Sukacita Datang Dalam Duka
Ken Totushek meratapi kematian istrinya dengan cara yang berbeda – dan apa yang dilakukannya, tidak hanya mengubah dirinya, melainkan juga kehidupan orang lain.
Oleh :Jessica Haberkern
Tergantung dari bulannya, Anda mungkin akan mendapati Ken Totushek memainkan gitarnya di sebuah restoran di Jepang, bernyanyi di anak tanggal Rumah Sakit Bedouin di Yordania, tampil di konvensi gitar di kota New York bagian Utara, atau mengadakan konser kecil di ruang tamunya.
Namun, sebelum jadwalnya mulai menyerupai seorang musisi kelas dunia, Totushek, seorang tukang las berpengalaman, bekerja sebagai CEO di perusahaan manufaktur milik ayah mertuanya. Pada saat itu, bermain musik hanyalah hobi. Namun ketika Jeniffer, istrinya selama 29 tahun, meninggal karena kanker, metode duka uniknya menuntun dia untuk mengejar kesukaannya. Sekarang, mendekati usia 60 tahun, Totushek telah berubah dari seorang duda menjadi pengantin baru, dari seorang pengusaha menjadi misionaris, dan dari seorang penulis amatir menjadi musisi professional.
Transisi ini tidak terjadi dengan mudahnya. Perjuangan istrinya melawan kanker selama 5,5 tahun begitu menyakitkan. Ia berkata, “Itu adalah masa-masa yang sangat berat. Sukacita yang dikatakan dalam Alkitab – seperti tidak ada disana, rasanya seperti tertahan. Terkadang sukar untuk bernyanyi, namun musik selalu melayani jiwa saya dan dia.”
Setelah kematian Jennifer di akhir tahun 2009, Totushek menyelenggarakan serangkaian konser rumah untuk menghormati istrinya. 20 hingga 30 orang akan berkumpul di ruang tamunya, dan para sahabat akan menyiapkan kopi dan makanan ringan. “Selama 2 jam, saya memainkan lagu-lagu yang sangat berarti bagi istri dan saya. Bila ada yang mau berbagi kenangan tentang Jen, mereka dapat melakukannya, atau bisa saja hanya duduk dan mendengarkan musiknya,” katanya.
Kebenarannya tidak berubah, namun metodologinya berubah. Intinya adalah, ini adalah suatu gaya hidup: Hidup kita haruslah sesuai dengan perkataan kita.”
Bagi teman dan keluarga, pertunjukan itu sangat membantu dalam menemukan kemerdekaan dari rasa duka. “Masa-masa itu sangat membesarkan hati dan menguatkan kami, dan Tuhan menggunakannya untuk menyembuhkan diri saya dan orang lain yang dekat dengan Jen,” katanya. Itulah saat Totushek menyadari bahwa tidak seharusnya ia menyimpan musiknya ini untuk dirinya sendiri. Mulai saat itu, ia berketetapan hati untuk menggunakan gitarnya sebagai alat bagi pekerjaan Kerajaan Allah.
Panggung menjadi mimbar yang cocok bagi Totushek, seseorang yang bersuara lembut, yang telah mencoba beberapa agama sebelum akhirnya menemukan Yesus selepas lulus SMU. Ia berkata, “Ada berbagai macam cara untuk menyajikan Injil. Kebenarannya tidak berubah, namun metodologinya berubah. Intinya adalah, ini adalah suatu gaya hidup: Hidup kita haruslah sesuai dengan perkataan kita.” Karena itu, ia membawa Kabar Baik – dan satu gitar – kemanapun ia pergi, suatu praktek yang memberinya julukan “misionaris musikal.”
Totushek melakukan perjalanan ke Asia dan Timur Tengah dua kali setahun dengan suatu pelayanan yang menggunakan orang awam untuk menguatkan dan menasehati para misionaris di lapangan. Bila berada di Amerika Serikat, ia seringkali memesan slot Minggu pagi di konvensi gitar untuk memainkan lagu-lagu hymne dan memimpin lokakarya penulisan lagu di kampung halamannya untuk memuridkan musisi lainnya.
“Saya mendapati bahwa di setiap kebudayaan yang saya kunjungi, terdapat kerinduan rohani yang mendalam,’ katanya. Dan gitar serta suaranya mengijinkannya untuk menginjili dengan cara yang selaras dengan para pendengarnya, meskipun seringkali terdapat hambatan bahasa. Di tahun 2013, sang penulis lagu ini bahkan menerima penghargaan “Building Bridges With Music” di Konferensi Musik Kansai di Osaka, Jepang, untuk karyanya yang menghubungkan budaya melalui lagu.
Sebagian besar daya tarik karya Totushek datang dari liriknya yang rapuh, kata-kata yang sepertinya diambil dari halaman-halaman jurnalnya. Ia menyebutnya “lagu-lagu kebebasan” sebab lagu-lagu itu berisi tentang menemukan kebebasan dari kesukaran hidup melalui iman di dalam Tuhan. Dalam suatu lagu berjudul “People in the World,” ia menyanyikan, “Dalam kehidupan muncul masalah, kebanyakan tidak direncanakan dalam banyak hal. / Beberapa sepertinya bertahan selamanya, ada yang berlangsung hanya berhari-hari. / Pada saat-saat seperti itu, kita sering tidak bisa melihat apa yang paling kita butuhkan, / tawaran pengampunan dan kehidupan yang telah dibebaskan.”
Sekalipun beberapa lagunya berbicara tentang agama secara langsung, pertunjukan langsungnya memasukkan komponen bercerita di mana ia berbagi narasi dari perjalanan imannya sendiri. Seri konser Totushek baru-baru ini diberi judul “Simply Five Words.” (Hanya Lima Kata) Dalam monolognya, ia mengingat momen penting dalam pertempuran istri pertamanya dengan kanker ketika pasangan itu mengunjungi Bend, Oregon. Saat bertamasya di desa pegunungan bernama Sunriver, mereka menemukan sebuah bangku yang menghadap pemandangan indah. Di bangku itu terdapat sebuah plakat kuningan, suatu model yang biasanya didedikasikan untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Di plakat ini tertulis, “Perhatikanlah pekerjaan Allah,” dari Pengkhotbah 7:13.
“Saat menghadapi penyakit mematikan, Anda memiliki dua pilihan. Anda dapat memilih untuk kepahitan atau Anda dapat bertanya, ‘Apa yang Tuhan sedang perbuat disini?’ Dalam kasus kami, kami mengejar Allah.
Ayatnya selanjutnya berbunyi, Siapakah dapat meluruskan apa yang telah dibengkokkan-Nya? Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang inipun dijadikan Allah seperti juga hari mujur,” (ayat 13-14). Pasangan ini menghabiskan sore itu di tempat tersebut. “Kami duduk disana, tertawa dan menangis, berdoa dan merenungkan, mengetahui bahwa Allah memegang kendali,” katanya.
Ia menjelaskan, “Saat menghadapi penyakit mematikan, Anda memiliki dua pilihan. Anda dapat memilih untuk kepahitan seperti istri Ayub, yang berkata, ‘kutuklah Allah dan matilah,’ atau Anda dapat bertanya, ‘Apa yang Tuhan sedang perbuat disini?’ Dalam kasus kami, kami mengejar Allah.
Totushek mungkin tidak sepenuhnya memahami mengapa Tuhan memanggil Jennifer lebih dulu, dan rasa sakit kehilangan dirinya tidak pernah benar-benar sirna. Namun ia cepat menunjukkan bagaimana Allah memulihkan sukacitanya pada hal-hal yang paling ia cintai – musik, keluarga, dan pelayanan.
Satu tahun setelah istri Totushek meninggal, seorang wanita lain bernama Kathy, memasuki hidupnya. Saat itu, Kathy telah dua tahun berduka karena kehilangan pasangannya yang menderita kanker paru-paru dan ia dapat menghibur hati Totushek dan keempat anaknya dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain. Menurut Totushek, Kathy sangat menguatkan, menerima dan sangat mengabdi kepada anak-anaknya sendiri.
Dipersatukan oleh rasa kehilangan pasangan mereka masing-masing dan kerinduan mereka untuk melayani Tuhan sebagai misionaris, keduanya akhirnya menikah. “Hidup ini singkat. Kapanpun, ia bisa hilang. Kathy dan saya telah mengalaminya,” ia berkata. “Kami ingin memanfaatkan waktu kami sebaik mungkin di dunia ini.”
Sekalipun kedelapan anak mereka bersama telah dewasa dan tinggal di Pesisir Timur, namunmenyatukan keluarga mereka telah menjadi suatu tantangan. Ia berkata, “Awalnya sangat sulit bagi anak-anak saya – dan saya sangat memahaminya. Lima tahun telah berlalu, dan pemulihan sedang terjadi. Kami mempercayai Allah, menghadiri konseling, dan memiliki kemauan untuk mendekat sebagai suatu keluarga.”
Kali pertama pasangan yang baru menikah ini melakukan perjalanan bersama ke Yordania, menjadi jelas bagi mereka bahwa mereka ingin melakukan pelayanan penuh waktu. Saat itu, Totushek masih bekerja untuk bisnis manufaktur dan menyusun rencana untuk mempercepat kepergiannya dari perusahaannya. Ia menantikan waktu yang tepat untuk berbicara dengan pimpinan mengenai pengunduran dirinya di kemudian hari, namun kesempatan itu tidak pernah dating.
“Malah, pimpinan perusahaan telah membuat keputusan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan saya,” katanya. “Namun karena ini adalah pemutusan hubungan kerja tanpa alasan, mereka harus menghormati sisa tiga tahun kontrak saya.” Totushek menyebut hal ini “diatur oleh Tuhan.”Bukan saja kepergiannya dipercepat, ia pun menerima kompensasi.
Pemutusan hubungan kerja ini menjadi suatu pengingat bahwa identitasnya tidak tergantung pada pekerjaannya atau pasangannya, dimana keduanya dapat hilang dalam sekejap, melainkan pada siapa dirinya di dalam Kristus. Menegaskan kembali siapa yang menjadi sumber identitasnya merupakan sesuatu yang dipraktekkan Totushek setiap hari, menghabiskan banyak waktunya di pagi hari dengan membaca Alkitab, menyembah, dan menulis lagu di studio bawah tanahnya. Rumah di Rhode Island yang ia dan Kathy beli bersama menjadi markas pasangan ini. Di siang hari, mereka merencanakan perjalanan, mengerjakan proyek pelayanan, dan berjalan-jalan selama berjam-jam diisi dengan percakapan. “Banyak yang harus kami kejar,” katanya tentang usia pernikahannya yang masih muda.
“Berurusan dengan penyakit mematikan mengajarkan kami untuk berfokus pada momennya. Anda akan belajar bahwa Anda tidak dapat menghabiskan banyak waktu menguatirkan tentang hari esok, sebab setiap hari tidak dapat diprediksi,” katanya. “Yesus berbicara tentang hal itu. Berfokuslah pada hari ini, Ia berkata. Setiap hari memiliki kesukarannya sendiri. Mengapa kuatir tentang hari esok?”
Ini adalah suatu pelajaran yang ia ingin kuasai, mengikat pergumulan setiap hari dan menempatkannya di dalam pemeliharaan Yesus. “Orang Kristen tidak dijamin atau dijanjikan bahwa kita tidak akan mengalami kesukaran seperti yang dihadapi orang lain di dunia,” katanya. “Namun bila kita mempercayai Allah, Ia berjanji untuk menjadi pengharapan kita, kekuatan kita, dan penuntun kita.”