Tuhan Menjadikan Kita “Tukang Kebun”

(Cara Meredith)

Pada mulanya, manusia diberi pekerjaan – dan pekerjaan itu masih berlaku sampai sekarang.

Saat itu akhir pekan Hari Buruh. Sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah, saya punya daftar tugas yang panjang sebelum dimulainya tahun ajaran. Tetapi ketika dua teman saya mengajak  berkemah, saya tahu daftar tugas itu bisa menunggu: tugas itu akan selesai, karena bagaimanapun caranya selalu akan terselesaikan. Yang saya perlukan adalah kesempatan berada di bawah langit biru berbintang  – satu dua suap “makanan” jiwa yang hanya dapat dinikmati di alam terbuka.

Kami berempat berkendara ke arah utara dari Santa Cruz menuju Hutan Nasional Tahoe. Pemandangan kota berangsur-angsur berubah menjadi pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, membuat tekanan udara di paru-paru berkurang. Lalu, tepat pada saat kami mulai bertanya-tanya apakah kami benar-benar sudah tersesat di negeri antah-berantah, kami melihat angka 18, tanda yang menunjukkan arah ke  Telaga Bowman. Dan, setelah melewati medan bergelombang dan lubang-lubang yang mengerikan, kami akhirnya mendirikan kemah di atas bebatuan abu-abu yang bertebaran, sementara angin yang bertiup kencang menerpa tepian yang menjorok, turun ke perairan pegunungan yang dingin di dalam waduk di bawahnya. Ingatan itu saja sudah cukup membuat punggung saya sakit sekarang ini, tetapi saya juga tak pernah dapat melupakan betapa lezatnya makanan yang kami nikmati di atas meja batu abu-abu itu, serta bagaimana air yang kebiruan berciuman dengan cakrawala dan pepohonan.

Telaga Bowman adalah tempat yang selalu membuat saya kembali lagi dari tahun ke tahun. Sebuah tempat yang tampaknya selalu membuat saya bertemu Tuhan.

Banyak orang mengalami keintiman dengan Roh Kudus melalui Alkitab, alat tulis dan jurnal di samping mereka – tetapi tidak semua dari kita terhubung dan bertemu Tuhan dengan cara yang sama. Sebagian dari kita bertemu Tuhan melalui musik, yang lain melalui studi. Bagi saya, saya selalu bertemu Tuhan ketika saya menghabiskan waktu di luar, di tempat terbuka —entah saat saya menyusuri pepohonan bersama anjing saya, berkemah pada akhir pekan, atau berkebun di halaman belakang; saya merasa paling hidup, terhubung dan selaras dengan Tuhan ketika saya masuk ke alam bebas.

Karena biasa terhubung dengan cara ini, saya tidak bisa membaca Alkitab tanpa melihat jejak penciptaan, dan sesudah itu, pemeliharaan ciptaan. Sebagaimana “Tuhanlah yang mempunyai bumi serta segala isinya, dan dunia serta segala penghuninya” (Mazmur 24:1), kita manusia diperintahkan untuk merawat dan memelihara ciptaan Tuhan (Kejadian 2:15). Meskipun banyak orang Kristen sudah memiliki kepedulian terhadap pemeliharaan bumi, sebagian besar masih gagal menjadikan hal ini sebagai prioritas atau bagian dari iman mereka.

Sebagai orang yang dibesarkan di Oregon, saya telah diajar untuk peduli lingkungan melalui percakapan sehari-hari di tempat kerja, di sekolah dan di lingkungan sekitar. Semua orang yang menghargai bumi menjadikan pemeliharaan ciptaan sebagai bagian dari komunitas Kristen kami. Kami melakukan daur ulang pada hari Minggu pagi, dan berjalan-jalan di hutan pada Sabtu siang; kami bersepeda bersama, dan bersama-sama kami mendiskusikan bagaimana caranya agar kami dapat memelihara tempat yang kami sebut rumah atau kampung halaman. Memerhatikan lingkungan kami benar-benar menjadi bagian dari identitas kami sebagai orang Kristen dan sebagai penduduk barat laut Pasifik.

Tetapi tidak semua orang terhubung dengan Tuhan di tempat terbuka, dan lebih sedikit lagi orang yang tahu bahwa menjadi penatalayan atas bumi adalah aspek yang penting dalam mengikut Yesus. Dari mana kita memulai jika pemeliharaan atas ciptaan tidak pernah menjadi bagian dari etika kita?

Teolog Walter Brueggemann menjawab pertanyaan ini dengan ayat dari Yesaya 11: “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan suatu taruk akan tumbuh dari pangkalnya. Roh Tuhan akan tinggal padanya, roh hikmat dan pengertian, roh perencanaan dan keperkasaan, roh untuk mengenal dan takut akan Tuhan” (Yesaya 11:1-2). Di dalam ayat profetik ini, keluarga Isai sudah menjadi seperti tunggul/puntung yang “tak punya harapan, patah, gagal, terlepas dan tanpa prospek masa depan.” Gambaran tentang tunas yang tumbuh dari tunggul itu tentu sangat mengejutkan bagi mereka. Bagaimanapun, tunas-tunas baru dan tak terduga itu menunjukkan kehidupan dan pertumbuhan baru. Dan Tuhan menyebut keluarga yang dianggap tak berpengharapan ini, seperti kata Brueggemann, “muncul kembali di masa depan untuk membuat perubahan di kota yang diratapi terlambat ini.”

Kita bisa mulai dengan membingkai kembali pertanyaan itu: Dari mana pun Anda berasal atau apa pun kebiasaan-kebiasaan Anda saat ini, seperti apakah menerima tugas pemeliharaan atas bumi itu? Tak peduli seberapa sering Anda berelasi dengan Tuhan di alam bebas atau seberapa jarang Anda menikmati tempat terbuka, apa yang dapat Anda lakukan untuk ikut memelihara anugerah yang dipercayakan pada kita ini? Bisa jadi tindakan itu hanya sesederhana memulai percakapan seusai ibadah gereja di hari Minggu. Anda tak pernah tahu ke mana arahnya—bisa jadi untuk tidur di atas lempengan granit selama akhir pekan yang panjang, saat angin bertiup melintasi ngarai seperti napas hidup yang diberikan Tuhan.