Anda Bisa Berhenti Mencoba Membuat Semua Orang Terkesan

(John VandenOever)

Bukan kehebatan Anda yang penting, tetapi kuasa Tuhan.

Saya sudah menghabiskan banyak sekali waktu dalam hidup saya untuk berusaha kelihatan penting. Karena alasan tertentu, banyak dari kita merasa terdorong untuk membuat orang lain terkesan dengan hubungan-hubungan kita, pengalaman-pengalaman kita, dan bahkan kata-kata kita. Tetapi semakin Anda banyak bicara tentang diri Anda, semakin Anda menjadi tidak mengesankan. Dan sementara Anda mengoceh, pendengar Anda menjadi semakin menyadari akan kesombongan Anda dan kehausan Anda yang besar akan perhatian. Semua itu agak menggelikan jika Anda memikirkannya.

Demikian pula, kita bisa menjadi sombong dengan pengalaman dan pemahaman rohani kita. Sedemikian sombongnya sampai kita bisa menjalani hari-hari tanpa doa, dipenuhi maksud-maksud baik namun tidak berpusat pada kehadiran dan kuasa Tuhan. Itu sebabnya kita menjadi kering, frustrasi dan kecil hati. Dan semakin kita berusaha mengatasinya dengan kekuatan kita sendiri, semakin kita menjadi tidak efektif. Seperti mobil yang terjerembab di lumpur, bannya terus berputar tetapi tidak ke mana-mana.

Dalam khotbahnya yang berjudul “God’s Pathway to Brokenness,” Dr. Stanley berkata, “Kita semua masih memiliki keinginan untuk bertindak tanpa Tuhan di dalam diri kita. Tak peduli betapa setianya kita pada Kristus, akan ada saat-saat ketika kita ingin bertindak tanpa Tuhan dan mengambil jalan kita sendiri. Kehancuran lalu menjadi cara Tuhan dalam menangani hal itu.”

Bersyukur, Kristus berkenan mengarahkan kita kembali. Dia mengarahkan pandangan kita kepada-Nya agar jalan kita menjadi lurus dan layak dijalani. Setelah melakukan itu, Dia tidak melambaikan tangan pada kita dengan memberi ucapan semangat dan janji akan berada sejauh doa. Tidak, Dia tetap menyertai. Dan kita tidak dipanggil untuk membuat-Nya terkesan atau menunjukkan seberapa jauh kita dapat melangkah pada saat itu. Sebaliknya, kita didorong untuk memikul kuk-Nya, tetap berada di dekat-Nya, dan bersandar pada-Nya dengan ketergantungan penuh.

Paulus pun perlu diarahkan kembali oleh Tuhan. Duri dalam daging rasul itu menjadi pengingatnya bahwa pelayanannya bukan dilakukan dengan kemampuan atau pemikirannya sendiri, atau bahkan penglihatan-penglihatan luar biasa yang diberikan Tuhan padanya. Tidak. Ia hanya menjadi efektif karena kuasa Kristus yang bekerja di dalamnya. Itu sebabnya ia berkata dengan terus terang bahwa duri dalam dagingnya justru “membuatnya tidak meninggikan diri dan menjadi sombong” (2 Korintus 12:7). Lagipula apa juga gunanya menjadi rasul yang sombong?

Meskipun “duri” itu artinya bisa bermacam-macam — bisa penyakit fisik atau bahkan serangan Si Pendakwa yang terus-menerus – mengetahui yang mengganggu tidaklah lebih penting daripada mengetahui tujuannya. Meskipun Paulus sudah berdoa dengan tekun agar duri itu dijauhkan darinya, Tuhan justru memakai duri itu untuk tujuan-Nya yang mulia. Dia membentuk dan merendahkan hati Paulus agar kita dapat melihat Kristus semakin nyata. Dan juga agar Paulus dapat bersukacita dalam kelemahannya dan mengungkapkan sukacita yang luar biasa tentang kekuatan Tuhan dalam setiap situasi.

Kita memiliki hubungan yang intim dan abadi dengan Pribadi yang paling penting dan paling mengesankan sepanjang kekekalan. Untuk apa kita buang-buang waktu membuat diri kita kelihatan baik – jika kita tahu hal itu tidak akan berhasil? Mengapa kita bersusah-susah jika kita dapat memiliki kekuatan, kuasa dan kepenuhan damai sejahtera Kristus yang menyertai kita dalam segala kelemahan, kesedihan dan kesulitan kita?