Ayah Yang Selalu Saya Dambakan

(Tim Rhodes)

Tuhan menjawab kerinduan saya yang tak terpenuhi dengan cara yang tak pernah saya duga.

Satu tahun sebelum Ayah saya meninggal, saya menghabiskan waktu dua minggu bersamanya – waktu bersama paling lama sejak ia meninggalkan keluarga kami ketika saya berusia 8 tahun. Ketika hari reuni kami semakin dekat, saya mendapati pikiran saya melayang ke usia kanak-kanak itu dan merasa sangat dikuasai oleh kegembiraan. Saya tak bisa mengharapkan yang lain lagi.

Waktu bersama Ayah saya bukan pengalaman yang baik atau buruk. Tetapi lebih buruk — tidak menarik dan  antiklimaks. Saya telah berencana untuk mengajaknya keluar malam-malam untuk menikmati tempat-tempat menarik di lingkungan kami, tetapi ia sudah puas dengan tinggal di rumah saja. Ia juga tidak mau pergi ke acara-acara sekolah cucu-cucunya. Saat yang diharapkan menjadi minggu-minggu yang lebih berarti dalam hidup saya justru menjadi sangat membosankan. Beberapa hari kemudian, saya sudah merasa ingin ia pergi saja.

Mungkin perlu saya jelaskan sedikit, Ayah dan saya memiliki relasi yang tegang hampir seumur hidup saya. Setelah ia pergi meninggalkan keluarga kami dan sepanjang sisa usia saya di sekolah dasar, kami hanya bertemu sesekali pada akhir pekan. Rasa sakit atas ketidakhadirannya saya rasakan hampir setiap hari (tak ada kata yang lebih tidak cukup daripada “ayah yang absen”), tetapi melalui rasa rindu itu, saya belajar untuk memaafkan dan mengharapkan masa depan yang lebih baik bersamanya.

Saya dengan optimis berpikir bahwa masalahnya tinggal soal waktu saja untuk ia dan saya akhirnya bisa membangun hubungan yang lebih erat. Dengan cara yang hampir kekanak-kanakan saya bertekad untuk meyakinkannya bahwa saya adalah orang yang layak dikasihi, dan layak untuk menghabiskan waktu bersamanya. Bahkan setelah dua minggu bersamanya yang menyedihkan itu, saya masih percaya bahwa relasi yang lebih berarti itu masih mungkin terjadi.

Dan kemudian Ayah meninggal.

Semuanya terjadi begitu cepat dan tidak terduga. Tak ada perasaan akan berakhir – tak ada kesempatan untuk mengucapkan kata-kata terakhir atau selamat tinggal. Kesedihan akibat kehilangan dirinya dan penderitaan karena masih bertanya-tanya bagaimana bisa terjadi mendera saya dengan sangat menyakitkan selama minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya.

Tidak banyak yang berubah dalam hidup saya sejak kepergiannya. Hanya satu yang berbeda: secercah harapan tipis untuk terjadinya suatu rekonsiliasi pupus sudah. Buku sudah ditutup. Takkan pernah ada lagi waktu ketika saya tahu bahwa saya bisa menjadi cukup baginya.

Dalam khotbahnya yang berjudul “Healing Our Hurts” (Menyembuhkan Luka-luka Hati Kita), Dr. Stanley berkata, “Seringkali sikap tidak mengampuni itu bisa sangat tidak kentara, dan itu bisa terjadi terutama akibat sesuatu yang dilakukan orangtua. Sangat wajar, dan alami, untuk orang berkata, ‘Mengapa? Tentu saja, aku mengasihi ayahku.’ Tetapi [luka itu] tidak hilang hanya karena Anda berkata, ‘Aku mengasihi ibuku, aku mengasihi ayahku.’ Anda ingin mengasihi mereka. Anda harus mengasihi mereka. Kita berkata begitu dalam hati kita, dan karena itu kita berpikir kita seperti itu. Dan meskipun dari luar segalanya tampak baik-baik saja, luka yang ada jauh di lubuk hati tak pernah sembuh.”

Lalu, ke mana Anda mencari kesembuhan ketika orang yang relasinya dengan Anda hancur sudah mati?

Saat masih kecil, saya dihantui pikiran bahwa saya juga patut disalahkan atas kepergian Ayah saya yang meninggalkan keluarga dan perpisahan orangtua saya setelah itu. Bahkan ketika remaja, saya tahu ini adalah perasaan yang lazim dialami anak-anak yang orangtuanya bercerai, tetapi hal itu tetap saja tidak bisa menghilangkan kecemasan bahwa saya belum cukup berusaha untuk membuat Ayah saya tidak pergi.

Bertahun-tahun kemudian, pada saat-saat setelah kelahiran anak pertama saya, saya ingat saya menggendong anak saya berlama-lama —merasa takjub sekaligus sangat nyaman ketika saya bercakap-cakap dengannya,  memperkenalkannya pada dunia barunya. Saya dipenuhi kasih yang tak bersyarat. Saat membuai bayi saya, saya merasa terlepas dari beban yang sudah saya pikul hampir seumur hidup saya. Tidak ada apa pun yang bisa dilakukan anak ini yang bisa membuat saya berhenti mengasihinya dengan segenap keberadaan saya. Tidak ada tekanan atau rintangan apa pun yang akan cukup kuat untuk membuat saya menjauh darinya.

Saya berharap di titik ini saya sudah bisa berkata bahwa hidup saya sudah beres dan semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi kesedihan tak pernah usai dan saya masih saja berduka atas kehilangan itu dan juga kesempatan yang hilang, meratapi relasi yang sudah terjadi. Luka itu masih menganga dan mungkin tidak pernah bisa sembuh sepenuhnya.

Namun yang saya tahu adalah, bagaimanapun damai yang saya rasakan, Bapa surgawi ada di tengah semua itu. Di waktu-waktu yang lalu saya selalu membayangkan Juru Selamat yang memperbaiki kehancuran saya seluruhnya. Tetapi sekarang, saya kira visual yang lebih tepat adalah Bapa yang menyertai saya di tengah kehancuran, dan membantu memikul beban saya. Mungkin itu sebabnya Mazmur 23 berbicara agak berbeda hari-hari ini: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku” (Mazmur 23:4-5).

Dalam gambaran-gambaran ini, Tuhan tidak menyingkirkan kehadiran si Jahat. Tetapi Dia menyediakan penghiburan dengan kehadiran dan penyertaan-Nya.

Hari lepas hari, saya mendapatkan kesembuhan dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak saya sendiri dan bersungguh-sungguh dengan peran yang saya jalankan dalam hidup mereka ketika mereka bertumbuh. Dari melakukan tugas-tugas sederhana seperti mengerjakan pekerjaan rumahtangga, atau tugas-tugas acara istimewa seperti membuat kue bersama pada hari Sabtu pagi, mendaki jalan setapak, dan membaca bersama pada malam hari, menjadi seorang ayah yang selalu saya dambakan menolong saya untuk kembali hidup secara normal. Pemulihan terjadi melalui permohonan maaf yang saya ungkapkan setelah saya melakukan kesalahan dan ketika saya meyakinkan anak-anak saya, bahwa meskipun kami semua berlayar di samudera yang masing asing, kami akan terus mengarunginya bersama. Selalu.