Bukan Tanpa Harapan

bukan-tanpa-harapanAda yang mengatakan, “Orang dapat hidup 40 hari tanpa makan, 3 hari tanpa minum, sekitar 8 menit tanpa udara, namun hanya 1 detik tanpa pengharapan.” Bila itu benar, maka penting bagi kita untuk merenungkan sifat alami dan manfaat pengharapan Kristiani.

Filsuf and penulis essay George Steiner, saat merenungkan bentuk keputus-asaan yang ada di abad ke 20, khususnya diantara pendukung Stalinisme dan orang-orang skeptis Barat yang condong pada materialisme, mengatakan bahwa orang-orang modern memiliki “kecederungan untuk bunuh diri” – suatu bentuk kebencian pada diri sendiri. Dorongan ini telah melahirkan sejumlah proposal penyembuhan yang membingungkan, atau setidaknya untuk membatasi masalahnya. Sayangnya, berbagai pengobatan ini memiliki benang merah yang sama: kepandaian dan kuasa mereka terbatas pada sumber daya manusia.

Bagi banyak orang, pengharapan adalah suatu emosi atau pandangan positif yang digali dari kedalaman jiwa seseorang. Seringkali hal itu datang di tengah-tengah bencana dan kekecewaan. Terlepas dari kemalangan, kita “berharap” keadaan akan berjalan baik. Aktor Josh Hartnett menangkap gagasan ini saat ia berkata, “Pengharapan adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidup, dan bila kamu secara jujur percaya bahwa ada kasih di luar sana, maka kasih itu akan datang. Dan bahkan bila kasih itu tidak langsung datang, masih ada harapan di sepanjang hidupmu bahwa kasih itu akan datang.”

Sekalipun ungkapan ini bermaksud baik, namun sudah sangat jauh maknanya dari visi pengharapan alkitabiah, dimana harapan bukanlah masalah membebaskan diri kita atau “mengharapkan yang terbaik.” Bukan juga optimisme yang buta. Sebaliknya, pengharapan menurut Alkitab adalah karunia ilahi yang Allah berikan kepada dunia melalui Anak-Nya Yesus. Namun demikian, hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana seseorang mengenalinya dan menerima karunia ini.

Pengharapan Allah

Kesadaran akan pengharapan dimulai dengan pengakuan bahwa kehidupan dan kematian Yesus Kristus mengubah segalanya. Sepanjang pelayanan Tuhan di muka bumi, harapan masa depan Israel (“Sesungguhnya, akan datang waktunya” dari Yeremia 31:31) menjadi kenyataan yang pasti (Kerajaan Allah ada di antara kamu dari Lukas 17:21). Kemudian, pada suatu hari Jumat yang tak disangka-sangka, mereka membunuh Yesus dengan menyalib-Nya di kayu salib. Saat itu juga, kekuatan keputusaasaan muncul dimana pengharapan orang-orang Kristen nampak mati bersama-sama dengan kematian sang Juruselamat. “Kepada siapakah kami akan pergi?” kata Petrus kepada Yesus, “Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yohanes 6:68). Namun bagaimana pun juga, sang Juruselamat telah mati sekarang.

Persis saat segala sesuatu nampaknya telah hilang, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Pada hari ketiga setelah kematian Yesus, pengharapan muncul dari bayangan bukit Kalvari. Ia hidup kembali, dan kabar baik ini – yang kita sebut “injil” – adalah realita sejarah yang di dalamnya pengharapan kita berakar. Rantai keputus-asaan tidak lagi mengekang kita. Sebagai ciptaan baru Allah, kita yang menerima injil menikmati karunia “Kristus di dalam kita”, yang disebut oleh Kolose 1:27 sebagai “pengharapan akan kemuliaan”.