu “membuat waktu dapat melakukan kebaikan.” Mudah bagi kita untuk melupakan budaya “menurutkan kata hati dan menapaki jalan sendiri” bahwa kita adalah makhluk ciptaan – bukan penentu nasib kita sendiri. Tanpa struktur yang diberikan Allah, kita cenderung mengembara seperti domba sesat yang diucapkan Yesus dengan penuh kasih tentang kita. Batasan-batasan lembut yang kita bentur bukanlah hukuman; kita tidak sedang dihalangi dari sesuatu yang indah nun jauh di sana. Tetapi, batasan-batasan itu memberi arti pada sudut-sudut kecil dunia yang kita sebut rumah, dan dengan kita mendiami sepenuhnya tempat itu, hidup dan menghidupi diri kita di dalamnya (dan di dalam Dia yang menciptakannya), kita sampai pada kehidupan yang sebenarnya. (Lihat Kisah Para Rasul 17:28). Seperti dikatakan Berry, “Arus yang terhalang adalah arus yang mengeluarkan bunyi.”
Kebenaran ini terbukti ketika saya pertama kali mengunjungi Musium Seni Modern di New York City. Saya hanya beberapa jam berada di tempat menakjubkan itu, sehingga saya membuat daftar hal-hal yang harus saya lihat, dan berencana bisa melihat sebanyak mungkin. Magritte, Picasso, Matisse, Warhol, Monet, Kahlo, Dalí— muncul secepat kilat, begitu indah dan cemerlang sampai hati saya hampir tak dapat menerima semuanya. Semakin saya melihat, semakin besar kelaparan saya, dan saya mulai bergerak cepat dari lukisan yang satu ke lukisan berikutnya, berusaha melayangkan pandangan saya ke setiap lukisan itu, meski hanya sesaat. Saya melihat semuanya dan saya tidak melihat apa-apa.
Dan kemudian sampailah saya pada lukisan “The Starry Night” (Malam Berbintang) karya Vincent van Gogh, yang diproduksi ulang di atas kaus kaki dan cangkir kopi yang tak terhitung banyaknya. Saya berdiri terpesona di depan karya terkenal itu selama 20 menit, menyusuri bagian kanvas yang satu ke bagian yang lainnya. Menikmati warna hijau, biru, kuning, yang begitu hidup dan tak mungkin dikreasikan dengan cara 2Dimensi. Saya memandangi bukit bergelombang di latar belakangnya dan merasakan angin malam yang sejuk berembus dari rerumputan. Musium itu seperti hilang dan hanya yang ada di lukisan itu saja yang terasa nyata. Lukisan itu? Ya, saya bisa katakan saya benar-benar melihatnya; memaksa diri saya untuk berhenti berlari dan tinggal sepenuhnya dalam sebuah mahakarya yang jauh lebih berharga daripada saya hanya bergerak cepat melewatinya. Itulah yang dilakukan batasan-batasan – memaksa kita untuk menghargai keterbatasan-keterbatasan hidup kita dengan segala keindahan di dalamnya yang mungkin saja kita abaikan.
Ya, keterbatasan-keterbatasan membuat saya tidak dapat melakukan banyak hal yang ingin saya lakukan (hal-hal yang mungkin juga baik dan berkenan kepada Tuhan), tetapi pada saat yang sama, juga membukakan kemungkinan-kemungkinan baru. Karena anak-anak saya, saya belajar bahwa hati saya memiliki lebih banyak ruang untuk cinta dan menjadi ibu – sebutan yang saya rasa kurang tepat untuk saya – yang sebenarnya ada di ruang kemudi saya. Saya menjadi lebih menghargai suami saya sepenuhnya ketika ia berkembang dalam peran pemimpin yang dirancangkan Allah untuknya. Dan karena saya, Si Wanita Mandiri ini, harus meminta tolong agar peran menjadi orangtua ini terus berlangsung, saya menemukan arti komunitas Kristen dan berkat yang datang dari menerima dan memberi bantuan.
Dengan menyederhanakan hidup saya saat ini, menyempitkannya menjadi empat dinding yang bernama keluarga (yang pernah saya anggap sebagai hukuman penjara), Bapa surgawi menunjukkan apa yang baik bagi saya dan memuaskan saya dengan hal-hal yang tak pernah saya peroleh dengan bersibuk-sibuk. Sekali lagi, kata-kata Berry sungguh bijak. Dengan berdiri di tempat, kita akan melihat “dunia, kebenaran secara lebih luas, lebih menyenangkan, lebih menarik dari yang kita pikirkan. Yang sebelumnya mungkin hanya tampak sebagai kewajiban, tiba-tiba menjadi sesuatu yang manis—dan kita tidak lagi berada di tempat yang kita pikir kita harus berada, tempat kita ingin berada.” Ya, saya tidak berada di semua tempat yang saya ingin berada, tetapi saya berada tepat di tempat saya perlu ada. Ini bukanlah kehidupan seperti yang saya rencanakan, tetapi kehidupan yang lebih baik, lebih kaya dan lebih indah dari semua yang dapat saya usahakan. Cukuplah. Dan di dalam kehidupan seperti itulah saya kini berada.
Saya mungkin tidak selalu memahami hal ini sepenuhnya, tetapi saya kini mengerti bahwa menjadi murah hati tidak berarti saya harus mengacaukan diri saya sendiri. Ada banyak yang harus dilakukan dengan kualitas daripada kuantitas. Allah hanya meminta saya menerima dan menjalani hidup saya sepenuhnya, dengan menyusuri setiap bagiannya dan merawat dengan baik apa pun atau siapa pun yang ada di dalamnya. Untuk saat ini, itu berarti mengasihi suami saya, mengajar anak-anak saya tentang arti menjadi anggota keluarga yang sebenarnya dan menolong mereka bertumbuh dengan baik dan benar, melayani orang-orang yang Allah bawa ke dalam lingkup hidup saya, dan menanti dengan sabar dan dalam ketenangan apa yang akan terjadi selanjutnya.