Sangat Membutuhkan Tanda
(James Cain)
Kita mungkin tidak melihat tiang api, tetapi itu tidak berarti Tuhan tidak menyertai kita.
Saya dan istri sekali lagi memandangi barang-barang kami—perabotan dan kardus-kardus yang ditumpuk di atas truk—dan menarik pintu gulung. Saat itu sudah lewat tengah malam. Para pengangkut barang lalu mengikat salah satu kasur kami di bagian belakang, satu-satunya tempat yang tersisa, dan kami terus melihat mereka menjauh pergi dalam kegelapan. Keesokan harinya kami akan menyusul, memindahkan keluarga kami ke wilayah seberang.
Pagi harinya, ketika rumah kami tampak makin mengecil dan akhirnya menghilang dari kaca spion, tenggorokan saya tercekat dan bayangan kehidupan selama dua belas tahun itu menyelimuti saya. Putra kami yang dulu masih TK sekarang sudah mau kuliah. Adiknya akan memulai tahun pertamanya di Sekolah Menengah yang baru. Dan putri kami yang dulu kami bawa ke rumah itu dari rumah sakit, sekarang sudah duduk di Sekolah Dasar. Memori-memori yang kami ukir itu – hal-hal paling berharga yang menyertai kami – bisa memenuhi lebih dari beberapa buku kenangan.
Banyak hal menjadi kacau sejak kami memutuskan untuk pindah. Saya mendapat pekerjaan baru, tetapi kami membuat keputusan pada bulan Februari 2020, dan karantina wilayah akibat Covid-19 awal terjadi kurang dari sebulan kemudian. Tidak hanya sekali dua kali istri saya bertanya, “Kita sedang melakukan hal yang benar, bukan?” Saya tidak selalu yakin, tetapi saya mau percaya bahwa Tuhan sedang memimpin kami kepada sesuatu- dan ke suatu tempat—yang baru, dan bahwa Dia akan menyertai kami setiap saat. Dan kami berpegang teguh pada keyakinan itu sampai ke perbatasan kota Oklahoma.
Kami tiba dengan semangat tinggi, bergairah untuk melihat dan melakukan semua yang kami bisa. Tetapi hal itu ternyata sangat sedikit. Dengan adanya pandemi, kebanyakan orang tinggal di rumah, dan sedikit kontak dengan manusia yang bisa kami lakukan terhalang oleh masker dan pembatasan sosial. Keanehan dan kegersangan itu bahkan merayap sampai ke rumah kami sendiri. Kekurangan pengemudi truk membuat pengantaran perabotan kami tertunda, dan untuk sementara waktu kami tidur di kasur angin dan makan di meja untuk bermain kartu yang kami pinjam. Bahkan ketika gereja-gereja mulai mengadakan pertemuan langsung lagi, tidak bisa melihat wajah-wajah membuat hubungan menjadi sulit – dan semua orang berhati-hati – jadi kami terus merasa seperti orang asing setelah berminggu-minggu datang ke gereja. Sementara itu, teman-teman saya di rumah yang lama terus melanjutkan hidup mereka, foto-foto dan postingan mereka di media sosial membuat saya merasa hampa. Mereka bersama-sama dan hidup sangat rukun tanpa saya.
Suatu malam, beberapa teman baik yang lewat menghabiskan waktu bersama kami. (Sebenarnya, mereka hanya duduk-duduk dI ruang tamu kami ketika truk yang mengangkut perabotan kami akhirnya tiba, yang terasa seperti Natal di bulan Juli). Namun ketika mereka pergi, saya terkejut dengan perasaan kehilangan saya yang sangat dalam. Saya merasa terkatung-katung, seakan saya sudah mendayung ke tengah lautan dan membuang sauh dan dayung saya. Saya hanya ditemani arus saja sekarang, dan arus itu tampaknya terus berubah setiap waktu. Saya sudah lupa bagaimana rasanya mencabut akar diri saya dan mencoba menanamnya kembali di tempat lain.
Saya seharusnya tidak terkejut. Dua puluh tahun sebelumnya, setelah berakhirnya pertunangan yang menyakitkan, saya kembali ke kota tempat kuliah saya yang lama dan menerima pekerjaan di bagian penerimaan mahasiswa baru. Meskipun lingkungannya sudah tidak asing lagi, saya tidak bisa menyatu dengan komunitas itu atau menemukan tempat yang cocok untuk saya di antara para mahasiswa dan penduduk kota lama tersebut. Sesungguhnya, baru sesudah saya menikah dan tinggal di tempat kami sendiri, saya mulai merasa cocok lagi. Apa yang diperlukan untuk menemukan perasaan cocok setelah kepindahan ini?
Kadang saya hanya ingin menyalahkan seseorang atas masalah kepindahan kami. “Apa yang sudah kita lakukan?” adalah pertanyaan yang mulai kami tanyakan pada diri sendiri, dengan setengah bercanda. Pada saat-saat yang lebih sulit, saya menuding Tuhan, dan bertanya, “Apa yang sedang Kaulakukan?” Saya merasa Dia telah meninggalkan kami. Tetapi yang lebih sering, saya tak dapat menghilangkan perasaan bahwa sayalah yang sudah meninggalkan Dia dengan mengabaikan atau menolak rencana-Nya. Saya lalu berusaha menghibur diri dengan berpikir bahwa saya seperti bangsa Israel yang mengarungi padang gurun dari Mesir, dengan satu-satunya kehidupan yang pernah mereka kenali di belakang mereka dan satu janji di depan mereka. Tetapi ketika saya ingat bahwa mereka bisa memandang ke atas dan melihat tiang awan atau tiang api—penyertaan Tuhan yang nyata—saya merasa iri dan lebih kesepian lagi dari sebelumnya.
Padahal ternyata tanda-tanda itu sudah ada sejak lama – saya hanya tidak menyadarinya. Pada suatu hari Minggu, beberapa bulan setelah kepindahan kami, seseorang yang kami jumpai di gereja menyapa kami dengan menyebut nama dan memulai percakapan. Kami merasa seperti menjadi bagian di suatu tempat, meskipun tempat itu masih terasa asing.
Lalu anak-anak kami mulai mendapat teman-teman. Putra kami berkembang dengan cara yang tak pernah kami lihat sebelumnya; ia bisa membangun persahabatan yang kuat untuk pertama kalinya. Pertandingan-pertandingan basketnya menjadi titik terang bagi kami ketika wajah-wajah para orangtua lain menjadi tidak asing lagi bagi kami. Kami perlahan-lahan menyadari bahwa kami sudah menjalin pertemanan dengan duduk dan mengobrol bersama selama pertandingan-pertandingan itu. Putri kami juga menemukan tempatnya dengan menjadi penyanyi dan pelakon, dan membentuk kelompok teater yang mengakrabkan keluarga kami. Bahkan teman-teman anak-anak kami membawa kami ke gereja yang kami kunjungi saat ini, tempat akar kami mulai menembus tanah yang dulunya keras menjadi tanah yang subur.
Saya tidak dapat menunjuk ke satu peristiwa saja ketika saya menyadari bahwa Tuhan telah menyertai kami dan selalu berjalan bersama kami. Tidak ada epifani (penampakan), yang kadang saya berharap ada “peristiwa penting” saya sendiri agar saya dapat lebih yakin dengan penyertaan Tuhan di tempat baru kami. Tetapi saya menyadari bahwa hikmat yang diperoleh dari melihat ke belakang juga merupakan anugerah Tuhan.
Dan dengan melihat ke belakang, saya melihat benang merah itu – kunci keyakinan saya adalah umat-Nya: teman-teman baru yang mendengarkan dan berjalan bersama kami ketika kami membangun kehidupan di komunitas mereka. Melalui wajah-wajah yang makin lama makin familiar dan kasih itulah saya semakin mengerti bahwa kami telah menjadi bagian dari Kota Oklahama dan di jalan ini bersama Tuhan. Sekarang, masa depan di tempat kami yang tak begitu baru tidak lagi tampak tak terbayangkan.
Jangan salah paham – saya terus bertanya pada Tuhan apa yang akan Dia lakukan. Tetapi fokus saya sekarang adalah bergabung dengan-Nya dalam apa yang sedang Dia kerjakan di tempat saya berada. Dan meskipun tiang awan atau tiang api itu menakjubkan, saya sudah bisa menghargai langit malam tak berujung yang diberikan Midwest, untuk melihat pengingat yang nyata melalui warna-warnanya bahwa Tuhan akan bersama kita sepanjang kita berjalan di bawahnya.