Ketika Segalanya Tidak Menakjubkan

Keluarga yang Bahagia

ketika-segalanya-tidak-menakjubkanApakah ibadah penyembahan injili masa kini merupakan tempat yang aman untuk berkeluh?

Tahun lalu, saya mengambil cuti satu hari dan mengajak keluarga saya menonton film The Lego Movie. Saya dan istri dikarunia empat orang anak – tiga perempuan dan satu laki-laki – jadi, hari itu merupakan oasis bagi saya dan anak laki-laki saya, karena kami dikelilingi kaum Hawa. Tetapi semua orang, termasuk perempuan-perempuan, ternyata menyukai film itu. Hanya saja, tanpa kami sadari, lagu tema “Everything is Awesome” (Segalanya Menakjubkan) lalu berganti menjadi “Let It Go” dari Frozen, karena nada lagu itulah yang sudah begitu melekat di benak kami. Di akhir musim panas, demi “kesehatan” kami, kami hampir melarang lagu itu berkumandang di rumah keluarga Darling.

Namun setiap kali saya menonton film itu dan melihat tokoh-tokoh mainan kecil itu berlarian ke sana ke mari dengan riang gembira, saya tak dapat tidak teringat pada gereja. Jika ada musik pengiring yang meriah di banyak ibadah injili saat ini, itu berarti “Everything is Awesome” (Segalanya Menakjubkan). Musik dan liturgi hari Minggu semuanya menunjukkan tema yang sama: Allah sungguh luar biasa dan patut disembah. Dan ini baik. Tindakan menyembah, berolahraga begitu bangkit dari tempat tidur, berpakaian, dan berkontribusi cukup besar pada hari itu untuk menyatakan, bersama umat Allah, tentang kebesaran, keagungan dan kemuliaan Yesus Kristus – dalam banyak hal menunjukkan alasan keberadaan kita sebagai umat yang dipanggil-Nya.

Namun ada perasaan bahwa penyembahan kita tampaknya hanya memainkan nada-nada tinggi – kemenangan, kemegahan, kesukaan – dengan cara yang mereduksi kisah orang Kristen sebagai satu rangkaian perayaan kegembiraan besar yang tak pernah berhenti.

Ini bukanlah pengalaman orang Kristen seluruhnya. Para penulis Alkitab yang diilhami Roh Kudus menyatakan kisah Tuhan dengan menyertakan dukacita yang nyata dari dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Perhatikanlah seruan dukacita Yeremia. Mazmur-mazmur Daud yang menyayat hati. Kemarahan yang benar dari nabi Habakuk. Kesengsaraan nabi Yesaya. Kesedihan hati Paulus. Sesungguhnya Alkitab dipenuhi dengan ratapan dan dukacita atas keadaan umat manusia, keberadaan si jahat, dan kehidupan di dunia yang gelap, terkutuk dan hancur.

Memang benar bahwa kisah orang Kristen adalah kisah kemenangan. Kita melayani Raja yang bangkit dan menang atas dosa dan maut, yang membuat musuh-musuh-Nya menjadi alas kaki-Nya, dan yang akan memerintah dan mengadili bangsa-bangsa. Namun kita juga melayani Sang Gembala yang Baik yang menyelamatkan domba-Nya, Penghibur yang berjalan melalui lembah bayang-bayang maut bersama umat-Nya. Tabib Agung yang membalut hati yang hancur. Manusia yang menderita yang penuh kesengsaraan. Umat Allah terkadang perlu berjumpa dengan Manusia yang menderita ini ketika mereka berjalan masuk ke gereja. Mereka perlu memasuki ruangan dengan hati yang hancur, kalah dan bahkan mungkin marah. Mengutip perkataan seorang pendeta yang saya kenal, “Orang akan mengerahkan segenap iman mereka hanya untuk melewati pintu.”

Ini tidak berarti saat-saat penyembahan kita harus menjadi suram. Seringkali tepuk tangan dan lagu pengharapan juga dapatmengangkat hati saya dari sedih menjadi gembira. Namun ada kalanya, saya memasuki gereja dengan bertanya-tanya, ke mana saya harus membawa kesedihan saya. Ada banyak wajah Allah, dan  satu-satunya yang saya butuhkan saat itu bukanlah Sang Pahlawan yang menang, melainkan Sang Gembala yang lembut. Pada saat seperti itu, saya sering bertanya-tanya, Adakah ruang untuk menyendiri, untuk meratap, untuk berdukacita di sini?

Saya kira para pemimpin gereja dapat membantu dalam hal ini tanpa banyak mengganggu. Ketika saya menjadi gembala jemaat, saya akan memulai ibadah dengan menyetel suasana melalui doa pembukaan. Dengan sengaja saya akan menyerahkan kepada Tuhan orang-orang yang hancur, yang tertekan dan yang lemah. Dengan melakukan hal ini, saya bukan saja membawa beban berat mereka ke tahta Allah, tetapi juga membukaruang publik, tepat di awal kebaktian, bagi mereka yang mungkin takut untuk bersedih pada hari Minggu pagi, untuk menyuarakan luka-luka hati mereka.

Kita juga dapat memberi ruang untuk meratap dengan sedikit menyesuaikanibadah kita. Kita dapat menyiapkan lagu-lagu himne atau paduan suara yang lebih sendu di sela-sela nyanyian kemenangan. Keduanya akan berfungsi lebih baik dalam mencakup spektrum pengalaman manusia dan menyampaikan visi yang lebih utuh mengenai kisah orang Kristen, sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab.

Yang terpenting, orang percaya harus selalu mengingat gambar Allah yang sesungguhnyadari orang-orang yang mereka terpanggil untuk menolong. Kita tidak dihubungkandengan satu sama lain secara masal, tetapi sebagai individu-individu yang memilikipengalaman-pengalaman hidup yang unik. Orang Kristen yang benar-benar memahami apa yang diderita orang-orang di sekitar mereka setiap hari, yang sangat tidak asing dengan masalah dan kesulitan satu sama lain – orang-orang inilah yang saling berhubungan. Mereka tidak saja akan saling mendorong dan mendukung, tetapi juga saling menghibur dan menguatkan. Dan pada akhirnya setiap orang dalam Tubuh Kristus akan menemukan yang mereka perlukan dalam Injil Kristus, yang memberi hidup

Orang Kristen tidak perlu takut bersedih, seakan-akan memahami kondisi kejatuhan manusia – kondisi mereka – sebagai tanda kurang beriman. Iman tidak selalu diungkapkan dengan perasaan cerah ceria seperti dalam acara-acara KKR di perkemahan; adakalanya iman diungkapkan dengan mulut terkatup, dengan terus berjuang dan tabah, dan dalam perjuangan-perjuangan hidup yang tidak mudah.

Saya teringat pada Ayub, yang mengalami kekacauan hidup luar biasa, menjadi pesakitan dan duduk dalam tumpukan abu sambil menggaruk lukanya dengan pecahan beling. Ketika Ayub berkata, “Sekalipun Ia hendak membunuh aku, aku akan tetap berharap pada-Nya” (Ayub 13:15, terjemahan dari Alkitab NIV), ia tidak sedang menunjukkan senyum lebar. Ia mungkin sedang bersimbah air mata, alisnya terus berkerut dan kepalanya tertunduk menanggung sengsara. Ini juga masalah iman. Dapatkah Ayub, yang baru saja mengalami kehilangan yang menghancurkan, menemukan tempat yang aman untuk meratap di dalam ibadah-ibadah gereja kita saat ini? Jika tidak, kita mungkin perlu memikirkan kembali jenis Injil yang kita sampaikan kepada jemaat setiap minggu – karena “segalanya menakjubkan” tidak sama dengan kisah kehidupan orang Kristen.

Oleh Daniel Darling