Tamu Beracun

(Leslie Leyland Fields)

Jika kemarahan adalah tamu yang tak menyenangkan, mengapa kita masih mengundangnya datang lagi?

Tamu BeracunMusim gugur yang lalu adalah musim menuai yang sibuk di pondok ikan kami di Alaska. Kebun itu, tempat rumput liar dan tanah berbatu, hampir tidak menghasilkan apa-apa untuk kebutuhan hidup kami, tetapi ikan salmon dan buah arbei cukup melimpah. Sore-sore kami lewatkan dengan mencari makanan ternak di semak-semak, berlayar dengan kayak (sampan kecil) untuk mengumpulkan buah arbei dan tanaman lain, atau menunggu di dekat pot-pot selai yang sedang dididihkan secara perlahan-lahan. Salmon juga diantar ke rumah setiap hari, untuk diambili dagingnya, diasap dan dikalengkan. Setiap peti persediaan makanan untuk musim dingin menambah tinggi menara kebaikan dan kelimpahan Tuhan.

Namun, pada suatu hari, di tengah melakukan pengalengan, menyiapkan makanan di meja yang penuh, mengasihi anak-anak, memperbaiki jala, dan mengumpulkan ikan, kemarahan datang pada saya bagaikan tamu tak diundang – dan pada waktu yang mungkin terburuk: dalam minggu yang penuh keadaan darurat.

Krisis pertama terjadi ketika saya dan suami berlayar pulang naik perahu dari pedesaan – angin dan ombak menderu di sekitar kami, sampan kecil itu bergoyang-goyang diterpa gelompang. Dan kemudian, tiba-tiba, kami kehabisan bahan bakar. Di tengah samudera yang jauhnya masih lebih satu mil dari tujuan. Kami beralih ke dayung, dan bekerja sama dengan gerakan-gerakan kaku untuk menghindari batu-batu karang. Andai saja angin bertiup ke arah yang lain, kami tentu sudah hilang selama berjam-jam. Atau lebih buruk lagi.

Beberapa malam sesudah itu, saya menyusuri bukit berbatu di jalan masuk ke rumah kami, dan tiba-tiba saya tidak dapat bernapas. Mata saya perih dan saya dapat mendengar suara mendesis yang aneh. Saya berdiri selama beberapa detik, mencari asal suara itu dan kemudian langsung menerobos keluar mencari udara segar. Saya tahu apa yang terjadi: Kulkas tua saya yang sudah berusia 30 tahun bocor dan mengeluarkan gas amonia. Dalam jumlah yang cukup tinggi, gas amonia bisa membunuh orang. Saya merasa ngeri memikirkan kembali kejadian di malam itu, ketika kami hendak tidur. (Bayangkan di batu nisan Anda tertulis – “Meninggal karena kulkas”!).

Dan itu belum semuanya. Masih ada satu krisis lagi di sungai itu pada minggu yang sama. Saya kehabisan bahan bakar lagi, dan kali ini saya sedang berlayar sendirian. Sebelumnya suami saya memastikan pada saya bahwa bahan bakarnya masih cukup. “Belum perlu mengisi bahan bakar. Percayalah padaku!” katanya, sebelum saya berangkat. Saya akhirnya ditolong dan diantar pulang oleh tetangga yang melihat saya mengapung di teluk. Tetapi dalam keadaan darurat itu, kemarahan datang, memberi saya kekuatan untuk mendayung perahu kurang lebih 8 meter melawan arah angin, menolong saya melambai-lambai untuk memberi isyarat perlu ditolong kepada perahu yang lewat. Begitu saya mendarat dengan selamat di pulau saya, kemarahan itu pula yang mendorong saya menapaki bukit berbatu yang panjang menuju rumah saya.

Jadi, saya telah mengundangnya masuk. Saya berkata padanya – dengan terengah-engah dan muka merah – betapa banyak saya sudah berada dalam bahaya. Betapa semuanya itu adalah karena kesalahan orang lain. Dan sebelum saya menyadarinya, saya sudah membuka setiap pintu di rumah besar memori saya, menunjukkan ruang-ruang kemarahan yang berantakan dengan banyak luka. Sesudah selesai, saya memberinya tempat tidur saya yang empuk dan menjamunya dengan teh dalam cangkir China, memperhatikan ketika ia berkata pada saya, sambil tersenyum menyeruput minuman, apa sebenarnya yang sudah saya lakukan. Betapa saya sudah membiarkan ketidakadilan berlaku, membiarkan diri saya kehilangan kuasa dan hak-hak saya.

Saya mendengarkan karena ada kemarahan yang tepat yang membawa kehidupan daripada kematian. Saya tahu itu bisa menghentikan pelecehan dan penindasan, dan dapat mengarah kepada kebaikan dan keadilan yang dikehendaki Allah. Tetapi, semakin lama saya membiarkan kemarahan saya berbicara, semakin saya kehilangan damai sejahtera. Saya mendengarnya berkata Bertahan, sayang! Dan kebahagiaan penuh, manis! Tetapi ketika saya bersandar untuk mendengarkan, saya mendengar suara mendesis seperti amonia yang merembes dari lemari es saya.

Setelah cukup penuh ditemani kemarahan, saya pergi tidur – dan menjadi lebih buruk karena hal itu. Keesokan paginya, wajah saya beku dengan kerutan-kerutan yang dalam dan sudut-sudut yang jelek. Saya berkata pada diri sendiri, Beginilah jadinya jika kamu tidur dengan kepahitan sepanjang malam. Saya menyadari kemudian, bahwa tamu saya berada di sana bukan untuk menyelamatkan saya, tetapi untuk mencekik dan membunuh saya. Saya memandangi suami saya, yang menunjukkan wajah tenang dalam tidurnya. Ia lalu berbalik, terbangun dan tersenyum pada saya. Saya membayangkan anak-anak saya yang ada di kamar mereka di lantai bawah. Apakah saya akan menghabiskan satu hari lagi dengan tamu beracun seperti itu, yang membawa kemarahan ke ruang-ruang di rumah saya, turun ke pantai dan ke dunia di luar pintu rumah kami?

Pagi itu saya membaca dari kitab Yakobus, “Amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” (Yakobus 1:20-21). Membaca perkataan itu, saya jadi ingat kehidupan macam apa yang ingin saya jalani.

Perkataan Allah menyayat dengan penuh kemurahan, seperti gunting pemangkas, dan saya memutuskan untuk mengusir keluar kemarahan itu dari rumah saya. Saya melepaskan tinju saya, hak-hak saya, kesalahan saya, dengan mengingat, Ampunilah seperti kamu juga sudah diampuni. Saya tahu bahwa saya merasa bersalah atas banyak kesalahan seperti halnya suami saya. Bahkan pada saat-saat keadaan tidak seimbang pun, kemarahan tetap menghancurkan orang yang menerima dan memberinya makan, yang kemudian merambah ke relasi-relasi dan bahkan ke tanah dan udara sekitar kita. Saya memandang ke kebun saya yang tandus dan berumput liar dan melihat peringatan yang jelas tentang bisa jadi apa hati dan hidup saya sendiri.

Ketika kemarahan itu pergi, saya dapat bernapas kembali. Wajah dan tangan saya melembut, terbuka. Sore itu saya pergi ke hutan di pulau kami bersama anak-anak untuk mencari buah arbei lebih banyak lagi. Dan beberapa jam kemudian, kami sudah menambah peti selai berwarna merah delima dan manis di tempat penyimpanan di loteng. Alih-alih menyia-nyiakan waktu menggelegak dalam kepahitan, saya malah dapat menikmati pemandangan di menara setinggi-pinggang, dan mengetahui ada cukup persediaan untuk memberi makan suami, anak-anak dan teman-teman selama musim dingin. Kebun saya sudah kembali.