Tidak Semua Orang Adalah Nabi
(Daniel Darling)
Dan kita yang menjadi nabi harus hidup dengan penuh kerendahan hati.
“Halo gereja,” demikian biasanyaFacebook atauTwittermemulai postingannya. Dan setelah itu barulah kritik-kritik itu mengalir…
Jika Anda tidak begitu eksklusif, Anda bisa menjangkau lebih banyak orang dengan Injil.
Jika Anda tidak begitu terbagi-bagi, Anda bisa membuat Injil lebih menarik.
Jika Anda tidak begitu materialistis, Anda mungkin bisa memberi lebih banyak.
Jika Anda tidak begitu marah, orang-orang akan lebih mendengarkan Anda.
Saya biasanya setuju dengan sebagian kritik itu,yangsudah saya sampaikan sendiri kepada mereka. Saya sudah menulis artikel-artikel dan buku-buku yang menantang umat Allah. Tetapi saya memperkirakan, dalam semangat kita mengeritik gereja, kita sering melupakankebenaran sederhana dan mutlak ini, yaitu, bahwa:
Yesus mengasihi gereja. Alkitab sering menggambarkan gereja sebagai sasaran kasih-Nya yang mendalam – mempelai-Nya.
Tidak sempurna. Tidak layak. Tidak setia. Namun sangat dikasihi Kristus.
Yesus mengasihi gereja. Inilah yang kita tahu.
Lalu, jika Yesus begitu mengasihi gereja, mengapa kita begitu sulit untuk mengasihinya juga? Boleh jadi karena kita melihat perjalanan pengudusan kita sendiri yang kacau, dan menganggap jika gereja terdiri dari orang-orang yang hmm, seperti kita, seberapa baikgereja bisa menjadikan dirinya?
Ketika kita melihat gereja, kita sering tidak dapat melihat yang dilihat Yesus. Yesus tidak melihat dosa-dosa dan ketidaksempurnaan mempelai-Nya. Yang Dia lihat adalah gereja yang kudus yang sudah ditebus dan diselamatkan. Dia melihat ke depan, ke perjamuan kawin Anak Domba yang mulia. Dia melihat melampaui kefanaan dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini kepada kekekalan, tempat Dia akan selamanya bersama dengan umat-Nya.
Bayangkan jika kita melihat saudara-saudari kita sebagaimana Allah melihat mereka. Ini tidak berarti kita boleh mentolerir dosa atau kesalahan. Allah juga digambarkan sebagai Bapa yang mendisiplin dengan kasih daningin memulihkan relasi. Karena itu,sekalipun dalamsituasi kita menegur, dalam kekecewaan dan kemarahan kita terhadap dosa yang merusak dan menghancurkan, mari kita bertindak dengan hati yang hancur, penuh kasih karunia, dan kerendahan hati. Suatu kali mungkin kita sendiri yang mendapat teguran ini dan membutuhkan pertobatan.
Kita harus mengambil sikap ini, bukan hanya dalammenyampaikan kritik pribadi kita di jemaat lokal, tetapi juga dalam kita memberikan teguran profetik yang diperlukan gereja sedunia di jemaat kita. Di gereja-gereja lokal, tentu saja, kita harus memilih cara yang lebih sulit namun penting untuk melakukan konfrontasi langsungseperti yang dituliskan di Matius 18, daripada bergosip di media sosial ataumenggunjingkannya dengan teman-teman. Dalam menangani perbedaan-perbedaanmengenai pernyataan-pernyataan publik dan peristiwa-peristiwa di gereja seluruh dunia, Matius 18 mungkin tidak selalu diberlakukan, tetapi peringatan dan kepedulian terhadap saudara-saudari kita tak boleh berkurang. Kita perlu memeriksa motif-motif kita yang sesungguhnya, terutama pada zamandi mana mengecam penginjil sudah hampir menjadi industri masyarakat. Tampaknya cara tercepat untuk mendapatkan kontrak buku adalah dengan memukul umat Allah secara besar-besaran. Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan nabi-nabi untuk menasihati gereja, tetapi kita bisa bertanya pada diri sendiri apakah kita sedang dengan tulus, hati yang hancur, dan rendah hati memanggil gereja untuk bertobat – ataukah kita sekadar mencari ketenaran cepat dan instan.
Oh, manusia
Alasan lain kita sering congkak dalam kritik-kritik kita terhadap gereja adalah, saya kira, karena kita gagal melihat sisi kemanusiaan dari saudara-saudari kita. Mudah sekaliuntuk kita menuliskankalimat-kalimat digital tentang “gereja” tetapi akan jauh lebih sulit melakukannya jika kita membayangkan wajah orang-orang yang kita kritik. Dan akan lebih sulit untuk tidak berlaku adil jika Anda membayangkan diaken yang memberikan waktunya dengan sukarela untuk mengajar anak-anak di sekolah negeri setempat, atau pengusaha yang memberi pekerjaan kepada pemuda-pemuda yang memiliki catatan kriminal, atau dokter yang menghabiskan waktunya berbulan-bulan untuk memerangai penyakit di sebuah negara berkembang.
Itulahsebabnya ketika Paulus menyampaikan teguran profetik yang keras kepada jemaat Korintus yang berperilaku duniawi, ia dapat menyapa mereka dengan sebutan saudara-saudara. Anda hampir bisa merasakan kehancuran hatinya ketika ia menulis, “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu,” katanya, “[dan] menasihatkan kamu, saudara-saudara” (1 Korintis 1:4, 10). Sekalipun ia mengecam dosa dan perpecahan di antara mereka, ia mengingatkan mereka, “Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi” (1 Korintus 4:14).
Itulah sebabnya, sekalipun Yesus memarahi Petrus, Dia melihat ke depan ke saat ketika murid muda yang impulsif itu kelak berkhotbah pada hari Pentakosta dan akhirnya menjadi martir karena memberitakan Injil. Yesus melihat melampaui penyangkalan-penyangkalan yang pengecut, perkataan-perkataan yang sembrono dan melihat ke depan ketika Roh Kudus mengurapi khotbahnya yang akan menjadi katalisator gerakan baru Allah dalam gereja.
Kita memerlukan nabi-nabi zaman kita sendiri. Kita memerlukan orang-orang yang bersedia menegur dosa sistemik dan mendorong pertobatan. Kita memerlukan mimbar yang menyuarakan pentingnya pertobatan dan juga buku-buku, tulisan-tulisan di internet, dan ya, bahkan twit-twit, yang menantang umat Allah. Namun sebelum kita menuliskan kata-kata itu dan mengirimnya, kita harus penuh kerendahan hati, berdoa dan memikirkan baik-baik orang-orang yang akhirnya menerima perkataan-perkataan kita: orang-orang berdosa yang berdoa, yang dikasihi Allah.
Tujuan setiap perkataan keras seharusnya adalah pertobatan dan kesatuan. Kerinduan Yesus adalah agar umat-Nya, tubuh-Nya, mempelai-Nya dicirikan dengan saling mengasihi dan bersatu dalam tudung kebenaran-Nya.
Kesatuan adalah pekerjaan berat dan sulit. Kesatuan bukan hal yang alami bagi jiwa kita yang berdosa. Kesatuan menantang etika-etika budaya masyarakat kita. Dan kesatuan sering menjadi penghalang bagi ambisi-ambisi kita. Namun jika kita ingin menjadi umat Kitab Perjanjian itu, kita harus bersedia menjadi rendah hati, terbuka dan mau/mampu diajar.