Bahaya Memiliki Ekspektasi yang Rendah

Kita mungkin berpikir itu murah hati untuk membiarkan orang lain lolos, tetapi hubungan nyata — dan pengampunan sejati — membutuhkan pandangan yang lebih tinggi tentang diri sendiri dan orang lain.

Oleh Kimberly Coyle 

Sambil menunggu dalam antrean untuk perjalanan trem yang panjang dan panas kembali ke mobil kami, saya menghela napas lelah. Kami sudah menghabiskan hari berdiri di antrian yang tak terhitung banyaknya, masuk dan keluar dari dunia mimpi di Magic Kingdom. Kami bertahan menghadapi kerumunan dan iritasi serta panas yang menyengat selagi menyaksikan anak-anak kami mengalami berbagai tahap kelelahan dan kemarahan. Kami tidak sendirian. Setiap kali saya melihat sesama orang tua sedang mengatasi balita yang merengek atau mencoba meredakan gelagat buruk dengan es krim berbentuk Mickey, saya mengangguk penuh pengertian. Di ”tempat yang paling bahagia di bumi, ini” anak-anak kita masih bergumul untuk bahagia.

Mereka bergumul karena ekspektasi mereka adalah ekspektasi yang dibungkus dengan sulap yang dihiasi dengan taburan kerlap-kerlip. Mereka tidak mengharapkan antrean panjang atau anak yang berteriak-teriak menunggu di samping mereka. Mereka tidak mengharapkan ayah mereka untuk memutuskan wahana mana yang mereka kendarai, berdasarkan pada beberapa algoritma yang hanya diketahui olehnya. Mereka juga tidak mengharapkan kentang goreng dingin untuk makan malam atau panasnya Florida menyengat kulit mereka. Mereka berdesak-desakan untuk kursi depan, memperebutkan minuman soda terakhir, dan meleleh di depan mata kita seperti halnya es krim mereka.

Anak-anak saya menjadi korban dari harapan mereka sendiri yang tinggi. Kebijaksanaan dan tahun-tahun kekecewaan telah mengajarkan saya untuk menjaga harapan saya tetap rendah dalam situasi ini. “Lebih baik hidup dengan terkejut daripada kecewa terus-menerus” adalah salah satu motto hidup saya. Para peneliti (dan ibu dimana-mana) mendukung klaim ini. Harapan yang rendah telah disebut sebagai kunci menuju kehidupan yang bahagia, dan saya selalu menganggap hidup saya sebagai suatu bentuk kepuasan. Namun, suami saya malah melihatnya sebagai bentuk pesimisme.

Dia ada benarnya juga. Saya tidak pernah menganggap harapan yang rendah sebagai sifat negatif sampai saya punya teman yang punya kebiasaan “lupa” untuk membalas semua teks dan pesan email saya. Ketika dia menyebutkan bagaimana dia sering bergumul untuk membalas kembali kepada teman-temannya, saya berkata, “Jangan khawatir tentang itu! Saya seorang teman yang tidak berharap banyak. Harapan saya sangat rendah.”Saya berpikir bahwa saya sedang bermurah hati — betapa murah hatinya saya untuk membiarkannya lolos. Kami baru saja mulai menjalin hubungan, dan saya sudah mendorongnya untuk mengabaikan dan mengecewakan saya.

Kebijaksanaan dan tahun-tahun kekecewaan telah mengajarkan saya untuk menjaga harapan saya tetap rendah dalam situasi ini.

Saya mendapatkan pelajaran berarti ini dengan cara yang sulit, setelah banyak pesan saya tidak dibalas dan kesedihan mulai meresap ke dalam interaksi kami, yang memungkinkan orang lain mengabaikan perasaan saya dan kebutuhan saya tidak mengarah kepada kepuasan, melainkan pada rasa frustrasi, sakit hati, dan kemarahan — suatu kelemahan fatal dalam banyak hubungan. Harapan yang rendah mungkin cocok saat kami berada di Disney World, tetapi itu tidak membantu saya memupuk persahabatan yang mendalam. Ekspektasi-ekspektasi yang rendah adalah cara yang halus untuk menghindari konflik, untuk menghindari dorongan dan tarikan dari keinginan, kebutuhan, dan pertanggungjawaban yang saling bertentangan dalam suatu hubungan.

Saya tidak pernah mengatakan kepada suami saya, betapapun dia berharap, “Jangan khawatir tentang itu! Saya pasangan yang santai saja. Saya memiliki harapan yang rendah.” Saat saya bersamanya, saya memakai standar tertinggi, seperti yang dia lakukan terhadap saya. Kami telah bertengkar dan menangis dan menjerit dan melempar dan tidak saling menatap dan tidur dengan kaku karena kami sedang membangun masa depan dan keluarga bersama. Tarik ulur ini, medan ranjau yang penuh emosi dan harapan, memberikankami kesempatan untuk sering berlatih dalam hal mengampuni. Lebih sering daripada yang saya inginkan, sejujurnya.

Harapan yang rendah akan menjadi penghalang yang tidak terlihat antara saya dan mereka yang saya kasihi. Jika mereka tidak menyakiti saya, maka tidak ada kebutuhan untuk konfrontasi yang penuh kasih, tidak ada keinginan untuk lebih lagi, dan tidak perlu untuk lebih mendalam lagi. Tidak ada luka yang membutuhkan pengampunan dari saya, tidak ada luka yang mengharuskan saya untuk juga meminta pengampunan mereka. Rasa takut akan melukai atau terluka inilah yang membuat saya terus menjaga jarak.

Saya mulai melihat rasa takut untuk memberi atau menerima pengampunan ini sebagai penghalang untuk hubungan yang lebih dalam. Ekspektasi yang rendah dapat menuntun pada suatu bentuk kepuasan, tetapi itu adalah kebahagiaan yang kosong — dan yang membuat kita kesepian. Ini tidak berarti saya menahan setiap orang pada standar konyol yang mereka tidak akan pernah dapat capai, melainkan saya cukup menghargai diri saya dan hubungan saya untuk mengijinkan kami saling mengungkapkan kebenaran dan untuk mengalami situasi yang sukar.

Rasa takut akan melukai atau terluka inilah yang membuat saya terus menjaga jarak.

Menjalani kehidupan dengan menghindari konflik adalah bentuk ketidakpedulian. Ketidakpedulian lebih buruk daripada tindakan yang dipicu oleh kemarahan atau kebencian karena, seperti yang dikatakan Elie Wiesel, “Ketidakpedulian tidak memunculkan respons.”Ketika kita memilih untuk bertanggung jawab dan membuat orang lain pun bertanggung jawab dalam suatu hubungan, kita akan belajar bagaimana caranya saling merespon melalui rasa sakit. Kita menerapkan salep pengampunan, dan dengan melakukan hal itu kita terikat dengan pengampunan yang Allah tawarkan kepada kita dengan murah hati melalui Yesus.

Hubungan saya akan sedalam kemampuan saya untuk memaafkan dan menerima pengampunan. Ekspektasi yang rendah dan ketidakpedulian tidak pernah membangun persahabatan yang baik, kasih yang ulet, ataupun pernikahan yang sehat. Kasih membutuhkan hal yang lebih dari kita.