Tetaplah Berani
Tuhan mengatakan banyak hal yang luar biasa yang kita lupakan di tengah-tengah tekanan hidup sehari-hari. Ia juga dikabarkan mengatakan banyak hal yang saya tidak dapat temukan di dalam Alkitab saya. Dalam suatu konferensi pers sebelum ia dibawa ke penjara, Marion Barry, walikota Washington D.C. yang dipermalukan, mengatakan kepada orang banyak yang ada disitu bahwa Alkitab berkata, “Diri kitalah yang benar.” Ini adalah sentimen yang disetujui banyak orang Amerika, namun sentimen ini diucapkan oleh salah satu karakter fiksi dalam drama Hamlet karya Shakespeare, dan bukan Tuhan yang mengatakannya.
Dan dari daftar banyak perkataan Tuhan yang salah diartikan, yang menempati peringkat teratas adalah “Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri.” Ini adalah sentimen yang dibuat oleh orang Amerika, yang menggagas sikap siap bekerja yang sangat membantu untuk membangun negara ini sebagai salah satu bangsa yang paling kuat dan sejahtera di dunia. Tidak ada tidur siang dan liburan 6 minggu bagi kami. Kami adalah bangsa yang membuat sendiri segala sesuatu dan menyelesaikan semua pekerjaan dengan kekuatan kami sendiri.
Budaya kita mengagungkan orang yang menjadi dirinya sendiri yang mengatakan apa yang ada dalam pikirannya dan yang melawan tindakan penindasan. Inilah standar yang saya pakai untuk diri saya sendiri. Dan sekalipun saya banyak kali gagal, namun saya mencoba untuk menjalani hidup tanpa rasa takut dan tetap memegang kendali. Saya menerima semua pekerjaan yang saya dapat kerjakan untuk menghidupi keluarga saya. Saya berusaha untuk mempelajari Alkitab lebih lama, untuk berdoa dengan kesetiaan yang lebih besar, untuk berbicara dengan berani tentang iman saya. Saya berjalan dan berdoa di trotoar di luar klinik aborsi. Saya memberitahu dosa orang lain, dan terkadang saya mendengar apa yang mereka katakan tentang dosa saya. Bahkan ketika saya gagal, saya tetap yakin bahwa keberanian, pada intinya, adalah tentang mengambil tindakan. Sekarang, saya tidak begitu yakin.
Masalahnya dengan tindakan keberanian saya yang sok seperti pahlawan ini adalah saya cenderung untuk menyelesaikan sendiri masalah itu dan saya tidak begitu mempercayai Tuhan. Saya berusaha menjadi pahlawan bagi diri saya sendiri sebab, jauh di dalam hati saya, saya tidak percaya bahwa Ia akan ada disana untuk menyelamatkan saya. Saya bekerja lembur karena takut bila saya tidak mengambil setiap kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak uang, anak-anak saya tidak akan mendapatkan pendidikan yang mereka perlukan. Saya membiarkan diri saya terobsesi dengan cela karakter anak-anak saya dan mengoreksi mereka kiri dan kanan, sebab di dalam hati saya, saya percaya keselamatan mereka sepenuhnya bergantung pada saya. Ketika saya haus dan lapar akan Tuhan, saya cenderung untuk membaca satu buku teologia, sebab saya memiliki konsep tentang Dia sebagai suatu wujud untuk dipelajari dan bukannya pribadi yang dengannya saya dapat menjalin hubungan. Pribadi yang akan memberitahu saya kapan untuk bertindak dan kapan untuk tinggal tenang dan diam.
Butuh waktu lama bagi saya untuk menghubungkan tindakan menunggu dengan keberanian, namun kemudian saya mengingat bagaimana Daud harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa Tuhan akan membelanya, sebagaimana yang selalu Ia lakukan, “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mazmur 27:14)
Namun bila Tuhan akan menyatakan diri-Nya dan menyelesaikan segala sesuatu, dimana kesempatan Daud untuk menjadi berani? Bukankah lebih membutuhkan keberanian untuk keluar dan langsung menghadapi musuhnya? Saya membayangkan Daud – orang yang sangat terampil berperang – menghadapi godaan untuk melakukannya. Namun ia menyerahkan dirinya untuk mengikut Tuhan, sehingga ia tahu ia tidak dapat meninggalkan jalan itu. Ia harus menantikan Tuhan, sekalipun itu berarti harus menyaksikan musuh-musuhnya datang mendekat.
Saya tidak pernah dikelilingi oleh pasukan musuh, namun saya pernah merasakan dikelilingi musuh yang menginginkan saya celaka, baik itu berupa gossip, atau diremehkan atau bahkan difitnah secara langsung. Saya tidak dapat menunggu dalam keadaan diserang seperti itu. Saya lebih suka mempercayai bahwa ketidaksabaran saya adalah salah satu sifat yang baik. Namun seringkali apa yang mendorong saya bukanlah perasaan berani karena maksud Tuhan dalam hidup saya, melainkan kebalikannya – rasa takut bahwa bila saya tidak menyelesaikan masalah ini, Ia pun tidak akan menyelesaikannya.
Saya cenderung untuk bertindak. Dengan kata lain, bukan karena saya yakin pada Tuhan, namun seringkali karena saya tidak memiliki keyakinan kepada Tuhan. Saya lebih buruk daripada orang yang berpikir bahwa “Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri” merupakan salah satu ayat Alkitab.
Tentu saja, sebagian dari kekuatiran saya bukanlah bahwa Tuhan akan mengabaikan saya, namun bahwa maksud-Nya berbeda dari maksud saya. Saya memikirkan tentang banyak martir yang mati dibunuh. Saya memikirkan Petrus yang memerintahkan para wanita Kristen untuk memenangkan suami mereka yang berdosa, bukan dengan khotbah melainkan dengan “kemurnian dan salehnya hidup” mereka serta “roh yang lemah lembut dan tenteram” (I Petrus 3:2-4). Saya memikirkan Kristus, di malam penyaliban-Nya, mengatakan kepada para murid-Nya bahwa dunia tidak akan mengenal mereka oleh karena bagusnya khotbah mereka atau kepastian dogma mereka, melainkan melalui kasih mereka satu terhadap yang lain (Yohanes 13:35).
Nampaknya apa yang seringkali Tuhan harapkan dari kita bukanlah khotbah yang berani atau tindakan yang tegas, melainkan sebaliknya: menunggu, bertahan dalam ketenangan dan kasih yang bertekun yang “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (I Korintus 13:7). Mungkinkah saat dimana tindakan saya yang lebih berani dan taat adalah ketika saya menunggu, bahkan ketika menunggu adalah hal yang paling tidak masuk akal? Tentu saja saya bukan orang yang suka menunggu. Namun itulah yang seringkali Tuhan minta. Ia telah memintanya selama berabad-abad, dan Ia telah memintanya dari orang-orang yang jauh lebih baik dari saya.
Saya selalu berpikir bahwa menjalani jalan hidup sendiri dan mengatakan kebenaran adalah hal yang sangat berani—dan seringkali memang demikian. Alkitab dipenuhi kisah dari orang-orang setia yang mengambil tindakan, sekalipun mereka merasa takut, sebab Tuhan yang memerintahkannya. Namun menanti, dan memupuk kasih yang “bertahan menghadapi segala sesuatu,” dapat menjadi suatu tindakan berani yang sama beraninya dengan menantang Firaun.
Dan hal ini membuat saya menyadari bahwa ada beberapa orang berani di sekitar saya. Cara mereka “bertahan menghadapi segala sesuatu” adalah dengan memberikan pipi yang satu kepada orang yang melukai mereka setiap hari, atau merawat dengan setia orang yang tidak berdaya dan tidak mampu untuk membalas, atau tetap bertahan dalam suatu pekerjaan, pernikahan, atau komunitas sebab mereka percaya bahwa melayani maksud Tuhan bagi hidup mereka jauh lebih penting daripada menjadi kaya karena kekuatan sendiri
-Tony Woodlief