Manfaat Mempertanyakan

manfaat-mempertanyakanSuatu malam, ketika saya mengantar putra bungsu saya masuk ke kamarnya, ia ternyata sudah menyiapkan pertanyaan serius untuk saya, “Ayah, bagaimana Ayah tahu bahwa Allah dan Yesus itu nyata? Maksudku, bagaimana Ayah tahu dengan pasti?” Ia tidak tersandung dengan pernyataan orang Atheis-baru yang membingungkan, atau merasa resah dengan bukti-bukti yang diberikan Thomas Aquinas tentang eksistensi Tuhan. Anak saya hanya masuk ke tempat yang banyak dari kita juga mengalaminya – tempat kita perlu bergumul dengan kebenaran.

Saya paham betul tempat ini, karena iman saya sendiri tidak berlangsung dengan mudah. Saya ingat ketika pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan mula-mula menguasai hati saya: Bagaimana jika semua ini hanya kebohongan? Bagaimana jika semua yang kupercayai hanyalah khayalan? Awalnya saya merasa malu memiliki pikiran-pikiran semacam ini. Tetapi setelah tahun demi tahun berlalu, saya akhirnya mengerti bahwa, jika Tuhan adalah dasar dari segala kebenaran, tak ada yang perlu ditakutkan dengan pengalaman yang menggoncangkan ini. Meskipun sebagian dari kita percaya tanpa ragu-ragu atau bertanya-tanya, sebagian lain dari kita percaya dengan iman yang ditempa melalui hal-hal seperti ini. Dari sudut tertentu kita dapat melihat bahwa keraguan muncul sebagai rekan iman, bukan musuh.Jika keraguan membuat kita jujur dan mendorong kita untuk menyelidiki, maka berbagai pertanyaan dan pergumulan mental akan membuat kita meninggalkan pemikiran yang berlubang, bukannya terus bertahan sampai kita memiliki pemahaman yang teguh. Seperti dikatakan Frederick Buechner, “Keraguan itu seperti semut-semut di celana panjang iman.” Pertanyaan-pertanyaan yang baik, kegigihan untuk mengetahui kebenaran, dan penolakan terhadap kepalsuan akan menolong kita mendapatkan jawaban yang betul-betul digumuli tentang mengapa kita berpengharapan di dalam Tuhan (I Petrus 3:15).

Namun, jika kita tidak hati-hati, keraguan dapat mengeringkan semangat iman kita. Keraguan menimbulkan ketakutan dan ketika kita merasa takut pada tempat-tempat yang gelap ini (entah karena kita menganggap Tuhan tidak tahan kritik atau merasa iman kita lemah), kita menjadi letih lesu.
Meskipun, tentu saja, sekalipun iman kita gersang, Allah tidak. Dia adalah batu penjuru dasar iman kita, goncangan seperti apa pun tidak akan membuat-Nya goyah, dan akan tetap menjadi tempat bersandar yang teguh.

Bagi saya, yang seharusnya kita lakukan pada saat keraguan ini hanyalah mengurangi serangan kecemasan. Kita dapat tertawa geli, mengangkat bahu dan berkata, “Hei, tak perlu tergesa-gesa. Aku tidak harus memutuskan realitas pelik tentang alam semesta ini dalam waktu 24 jam. Tidak masalah memberi waktu lagi kepada kebenaran untuk menyingkapkan dirinya.” Akhirnya, banyak kabut lalu tersibak, dan pertanyaan-pertanyaan pun tidak lagi begitu mencekik seperti sebelumnya. Dan entah saya dapat mencapai kesimpulan pasti atau tidak, saya akan pergi dengan fakta paling mendasar dan sederhana ini: saya percaya Yesus. Saya percaya Yesus bangkit dari kematian. Allah dalam Yesus telah memenangkan hati saya.

Saat melalui semua ini, sebuah perkataan dari Yakobus mengusik saya. “Ketika kamu berdoa,” kata Yakobus, “Hendaklah (kamu) jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan” (Yakobus 1:6-7). Jadi, jika saya berdoa kepada Tuhan dengan banyak pertanyaan dan keraguan, apakah saya akan ditegur? Lalu bagaimana kita akan mengerti perkataan Pemazmur yang meresahkan ini: “Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada Yang Mahatinggi? Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya!” (Mazmur 73:11-12)? Dan bagaimana kita memahami doa seorang ayah yang ragu-ragu untuk anaknya ini:“Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini” (Markus 9:24)?

Kita perlu tahu bahwa konsep Yakobus tentang kebimbangan di sini tidaklah sama dengan yang sedang kita bicarakan – kata yang ia gunakan (krino) berarti “mengadili,” “memutuskan,” atau “mempercayai.” Ia memandang orang yang bimbang bukan sebagai orang yang bergumul dengan suatu kebenaran, tetapi lebih kepada orang yang tak mau ambil risiko sama sekali untuk memilih kebenaran.
Yakobus tidak menegur orang yang bergumul tanpa kenal lelah untuk menemukan kebenaran,melainkan ia mengeritik orang yang memakai kebimbangan sebagai alasan untuk tidak berani bertindak.
Dengan kata lain, ketika kebimbangan membuat kita tetap jujur, keraguan itu baik dan berguna. Namun ketika keraguan membuat kita tetap berkata, “Ini yang kupercaya, dan inilah yang akan kupertahankan,” kebimbangan itu menjadi suatu penolakan.

Itulah sebabnya orang yang bimbang “diombang-ambingkan oleh angin” dan “mendua hati” (Yakobus 1:6, 8). Orang semacam ini menolak menyerahkan dirinya kepada seseorang atau sesuatu –ia tidak pernah mau mengambil tanggung jawab dan membuat pilihan tetap terbuka. Saya kira, dalam bahasa dunia kita sekarang, sinis mungkin merupakan kata yang lebih tepat untuk sikap yang digambarkan Yakobus ini. Orang bimbang yang tulus bergumul karena ia ingin menemukan kebenaran. Tetapi orang yang sinis ingin percaya bahwa tidak ada kebenaran dalam hal itu dan ia akan berusaha mematahkannya dalam setiap kesempatan.

Iman bukanlah kebalikan dari pergulatan keraguan yang jujur, tetapi iman adalah keberanian untuk menemukan kebenaran – atau lebih tepatnya, menemukan Allah yang mengaruniakan seluruh kebenaran. C.S. Lewis mengungkapkan hal ini dengan tepat sekali dalam buku Mere Christianity ketika ia berkata, “Iman … adalah seni memegang segala sesuatu yang pernah diterima akal budi Anda, meskipun perasaan-perasaan Anda berubah.” Iman adalah perkataan ya yang berani dan memberanikan diri kepada Tuhan.