Supaya Aku Dapat Melihat
(Russ Ramsey)
“Kuasa” Penderitaan dalam Kehidupan Kristen
Hari itu hari Selasa, sekitar pukul 11 siang, tiga hari sebelum hari ulang tahun saya yang ke-40. Telepon saya berdering, dan saya menduga nomor telepon yang tidak dikenal itu adalah dari dokter yang akan menyampaikan hasil tes darah saya, yang saya periksakankemarinnya. Dugaan saya benar tentang siapa yang menelepon, tetapi saya benar-benar tidak siap dengan yang ia sampaikan. Ia berkata bahwa ia pikir saya mengalami gagal jantung stadium awal dan saya harus ke ruang pemeriksaan darurat saat itu juga. Mereka menunggu saya.
Beginilah seringkali cara penderitaan datang pada kita – dengan tiba-tiba. Mengejutkan kita. Menakutkan kita. Membuyarkan kendali pikiran kita. Namun, setelah pukulan awal yangbisa membuat lemas itu, penderitaan juga bisa menyadarkan kita pada hal-hal yang biasanya tidak kita sadari. Ketika saya pertama kali mengetahui kondisi saya yang parah, saya merasa takut. Tetapi bersamaandengan rasa takut itu juga muncul rasa penasaran dan ingin tahu. Saya merasa baru berada di awal sebuah petualangan – yang secara naluri tidak ingin saya lepaskan. Sejak saat itu saya merasa bahwa banyak kondisi saya yang memiliki semacam daya tarik yang sama.
Kekuatan rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu adalah salah satu sifat (baik) rohani. Ketika Allah menciptakan dunia ini dengan segala isinya, Dia memberi tugas kepada manusia untuk menamai semua yang dilihatnya (Kejadian 2:19-20). Orangtua pertama kita itu harus mengamati, katakanlah seekor beruang, dan memikirkan kualitas-kualitasnya – besarnya, kebuasannya, fungsinya, kompleksitasnya, warnanya, dan kebiasaan-kebiasaannya – dan kemudian menamaihal-hal itu, yang dalam prosesnya, mendapatkan pengertian tentang hal-hal itu.
Kita melanjutkan tugas Adam untuk “memberi nama” ini ketika hal-hal baru muncul dalam kehidupan kita, dan itu termasuk penderitaan. Bagi banyak orang, penderitaan muncul seperti binatang buas yang tidak dikenal – sesuatu yang tidak jinak dan berbahaya, yang seringkali memang demikian. Tetapi bersamaan dengan itu datang undangan untuk melihat hal-hal yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, dan berusaha memahami hal-hal itu, dan diri kita sendiri, dengan lebih baik.
Seorang dosen seminari saya biasaberkata, “Anda tidak mengetahui yang tidak Anda ketahui.” Atau dengan kata lain yang positif, kita hanya mengetahui yang sudah kita ketahui. Kita melihat dunia ini dan tempat kita di dalamnya melalui lensa yang sudah kita kenal. Mau tidak mau. Bahaya muncul ketika kita menganggap kita sudah melihat dan mengetahui semua yang ada di situ. Ketika kita berpikir seperti ini, rasa ingin tahutak ada gunanya. Dan kita tidak memiliki cara untuk menyambut yang tak terduga, padahal hal itu tentu akan terjadi.
Penderitaan mengandung pemikiran semacam itu. Penderitaan memiliki kekuatan, saya percaya, untuk meredamkan suara-suara di kepala kita yang berpikir kita sudah mengetahui semuanya. Melihat melalui penderitaan tidak akan menunjukkan pada kita sebuah dunia yang baru. Ia akan menunjukkan pada kita yang lebih dari dunia yang kita pikir sudah kita ketahui. Sebagai contoh, penderitaan saya menunjukkan pada saya, seorang pria yang secara umum sehat-sehat saja, bahwa saya bisa menjadi begitu rapuh dengan begitu cepat. Ia juga menunjukkan pada saya, bahwa iman saya tidak bersifat akademik semata. Iman itu sangat praktis. Menghadapi kematian saya sendiri menarik keluar hal-hal dari dalam diri saya yang sudah lama ada di sana namun belum pernah diuji – seperti cinta keluarga saya dan kualitas iman saya yang sesungguhnya.
Memeriksa iman saya
Ketika saya mengetahui betapa parahnya penyakit saya, satu hal yang paling ingin saya ketahui adalah apa yang akan terjadi dengan iman saya. Sejujurnya saya tidak tahu. Apa yang akan terjadi pada orang lain jika dokter mengatakan mereka sedang menghadapi kematian? Apakah mereka akan mendapati bahwa iman mereka tidak lebih dari sebuah rumah kardus yang terlalu mudah dirobohkan oleh angin penderitaan? Apakah saya seperti itu? Bagaimana dengan Anda?
Yesus berkata bahwa di dunia ini kita memang akan mengalami penderitaan. Penderitaan bukanlah hal yang mengejutkan bagi Allah. Dan Kristus sendiri tidak asing dengan penderitaan. Dia adalah seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan (Yesaya 53:3). Ketika penderitaan saya tiba, saya bertanya-tanya apakah Kristus akan mengatasi keraguan dan ketakutan saya, atau apakah masa-masa saya menghadapi jarum suntik, infeksi bakteri, operasi jantung, masalah-masalah syaraf, MRI, CT scan, terapi pemulihan, kemunduran, akan menyingkapkan diri saya sebagai orang bodoh? Apakah iman saya akan tergilas di bawah beratnya penderitaan saya? Apakah saya merasa sendirian dan ditinggalkan oleh Allah? Saya sungguh ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah “binatang buas” dan belum diberi nama.
Pengakuan saya sejujurnya
Inilah yang saya temukan. Melalui semua penderitaan, ketidakpastian dan kesedihan itu, kasih karunia Allah cukup bagi saya (2 Korintus 12:9). Kasih karunia-Nya adalah anugerah, seperti halnya iman yang juga merupakan karunia, sehingga saya sama sekali tidak bisa bermegah. Tetapi saya bisa mengatakan hal ini: Semua itu bekerja di dalam diri saya. Jika hal ini terdengar seperti bermegah, saya kira memang ya. Itu adalah bermegah di dalam Tuhan. Saya tidak cukup cerdas atau tekun untuk membangun iman semacam ini. Dengan kekuatan saya sendiri, saya justru akan meruntuhkannya dengan berbagai kondisi, tuntutan dan harapan-harapan jangka pendek.
Jangan salah mengerti. Saya bisa takut dengan yang terburuk dari semuanya. Dan saya terus-menerus bertanya dan mencemaskan hal-hal yang berada di luar kendali saya. Saya mengeluh, berseru dan sangat sedih. Tetapi hal-hal ini tidak mendominasi masa-masa sakit dan penderitaan saya. Semoga begitu. Allah tidak meninggalkan saya sendirian, atau membuang atau mengkhianati saya. Dalam kesedihan dan tangisan saya, Dia menghibursaya. Dalam kelemahan saya, Dia menunjukkan bahwa Dia kuat. Saya tidak pernah merasa Dia tidak ada, sekalipun ketika saya merasa Dia diam saja.
Saya tidak mendapati bahwa janji-janji Allah itu kosong. Di atas segala yang dapat saya bayangkan, saya mendapati janji-janji itu nyata. Saya percaya janji-janji itu selalu benar. Saya percaya bahwa salib dan kubur yang kosong pada hari ke tiga telah menunjukkan kepada dunia bahwa Allah sendiri sudah terlibat dengan pergumulan-pergumulan kita, dan Dia sudah menang (1 Korintus 15:55-57). Saya percaya bahwa segala sesuatu akan dijadikan baru.
Rasa ingin tahu yang seperti kerinduan
Penderitaan akan menjumpai kita, dan ketika hal itu terjadi, apapun pengakuan iman kita – dengan segala keyakinannya tentang arti kehidupan ini dan yang akan datang – akan diuji. Penderitaan kadang datang tiba-tiba dan hanya berlangsung sesaat. Lain kali, ia datang dan membawa kita keluar dari dunia ini.Namun seringkali, penderitaan itu muncul sebagai gelombang yang tak diduga, mengombang-ambingkan kita dalam arusnya selama beberapa waktu, sebelum akhirnya menghempaskan kita kembali ke pantai yang kita kenal. Lalu apa? Apakah kita mensyukuri bintang keberuntungan kita bahwa kita selamat dan berusaha kembali ke kehidupan sebagaimana yang kita kenal sebelum semuanya terjadi? Apakah itu juga satu pilihan? Dan jika ya, dengan risiko apa?
Penderitaan membentuk hidup kita. Ia datang pada kita semua – melalui masalah pribadi kita sendiri ataupun penderitaan orang-orang yang kita kasihi. Ia sudah datang pada saya, dan saya tahu ia akan datang lagi. Dan ia akan datang pada Anda juga. Setidaknya yang dapat kita lakukan adalah memberi perhatian. Memberi perhatian kepada dunia dan tempat kita di dalamnyaakan membuat kita lebih memahami tentang hati Allah. Dia hadir pada saat tenang maupun badai, dalam situasi pahit maupun manis, pada waktu kita kuat maupun lemah. Dan Dia seringkali menunjukkan pada kita hal-hal dari satu musim yang benar-benar tidak dapat kita lihat pada musim yang lain.
Apa lagi? Rasa ingin tahu yang sudah mulai melihat lebih dalam itu seperti kerinduan. Tetapi bukan kerinduan untuk menjadi baik atau sehat, tetapi untuk berada dalam situasi yang lebih ideal dalam kehidupan. Sebagaimana digambarkan C.S. Lewis, kerinduan itu bukan untuk segala sesuatu yang lebih baik, tetapi untuk yang seterbaik mungkin. Dan kerinduan itu bukanlah kerinduan yang dapat dipenuhi oleh dunia ini. Itu adalah kerinduan untuk hidup dalam damai yang sempurna dengan tubuh kita, teman-teman kita dan Allah. Itulah kerinduan agar tangisan, kematian, kesedihan, airmata dan penderitaan tidak ada lagi. Kerinduan agar dunia ini sungguh-sungguh menjadi baru. Keinginan-keinginan yang tak terpenuhi di dunia ini dimaksudkan untuk membangkitkan kerinduan akan dunia yang akan datang. Keterbatasan fisik dirasakan sebagai kerinduan akan tubuh yang disempurnakan. Berhadapan langsung dengan kematian telah membangkitkan hasrat saya akan kekekalan dan memperbaharui pengharapan saya bahwa, seperti dikatakan Tolkien, suatu hari segala kesedihan akan menjadi tidak benar. Sebelum saat itu tiba, kita hidup di dunia yang penuh penderitaan. Tetapi juga dipenuhi rasa ingin tahu, dan itu baik untuk hidup.