Seni di Dalam Hati

FIRMAN DI DALAM HATI

Apa yang kita lihat di galeri seringkali lebih mendalam – dan rohani – daripada yang kita sadari.

Oleh Cameron Lawrence

seni-dalam-hatiDi luar, jalan Manhattan dipenuhi oleh mobil dan taksi, para pejalan kaki tergesa-gesa ke tempat tujuan mereka. Gedung-gedung tinggi menerima kebisingan dari bawah dan mengirimnya ke atas, bergema ke langit tanpa awan. Namun di dalam Museum of Modern Art (Museum Seni Modern), hanya ada keheningan, di samping obrolan para pengunjung.

Saya menyaksikan dua remaja berhenti cukup lama di tiap karya seni untuk mengagumi. Postur pengunjung lain menunjukkan berbagai macam pengalaman seni, mulai dari yang tidak menyukai hingga yang mengagumi. Namun saya bergerak cukup lambat. Dalam beberapa tahun terkahir, saya telah menjadi pecandu museum: saya menyukai keadaan galeri dengan dinding putih mereka, garis yang bersih dan cahaya yang alami – bagaimana ruang-ruang ini membuat saya merasa terbuka dan tenang. Namun ada hal lain lagi: di dalam museum seni, saya berjumpa dengan Tuhan.

Bagian terakhir membingungkan beberapa orang. Bagaimana mungkin karya seni, khususnya ketika diciptakan oleh individu-individu yang mengklaim tidak percaya kepada Tuhan, dapat menjadi suatu sarana kasih karunia? Jawaban terhadap pertanyaan itu bersifat misteri: bahwa untuk dapat bersekutu dengan Tuhan, pertama-tama saya harus berjumpa terlebih dahulu dengan diri saya sendiri.

Seringkali yang terjadi adalah hidup saya, dengan berbagai komitmen yang dimilikinya – namun kebanyakan adalah komitmen kepada ego dan kehendak saya sendiri – menuntun saya kepada suatu tempat dimana saya terputus dari diri saya yang sesungguhnya, yang “tersembunyi bersama dengan Kristus” (Kolose 3:3). Saya terjebak di dalam hal-hal yang saya ingin capai, bagaimana saya ingin orang lain melihat saya, dan tak lama kemudian hal-hal ini mengambil alih kesadaran saya. Yang tertinggal adalah kebodohan terhadap hal-hal rohani. Betapa mudahnya saya berpaling dari Pribadi yang menopang keberadaan saya dengan kasih-Nya, dan memilih untuk menjalani hidup seolah-olah Ia tidak ada. Maka Augustine sangat tepat mengatakan hal ini: “Keindahan seketika menjadi begitu kuno sekaligus begitu baru … kau ada di dalam diriku, dan aku berada di dalam dunia di luar diriku sendiri (Confessions, X.27).

Di dalam museum, tidak ada yang mistik tentang properti fisik suatu lukisan. Kecuali satu hal: Bahwa suatu lukisan, seperti halnya karya seni lainnya, adalah suatu kesaksian dari jiwa manusia selagi ia bergumul dengan keberadaannya, dengan pertanyaan tentang Tuhan, dan pencarian dari makna “hidup, bergerak dan ada” (Kisah Para Rasul 17:28).

Dengan cara ini, seni adalah sarana berhubungan dengan sesama kita, selagi kita mendekat untuk “mendengarkan” dengan mata dan hati kita terhadap kesaksian para pembuatnya. Para artis ini, dengan cara yang misterius, adalah sesama kita – yang berbicara kepada kita di luar waktu, di dalam bahasa yang melampaui kewarga-negaraan kita. Melalui karya mereka, kita bertemu dengan seseorang yang diciptakan serupa dengan gambar Allah – yang sekali waktu berdiri di depan kanvas kosong, memasukkan dunia ke dalam dirinya dan menyampaikannya kembali sebagai suatu hadiah, atau suatu pesan, atau suatu doa. Saat kita mengidentifikasikan diri kita dengan mereka dan berkata, “Kamu seperti saya, dan saya seperti kamu,” kita mulai berhubungan lebih dalam dengan pertanyaan dan keinginan hati kita sendiri, keraguan dan rasa takut kita sendiri.

Dan terkadang di dalam suatu karya seni, kita menjumpai suatu keindahan yang membuat kita merasakan sesuatu yang Tuhan rancangkan untuk dialami umat manusia, yaitu sukacita. Dan sukacita, bahkan saat dimediasi melalui sesuatu yang rapuh seperti suatu karya seni, adalah jalan kembali menuju kepada Tuhan melalui hati kita sendiri. Dan saat sukacita itu mengalir, ia membawa kesembuhan, membangunkan saya kembali ke diri saya sendiri – dan kepada Tuhan yang selalu dekat.