Ketika Alkitab Menjadi Suatu Cambuk

Oleh Chad Thomas Johnston

Beberapa waktu yang lalu, saya berjumpa dengan seorang mantan misionaris yang di sepanjang kehidupannya, belajar untuk memikirkan Alkitab sebagai suatu cambuk. Kiasan itu nampak cocok bagi saya pada saat itu, dan masih berkesan sampai hari ini. Paling tidak karena untuk waktu yang lama, saya menghindari membaca Alkitab, karena seringkali saat saya membaca halaman-halamannya untuk menemukan penghiburan, yang saya temukan malah teguran.

Beberapa tahun kemudian, seorang terapis mendiagnosa saya memiliki gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Dan sama seperti orang relijius lainnya yang menderita OCD, saya cenderung untuk menjadi terlalu teliti menyangkut semua hal rohani. Saya akan mendera diri saya sendiri – namun tentunya hanya secara mental – dan kemudian menghukum diri saya lebih lanjut karena mencambuk diri saya terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Hingga baru-baru ini. Saya tidak pernah membaca Alkitab secara keseluruhan karena saya percaya bahwa melakukan hal itu hanya akan membuat saya terlibat dalam introspeksi diri yang tidak wajar. Sebagai anak dari seorang pendeta gereja Baptis, saya juga percaya bahwa saya telah menyerap sebagian besar isi Alkitab dengan berendam seumur hidup di dalam berbagai khotbah, studi dan saat teduh pribadi.

Mengapa saya harus membaca Alkitab secara keseluruhan? Saya bertanya-tanya. Tidakkah saya sudah mengetahui isinya, setidaknya kurang lebih? Apakah saya sungguh-sungguh butuh untuk mengetahui lebih banyak tentang, contohnya, Nehemia?

Namun demikian, pada hari pertama Tahun Baru, ketika seorang teman mengatakan kepada saya bahwa ia berencana untuk membaca seluruh isi Alkitab di tahun 2016, suatu pikiran yang tidak terduga muncul: Saya juga ingin melakukannya! Bagaimana mungkin keengganan saya untuk membaca Alkitab tiba-tiba berubah menjadi suatu kesiapan untuk menjadi murid Alkitab? Mungkin Roh Kudus telah bekerja di belakang layar selama ini atas diri saya – menarik tuas di dalam hati dan pikiran saya, membuat roda yang tidak terlihat mulai berputar, tanpa terdeteksi.

Akhirnya, di usia 36 tahun, saya memutuskan untuk membaca Alkitab dari awal hingga akhir dengan harapan menemukan pencerahan, instruksi dan keintiman dengan Tuhan. Memang saya juga mendapati instrumen koreksi, namun saya tahu bahwa Alkitab lebih daripada sekedar cambuk. Bila ayah saya dapat menemukan kekayaan hikmat di dalam halaman-halamannya sebagai seorang pendeta, saya percaya saya pun dapat melakukannya. Dan sampai saat ini, saya tidak kecewa melakukannya.

Tahun ini saya mendapati Alkitab itu sifatnya mengherankan dan menghibur, brutal dan indah, membingungkan dan menentramkan, membosankan namun bersifat magis. Kegiatan membaca saya ini juga menimbulkan SMS, surat elektronik (email), panggilan telepon, dan percakapan tatap muka yang tak terhitung jumlahnya dengan ayah saya mengenai makna banyak bagian Alkitab – dan saya percaya hal itu memperkaya hubungan kami.

Saya sangat terkejut dengan semuanya ini. Mazmur 119 – pasal terpanjang dalam Alkitab – merangkum pengalaman saya tahun ini. Sang penulis bersukaria di dalam perintah-perintah Tuhan dengan cara dimana anak-anak jarang bersukaria di dalam petunjuk orangtua mereka. “Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan” (Mazmur 119:16). Saya pun telah menemukan sukacita yang besar dalam membaca kitab yang dulunya saya takuti – apa yang dulunya suatu cambuk, sekarang telah menjadi sumber keheranan saya – dan ya, sumber kesenangan juga.