Maukah Engkau Sembuh

maukah-engkau-sembuhJika Anda pernah memiliki orang terkasih yang terjerat suatu kecanduan, Anda tentu tahu bahwa, jika yang bersangkutan sendiri tidak memiliki keinginan untuk terlepas dari cengkeraman kecanduan itu, tidak banyak yang akan berubah. Saya punya teman yang kisahnya terdiri dari sederetan panjang pilihan-pilihan yang buruk: nutrisi buruk, pola tidur yang kacau dan berulang-ulang terlibat dalam aktivitas yang penuh tekanan. Semuanya ini secara perlahan-lahan menggerogoti tubuh dan jiwanya. Ia dihadapkan pada berbagai ketakutan dan hal-hal buruk yang dikatakan para dokter tentang kesehatan. Dan dalam beberapa minggu saja, katanya, ia sudah membuat beberapa penyesuaian radikal. Tetapi tak ayal ia kembali lagi kepada cara hidupnya yang lama. Karena pada kenyataannya, ia tidak sungguh-sungguh menginginkan perubahan. Ia lebih menginginkan kehidupannya yang tidak sehat daripada keinginan untuk sehat.    

Kebenaran sesungguhnya adalah, jika kita mau sehat (entah sehat secara fisik, pulih dalam masalah keluarga, atau memiliki semangat baru dalam kehidupan bersama Tuhan), kita harus menginginkan untuk sehat. Kita harus memelihara kerinduan-kerinduan kita akan Allah dan kebaikan. Kerinduan yang dalam ini bukan sekadar pelengkap – tetapi esensial. Agustinus dari Hippo berkata, “Seluruh kehidupan orang Kristen yang baik pada dasarnya adalah suatu latihan keinginan yang kudus.” Yesus banyak berbicara tentang pentingnya memberi perhatian serius pada hasrat hati kita, menyalakan api kerinduan yang baik dan memadamkan setiap api yang palsu.    

Injil Yohanes pasal 5 menunjukkan kisah Yesus di kolam Betesda. Di sana orang-orang yang memiliki kelemahan berharap mendapat kesembuhan, yang dikatakan akan terjadi setiap kali ada malaikat yang secara ajaib menggoncang air kolam tersebut. Nama kolam itu saja sudah menunjukkan  perjumpaan yang akan terjadi. Dalam bahasa Aram, Betesda berarti “rumah kasih karunia” dan dalam bahasa Ibraninya berarti “rumah kemurahan.” Ke mana Yesus pergi, di situ pasti ada kasih karunia dan kemurahan.

Orang yang sakit selama 38 tahun itu sudah lama sekali terbaring di pinggir kolam, tak berdaya menantikan kemungkinan kecil hidupnya akan berubah. Pada abad pertama, mengalami kelumpuhan berarti tidak dapat mencari nafkah untuk keluarga dan seringkali disisihkan dari masyarakat. Menderita penyakit kronis atau cacat bukan sekadar masalah fisik, tetapi juga penghalang yang sukar ditembus untuk masuk ke dalam kehidupan normal.

Ketika Yesus tiba di sana, Dia menjumpai orang itu dan mengajukan pertanyaan yang sangat penting kepadanya, “Maukah engkau sembuh?” Atau dalam terjemahan yang lain, “Maukah engkau dijadikan utuh?” 

Jawaban orang sakit itu mengejutkan saya. Saya pikir ia akan segera menjawab dengan mantap: Ya! Itulah yangpaling kuinginkan! Sekarang! Tapi ternyata, jawabannya menunjukkan lamanya tahun-tahun kekecewaan, masa-masa penantian sampai rasa optimisnya sudah hilang."Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku" (ayat 7). Kita tidak mendengar banyak harapan dalam jawaban sedih orang ini. Ia tidak mengantisipasi bahwa Yesus kemungkinan akan menolongnya. Puluhan tahun menderita dan kesempatan-kesempatan yang hancur membuatnya hanya melihat nasib yang malang, masa depan suram.    

Ada banyak alasan mengapa kita, saat dalam keadaan hancur, sulit untuk tetap terhubung dengan hasrat kita akan sesuatu yang lebih. Berharap (hidup dengan hasrat yang kuat) untuk sembuh saja sudah merupakan hal yang menyiksa. Sangat menyakitkan berpegang pada kerinduan akan adanya sahabat jika ketiadaan itu hanya akan memperjelas betapa nyerinya kesepian kita. Begitu menyakitkan berpegang pada pengharapan untuk bebas dari kemarahan, ketakutan atau pembenaran diri jika hal itu berarti kita harus membongkar perilaku-perilaku berdosa kita atau memperhitungkan kebohongan-kebohongan yang kita lakukan dalam menjalani hidup kita.

Kita sering mengabaikan kerinduan kita untuk utuh karena kita sangat takut. Meskipun realitas hidup kita mungkin jauh dari yang kita harapkan, lama-kelamaan kita akan membuat semacam perdamaian dengan kehancuran kita – hal yang sudah kita kenal baik. Sungguh menakutkan untuk menyerahkan rasa aman yang sekarang (betapa pun mengecewakan atau menyakitkannya) kepada masa depan yang tidak pasti.    

Pada bulan Agustus 2014, ketika penyakit Ebola melanda banyak wilayah Afrika Barat, para pejabat yang berwenang menyatakan dengan tegas bahwa solusinya bukanlah cuma menemukan penangkal yang tepat terhadap virus mematikan itu, tetapi juga perlu mengatasi ketakutan banyak orang dalam menerima pengobatan. Akibat isu-isu budaya, ketidak percayaan terhadap otoritas medis, dan faktor-faktor lain yang kompleks, banyak keluarga justru menyembunyikan pasien yang terinfeksi di tempat-tempat yang tidak terjangkau dokter, dan bukan membawanya ke rumah sakit. Ketika para tim medis berusaha menemukan orang-orang yang terinfeksi itu, masyarakat yang menyembunyikan mereka menolaknya. Mereka lebih takut kepada obat daripada terjangkit Ebola. Pertolongan sudah tersedia, tetapi mereka tidak menginginkannya.

Sebagian dari kita mungkin takut pada yang tidak kita ketahui, atau mungkin punya alasan untuk tidak percaya pada janji-janji orang lain. Dan kebanyakan kita mungkin cuma takut kehilangan kendali. Untuk datang pada Yesus minta disembuhkan, kita harus melepaskan pemikiran bahwa hidup kita terletak di tangan kita sendiri. Kita harus mengakui bahwa kita perlu disembuhkan dan bahwa usaha kita sendiri hanya membuat segalanya kacau. Untuk membiarkan diri kita menerima kasih Allah, kita harus menghadapi kebenaran bahwa sudah lama sekali kita mendambakan hal itu. Untuk menjadi sembuh dan utuh, kita harus menumbuhkan ketidakpuasan terhadap penderitaan kita dan menginginkan sesuatu yang lebih dari Tuhan. Untuk melangkah ke dalam keutuhan yang Tuhan maksudkan, kita harus benar-benar “sadar”, baik tentang Tuhan maupun tentang penderitaan dan segala sesuatu dalam diri (dan dunia) kita yang tidak baik. Kita harus membiarkan airmata, sukacita dan janji-janji Tuhan membangunkan kembali bagian-bagian hati kita yang sudah menjadi dingin.             

Ketika Yesus berkata-kata, harapan selalu terbit kembali. Bara api di hati menyala lagi. Setelah orang sakit yang putus asa itu menjawab, Yesus menatap wajahnya, menyingkirkan kemuramannya dan berkata dengan penuh kuasa: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah" (ayat 8). Orang itu punya pilihan. Untuk menjadi sembuh diperlukan ketaatan dan kesediaan untuk menerima sukacita dan kesembuhan yang ditawarkan Yesus. Orang itu harus bergerak dan mengambil risiko. Dan ia pun melakukannya. Orang yang sudah tidak berdiri di atas kakinya selama hampir empat dekade itu pun melompat dari tanah berdebu, meraih tempat tidurnya dan berjalan (saya bayangkan ia berjalan dengan berjingkrak-jingkrak) kembali ke rumahnya – kembali ke dalam kehidupannya.    

Ketika Tuhan memberi kita hidup, yang harus kita lakukan adalah berdiri. Yang harus kita lakukan adalah menjawab ya. Yang harus kita lakukan adalah memutuskan bahwa kita menginginkannya.

-Winn Collier