Apakah Penderitaan Itu Perlu?

(Jamie A. Hughes)

Penderitaan itu tidak menyenangkan, tetapi bukan berarti harus kita hindari.

Seberapa banyak dari kita yang bisa berada dalam relasi dengan Tuhan saat ini jika bukan karena kesakitan, penderitaan, kehilangan, salah paham atau penolakan? Tuhan memakai semuanya itu untuk kebaikan kita, dan itu sebabnya Dia tidak selalu bergegas menolong kita, tetapi Dia selalu punya tujuan – tujuan-Nya yang tertinggi – untuk membentuk kita menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.

Sebagai mantan guru bahasa Inggris, saya selalu ingin mendengar apa yang dibaca anak-anak saya di sekolah. Anak bungsu saya baru saja membaca salah satu buku yang selalu menjadi buku favorit saya untuk anak sekolah menengah, The Giver, yang ditulis Lois Lowry. Buku itu bertutur tentang Yonas, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun yang dibesarkan dalam komunitas futuristik (masa depan) yang telah menghilangkan penderitaan, ketakutan, iri hati, dan segala perasaan negatif lainnya yang dapat dialami manusia. Sebagai gantinya, anggota-anggota komunitas ini tanpa sadar jadi mengorbankan emosi-emosi positif mereka seperti sukacita, kasih serta kebebasan membuat pilihan sendiri. Seiring berkembangnya alur cerita, hal yang tampak sebagai dunia impian ternyata sama sekali tidak demikian.

Suatu hari, seorang guru yang mengajar sekelompok anak remaja mengajukan pertanyaan yang memusingkan ini: Menurut kalian, apakah penderitaan itu perlu? Anak saya menjawab tidak. Maka, ketika ia mengajukan pertanyaan yang sama pada saya, dan jawaban saya yang tegas adalah ya, ia terkejut. Dan ini membuat kami mengalami serangkaian diskusi yang luar biasa tentang novel-novel distopia lainnya seperti Brave New World, tempat di mana orang-orang menggunakan obat-obatan secara berlebihan untuk menghindari segala yang tidak menyenangkan, dan Fahrenheit 451, sebuah buku tentang orang-orang yang mengobati diri sendiri dengan menutupi dinding-dinding dengan tabir dan membenamkan diri mereka dalam realitas palsu. (Kedengarannya sangat familier, bukan?)

Saya bukan seorang masokis. Saya tidak menyukai penderitaan fisik atau pun mental, tetapi saya tahu Tuhan memiliki tujuan yang lebih besar ketika Dia mengizinkan kesulitan menimpa hidup saya, dan itu memberi saya kekuatan untuk menanggung apa pun yang terjadi. (Lihat Roma 5:1-5, 8:18-25; Mazmur 119:75). Adakalanya saya juga masih tergoda untuk melakukan yang menurut anak saya terbaik – menjauhkan/menepis penderitaan dengan kedua tangan saya, mengabaikannya, atau menenangkan diri sampai kesusahan mereda. Tetapi ketika saya melakukannya, saya kehilangan pelajaran-pelajaran yang berharga.

Selama empat dasawarsa hidup saya di dunia, saya mulai mengerti bahwa pelajaran yang terpenting kadang tidak bisa dipelajari “dengan cara yang mudah.” Itu sebabnya Tuhan dalam hikmat-Nya yang sempurna memberi kita tantangan-tantangan – agar kita memiliki sesuatu untuk mengasah diri kita sendiri, suatu cara bertumbuh dan berkembang untuk menjadi versi diri kita yang lebih utuh dan dewasa secara rohani sebagaimana yang ada dalam rancangan-Nya. Prosesnya tidak selalu menyenangkan, tetapi hasil akhirnya pasti tidak kurang mulia.