Sedikit Yang Setia
(Kimberly Coyle)
Kita memiliki fiksasi masa kini tentang pertumbuhan gereja dan jumlah yang besar, tetapi Tuhan tidak
Keheningan suara percakapan yang diredam dan cuitan sol sepatu karet yang basah bergema di seluruh katedral ketika saya masuk. Temperatur udara memang sangat rendah, tetapi saya menggigil terutama karena merasa takjub melihat tiang-tiang berukir, kerumitan lantai mosaik, dan besarnya kubah yang menjulang tinggi ke atas. Saya dan teman-teman seperjalanan sudah beberapa hari berkelanadi musim semi yang dingin dan dibasahi hujan di Italia, dan kami masuk ke Katedral Forence karena ingin terbebas dari badai di luar dan juga melihat peninggalan terkenal.
Begitu sampai di dalam, kami bersembilan langsung menyebar ke segala arah menuju kapel-kapel samping atau duduk dengan leher terjulur, menatap kubah yang dilukis. Di sekeliling kami, turis-turis bergerak ke sana ke mari seperti bidak-bidak di papan catur, mengikuti pemandu wisata mereka ke berbagai tempat menarik di katedral itu. Ratusan orang berjalan hilir mudik di sekitar tempat itu, tetapi besarnya ukuran gereja itu membuat bagian tengah gereja tampak hampir kosong.
Sementara berjalan, saya mencoba membayangkan seperti apa ibadah minggu di gereja itu pada abad-abad yang lalu. Saya mengganti percakapan yang diredam dan cuitan sepatu basah dengan suara-suara yang muncul dari orang-orang yang masuk ke gereja itu untuk melepaskan diri dari badai kehidupan sehari-hari: untuk berdoa, beribadah, bersekutu dalam komunitas sesama orang percaya. Menurut pemandu wisata kami, di masa puncak kehadirannya, gereja itu secara teratur menampung 20.000 anggota sekali kebaktian. Saya tidak dapat membayangkan orang sebanyak itu berkumpul di satu ruangan untuk beribadah setiap minggu.
Di bawah katedral itu ada gereja bawah tanah yang berupabekasbangunan Santa Reparata, gereja yang terbentuk di tempat itu pada abad ke-15. Saya menggigil lagi membayangkan semua orang percaya yang pernah melewati tempat tertentu ini sebelum saya dan masa-masaketika mereka membangun testamen ini bagi kerajaan Tuhan di bumi. Katedral yang secara resminya bernamaSanta Maria del Fiore itu lebih dari sekadar gedung gereja yang superbesar, satu langkah mundur ke masa lalu, atau kesempatan berfoto-foto – katedral itu adalah hasil dari adanya orang-orang Kristen setia yang mengabdikan hidup mereka pada waktu dan tempat tertentu.
Seorang teman bertanya pada pemandu kami, berapa banyak pengunjung katedral yang datang beribadah pada abad 21. Pemandu itu berkata bahwa jemaatnya sudah menyusut dari 20.000 menjadi 12. “Dua belas ribu?” tanya teman saya, karena berpikir itu adalah angka yang logismenurut standar apa pun. Pemandu itu menjelaskan, “Bukan. Dua belas orang saja.” Ia menambahkan bahwa jemaat yang masih ada itu adalah wanita-wanita tua yang masih terus melayani dengan membuat pintu-pintu katedral tetap terbuka bagi turis-turis seperti kami.
Saya terhenyak. Rasanya sangat disayangkan sekali bagi sebuah katedral yang menjadi salah satu tempat yang harus dikunjungi di buku panduan, yang pernah menjadi pusat kehidupan di Florence, dan memiliki angka kehadiran yang luar biasa dalam ibadah bersama selama berabad-abad. Saat merenungkan struktur peran masa kini melalui kacamata budaya spesifik saya sebagai orang Amerika, saya dapat menyimpulkan bahwa pelayanan gereja gagal ketika pertumbuhan menurun dan hanya menyisakan beberapa orang wanita saja. Amerika adalah bangsa yang menganggap “lebih besar lebih baik” dan sikap ini juga memengaruhi rumah-rumah ibadah kita. Kesetiaan, pemuridan dan transformasi pribadi tidak dapat direfleksikan dengan angka secara kuantitas, sehingga kita lalu menyetel untuk mengukur kesuksesan dengan terlalu menekankan kehadiran jemaat, dan kurang menghargai hal-hal kecil dan tindakan-tindakan pemeliharaan.
Ketika visi pertumbuhan gereja didasarkan pada standar kesuksesan dunia, dan bukan pada tindakan-tindakan kesetiaan yang tidak terlihat, hikmat dan pelayanan jemaat yang semakin sedikit dan berusia lanjut kurang dihargai. Tetapisaat membaca Alkitab saya diingatkan bahwa dalam kisah demi kisah yang berkaitan dengan sesuatu yang dahsyat, hanya dibutuhkan sedikit sisa-sisa orang saja yang percaya kepada Tuhan. Dibutuhkan hanya beberapa perempuan saja yang tetap berada di kaki salib untuk membawa kabar baik tentang kebangkitan. Diperlukan hanya 12 murid saja untuk mengubah dunia melaluipemberitaan Injil penebusan. Dan di Florence, saya bertanya-tanya apakah mungkin hanya dibutuhkan 12 wanita lansia saja untuk menjaga api kecil tetap menyala sampai saat kebangkitan tiba di negeri itu.
Wanita-wanita yang membuat pintu tetap terbuka itu telah memelihara sebuah tempat ibadah yang memungkinkan para pelancong yang lelah dan basah untuk menemukan tempat berteduh dari badai. Sebuah jemaat yang pada awalnya saya anggap lemah, hina dan tak berguna bisa jadi sebenarnya merupakan simbol dari kekuatan dan ketahanan. Orang-orang saleh di Florence itu bisa jadi adalah sisa-sisa yang sudah Tuhan siapkan untuk memelihara terang di Santa Maria del Fiore dan memelihara terang Kristus di kota itu.
Saya lalu berpikir tentang menapaki tangga-tangga batu itu, yang sudah semakin halus dan rata karena ditapaki begitu banyak kaki selama berabad-abad. Dan saya senang membayangkan wanita-wanita itu menapaki tangga itu setiap hari, mungkin sedikit lebih lambat dari tahun sebelumnya, untuk berdoa bagi kota mereka. Suara sepatu mereka membumbung ke atas, menggemakan kata-kata Paulus: “Betapa indahnya kaki-kaki/kedatangan orang yang membawa kabar baik!”