Sarang Yang Tidak Begitu Kosong
Brenda dan John Talley mengira mereka sudah tahu segalanya tentang membesarkan anak. Namun ternyata, ketika menjadi “orangtua” dalam pertukaran siswa China, mereka mendapati betapa mereka masih perlu banyak belajar.
Bagi jemaat di Fayetteville, Georgia, Natal datang lebih cepat setiap tahun. Ruang makan gereja dipenuhi aroma kayu manis dan pala, dan orang-orang sibuk membawa hidangan-hidangan panas ke meja-meja yang ditata di tengah ruangan. Di salah satu sudut ruangan berdiri pohon Natal – dengan 24 tas merah hijau berisi bingkisan di bawahnya – dan tembok di belakangnya menjadi latar dekorasi tanaman hias. Kaus-kaus kaki digantung dengan rapi, dan CD lagu-lagu Bing Crosby tersusun di pojok lain. Tetapi di luar, panasnya udara musim panas wilayah Selatan mengingatkan semua orang bahwa saat itu adalah bulan Juli – salah satu hal yang membuat pesta ini bukan sesuatu yang biasa.
Brenda Talley, seorang anggota Gereja Baptis Harp’s Crossing, berdiri di pintu masuk memeriksa kelompok-kelompok pertukaran siswa China yang diselenggarakan oleh keluarga-keluarga jemaat itu. Tujuan acara yang diadakan setiap tahun ini adalah untuk membagikan berbagai pengalaman orang Amerika kepada mereka. Dan ini juga akan menjadi kesempatan untuk memperkenalkan tradisi orang Amerika dan hadiah Bayi Kristus kepada mereka.
Semua orang diundang untuk ikut menikmati pesta itu, jadi dengan tumpukan piring di depan mereka, para siswa pertukaran itu pun lalu berkumpul di sekitar meja-meja berhiasan Natal itu. Dan, sebagaimana yang umumnya dilakukan seorang ibu, Brenda tidak akan duduk sebelum ia yakin setiap orang sudah mendapatkan cukup makanan. Ia dengan ramah menyapa dan memperhatikan setiap orang: “Apa kamu sudah mendapat cukup makanan? … Ya, di sana ada kentang manis. Rasanya enak, bukan?… Tom, kamu tidak banyak makan. Apa kamu tidak suka makanannya? … Apa kamu sudah mengambil hidangan penutup? Ambillah sedikit!”
Belum begitu lama rasanya saat keluarga Brenda diributkan oleh suara-suara gaduh anggota keluarganya sendiri. Bagi anak-anak yang biasa berolahraga bersama anak-anak Talley, ia dan suaminya dikenal sebagai Mama dan Papa T, dan rumah mereka sudah menjadi seperti “tempat nongkrong.” Namun ketika anak bungsunya pindah rumah, Brenda bergumul dengan keadaannya. “Saya merasa seperti sarang yang sangat kosong. Kami punya tiga anak, dan merekalah sebagian besar hidup kami. Jadi ketika mereka meninggalkan rumah, kami bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kami lakukan sekarang?” Meskipun ia dan John tetap sibuk dengan pekerjaan mereka sebagai terapis, ada sesuatu yang hilang dalam hidup mereka. Mereka merasa mereka harus berbuat sesuatu yang lebih. Harp’s Crossing sudah menjadi penyelenggara pertukaran siswa China selama bertahun-tahun. Namun baru pada tahun 2012 keluarga Talley memutuskan untuk terlibat. Saat itu, dua minggu sebelum kedatangan para siswa itu, gereja menyatakan masih membutuhkan empat keluarga lagi. John dan Brenda menanggapi kebutuhan itu. Di rumah mereka banyak kamar kosong, dan mereka ingin mengisinya. Sudah terlalu lama sarang-sarang itu kosong.
Perubahan Hidup di Harp’s Crossing Keluarga Talley bukanlah satu-satunya yang tersentuh oleh acara pertukaran siswa China di Harp’s Crossing ini. Keluarga Oglesby juga menceritakan bagaimana kehidupan mereka setelah menambah “anak-anak” baru dalam keluarga mereka; sementara seorang siswa bernama Beini bercerita tentang bagaimana ia mengenal Yesus selama berada di Amerika.
Keluarga Talley pada awalnya tidak tahu harus berbuat apa. Mereka diberitahu beberapa hal tetapi yang mereka ingat, yang penting adalah menunjukkan kasih dan menceritakan Yesus kepada para siswa yang akan tinggal di rumah mereka. Mereka diberi dua anak remaja, Jonah dan Michael, yang tak begitu lama langsung memanggil mereka sebagai Papa dan Mama. “Anda tidak tahu betapa Anda bisa begitu jatuh cinta pada seseorang dalam waktu relatif singkat,” kata Brenda. “Namun itulah yang sesungguhnya terjadi.” Puluhan tahun menjadi orangtua sudah mengajar mereka banyak hal, tetapi setelah beberapa hari bersama Jonah dan Michael, mereka menyadari bahwa pengalaman ini akan menjadi suatu tantangan yang lain.
Hari itu kedua remaja itu berkumpul bersama para siswa lainnya untuk menerima pelajaran tentang budaya Amerika dan latihan berbicara dalam bahasa Inggris dengan penutur asli. Mereka juga menonton atraksi-atraksi di Atlanta dan melihat-lihat hal-hal yang menonjol dari daerah setempat. Akhir pekan diisi dengan rekreasi keluarga dan ibadah Minggu. Selain menggunakan waktu untuk memberi kesaksian tentang iman, para anggota gereja juga membicarakan tentang Kekristenan jika diperlukan. Dan mereka sudah menyediakan bahan-bahan bacaan seperti Sentuhan Hati dalam bahasa Mandarin, sehingga para siswa dapat mendengar Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
Pasangan itu selalu percaya bahwa terlibat dalam kehidupan anak adalah hal yang penting. Tetapi Brenda baru menyadari seberapa pentingnya hal itu ketika ia menghabiskan malam-malam bersama Jonah dan Michael dan memperhatikan kecemasan mereka. “Hai Mam!’ Di mana Papa? Kapan Papa pulang?” Ketika di China, sekolah berasrama dan para ayah yang harus bekerja jauh dari kota membuat mereka jarang mengalami interaksi orangtua-anak, dan mereka tampaknya ingin sekali bisa bersama kedua orangtua mereka setiap hari. Jadi John dan Brenda memutuskan untuk menunjukkan sikap dan perhatian yang tidak mereka dapatkan semasa kanak-kanak mereka.
Malam-malam itu mereka manfaatkan untuk berjalan-jalan bersama dengan anjing keluarga, main games atau ikut “bercerita” – suatu kesempatan untuk menyampaikan Kitab Suci. Saat-saat seperti ini selalu dipenuhi banyak pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan menjadi pengikut Kristus? Mengapa keluarga Talley membuka rumahnya untuk orang asing? Dan Yesus ini, siapakah Dia sebenarnya?
Allah menghargai usaha mereka. Pada malam sebelum para siswa itu kembali ke China, Jonah menyerahkan hidupnya kepada Kristus – yang sampai hari ini John hampir tidak dapat menceritakannya tanpa berlinang airmata.
Saat harus berpisah, mereka sama-sama merasa sedih. Sekalipun para siswa itu sudah pergi, mereka tetap ada di hati keluarga ini. Peta di belakang mereka mengingatkan bahwa kasih tidak mengenal jarak. Dan menurut Brenda, itulah intinya. “Yang harus Anda lakukan hanyalah membagikan kasih Tuhan. Itu saja.”
-Erin Chewning