Berbicara Lemah Lembut

(Patricia Raybon)

Jika kita sungguh-sungguh ingin menolong orang lain, kita akan berbicara lebih sedikit, bukan lebih banyak.

Saya duduk di warung kopi dan bercakap-cakap dengan seorang teman yang cantik yang kehilangan pekerjaan. Ia baru saja dipecat. Ia juga sangat sedih, cemas, takut, dan marah. Pesan yang dikirimnya  -berulang-ulang kepada saya, untuk minta bertemu dan bercakap-cakap, menunjukkan dengan jelas bahwa ia percaya saya akan mengucapkan kata-kata yang tepat untuknya.

Dan sungguh, sebelum saya mendengarkan ceritanya, saya langsung bicara—menghujaninya dengan berbagai nasihat bijak saya sendiri:Tetapkan sasaran-sasaran baru. Mulailah berjejaring lagi. Baca buku-buku terbaru tentang berburu pekerjaan. Saya bahkan siap memberinya “peraturan” karier baru yang keren – memandang kehilangan pekerjaannya sebagai kesempatan. “Tak lama lagi, kamu akan senang hal ini terjadi!”

Dalam pikiran saya sendiri, dan tanpa berdoa sungguh-sungguh, saya sudah menetapkan sejumlah “nasihat bijak” untuk disampaikan – dan merasa yakin bahwa teman saya akan menerima setiap perkataan itu. Tetapi apakah kata-kata saya yang tak terhitung itu adalah nasihat yang baik? Atau perkataan yang penuh kasih? Sepenuh kasih seperti perkataan Yesus?

Pertanyaan ini penting sekali. Wajah teman saya menunjukkan hal itu. Tatapan matanya tampak terluka. Ia hancur. Ia memerlukan pertolongan yang tepat. Dan saya merasa cukup dewasa untuk memberikan serangkaian nasihat bijak – mencurahkan kata-kata yang mendukung dan memberkati. Tetapi, jawaban-jawaban cepat meluncur dari bibir saya. (Mulailah berjejaring lagi!). Selama bertahun-tahun, saya pikir ini adalah nasihat yang baik, atau saya anggap “kebenaran Alkitab.”

Padahal, ketika kita sebagai orang percaya berbicara kepada orang yang terluka, hal yang lebih baik adalah, apakah kata-kata kita terdengar seperti perkataan Kristus?

Inilah yang baru-baru ini ditanyakan seorang pembaca majalah In Touch tentang “Peace Be With You” – sebuah artikel tentang mendiang ibu saya, dan kemudian seorang guru muda, yang menghadapi masalah di sekolah dengan nasihat yang disampaikan secara halus. “Gadis agresif” ini pernah mengejar saya sampai ke rumah pada suatu hari sepulang sekolah, melempari saya dengan bola-bola salju, meneriakkan nama saya dan memukul pelipis kanan saya dengan keras.

“Ada apa, sayang? Mengapa kamu seperti ini?”

Ketika saya menatapnya, gadis itu mulai menangis. Kemudian ia minta maaf. Perkataan lemah lembut ibu saya, bahkan mungkin telah mengubah hidup gadis itu. Tetapi mengapa perkataan “lemah lebut” begitu berpengaruh? Dan kata-kata apa tepatnya yang harus diucapkan, terutama dalam situasi-situasi sulit?

Jawaban “lemah lembut” (easy) mungkin pertama-tama ditemukan di kamus. Di sana kita mendapati bahwa kata yang meredakan (ease)— berhubungan erat dan berasal dari akar kata Latin, jacēre, yang artinya “berbaring,” seperti dalam “membaringkan diri atau beristirahat.” Orang percaya yang berbicara lemah lembut bukan saja ekstra bijak atau berbicara dengan hati-hati, tetapi mereka juga orang yang menyerahkan diri. Mereka sudah mendengarkan Allah lebih dulu, membiarkan Roh Kudus memimpin hati dan mulut mereka – karena mereka percaya kepada-Nya. Mereka tahu bahwa beberapa kata yang tepat saja sudah cukup karena pekerjaan menolong orang yang sesungguhnya sudah diselesaikan di bukit Kalvari.

Jadi, “berbicara lemah lembut” bagi orang percaya dimulai dengan mengenal Kristus Tuhan kita. Seperti perkataan nabi Yesaya, “Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN” (Yesaya 11:2).

Tuhan mengetahui beban berat kita. Dan dengan hikmat dan pengertian-Nya, roh nasihat dan keperkasaan-Nya, Dia tidak menambah beban kita  – terutama dengan nasihat atau comelan panjang lebar yang tidak peka. Sebaliknya, kepada orang yang sedang bergumul, Tuhan mungkin mengajukan pertanyaan sederhana yang mengubah hidup seperti, “Maukah engkau sembuh?” (Yohanes 5:1-9).

Betapa berbedanya dengan saya (dan mungkin juga Anda) ketika menghujani teman-teman dan keluarga dengan nasihat yang tak ada habisnya – yang kebanyakan tidak diminta. Bagaimana jika saya lalu ingin mengucapkan perkataan yang melegakan? Perkataan yang baik dan bijak, namun tidak memaksa?

Jadi, pada saat perceraian, perkataan yang lemah lembut hanya bertanya: “Apakah kamu terluka?”

Pada saat sakit serius, perkataan yang lemah lembut hanya bertanya: “Apakah kamu merasa cemas?”

Pada saat menghadapi kecanduan, perkataan yang lemah lembut hanyalah bertanya: “Apakah kamu

takut?”

Sedikit kata yang dipilih dengan bijak memberi lebih banyak peluang kepada Kristus untuk

terlibat dan menyembuhkan. Perkataan yang sedikit juga menunjukkan ketidakberdayaan kita untuk berbicara tepat kepada orang lain, atau menolong mereka, tanpa pertolongan Roh Kudus yang memampukan. Sebagaimana dikatakan Oswald Chambers, “Ketika seseorang datang pada Anda dengan pertanyaan yang membuat Anda merasa kehabisan akal, jangan pernah berkata, ‘Aku sama sekali tidak dapat memahaminya.’ Tentu saja Anda tidak dapat. Bawalah selalu hal yang terlalu sulit itu kepada Allah, bukan kepada orang lain, maka Dia akan memberi Anda kata-kata yang tepat untuk disampaikan.”

Sesungguhnya, perkataan yang dipimpin Roh selalu membuka pintu kesempatan untuk Allah bekerja. Sebagai contoh, Chambers teringat saat ia mengunjungi sebuah keluarga Quaker di Amerika dan “salah satu anak laki-laki mereka melakukan kesalahan, lalu dengan nada selembut mungkin sang ibu berkata, ‘Kamu akan dihukum karena hal itu, sayang’; wajah anak laki-laki itu berubah dan ia dihukum.” Itulah, kata Chambers, “metode paling bijaksana, yang hampir mendekati mustahil.”

Ketika memberi nasihat kepada orang lain, setiap orang percaya dapat memilih pendekatan bijak dan berakal sehat semacam itu. Kita sering berpikir kita harus memukul orang dengan kata-kata yang keras, apalagi jika mereka ketahuan, kepepet, atau kedapatan membuat pilihan buruk. Tentu saja kita perlu menolong teman dan keluarga kita untuk bertumbuh, untuk bersekutu bersama, untuk merasa lebih baik, untuk memiliki kehidupan baru yang lebih baik, untuk mengalami perbaikan – dan pastinya, untuk mengenal Kristus. Sesungguhnya Yesus juga merindukan hal-hal ini terjadi pada mereka. Seperti yang Dia katakan, bukan orang sehat yang memerlukan dokter, tetapi orang sakit (Markus 2:17).

Namun, ketika Dia bertemu dengan orang sakit, Dia tidak menghujani mereka dengan kata-kata. Sebaliknya, Dia hanya bertanya: Siapa yang sudah menyentuh-Ku? Dapatkah kamu melihat sesuatu? Maukah engkau sembuh?

Dan kemudian? Dia mendengarkan. Atau, Dia memberi perintah sederhana. Atau, Dia menyampaikan sebuah cerita. Pembatasan semacam itu, ternyata, paling mengungkapkan kasih Juru Selamat. Dan juga melepaskan kuasa-Nya.

Bahkan Lazarus, orang yang sudah mati itu tidak diberondong dengan seruan yang lama. Tetapi Yesus, setelah mengucap syukur kepada Bapa surgawi yang mendengarkan Dia, hanya berkata dengan suara keras, “Lazarus, keluarlah” (Yohanes 11:43).

Lalu ketika Lazarus berjalan terhuyung-huyung keluar dari kubur, dengan masih terikat dalam kain kafan, Yesus hanya berkata kepada orang-orang yang ada di situ, “Bukalah kain-kain itu, dan biarkan ia pergi” (Yohanes 11:44).

Ada kepercayaan diri yang kuat dalam perkataan yang lemah lembut dan penuh kuasa. Maka, dalam kehidupan saya yang pernah “mati” setelah mengalami perceraian dini dan kacau, saya menemukan arah baru ketika ayah saya mendapati saya sendirian di ruang keluarga, merasa sedih dan kalah. Ia menatap saya dan hanya berkata, “Kamu perlu membuka Alkitab.” Selesai. Dengan perlahan ia lalu berbalik dan pergi bekerja, membiarkan saya membuat pilihan.

Maka saya mengambil Alkitab besar dari tempatnya, di meja kopi orangtua saya, dan membukanya, lalu merasa terkejut karena kata-kata pemulihan untuk saya sudah digarisbawahi dengan pena hitam ayah saya bertahun-tahun sebelumnya.

“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1). Saya melihat masa lalu ayah saya, yang dihubungkan dengan mimpi-mimpi ibu saya yang baik, yang semuanya menyatu dengan masa depan saya, dan digarisbawahi dengan tinta bertahun-tahun lalu oleh tangan ayah saya yang penuh harapan.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Saya melihat tema-tema Paskah gereja ditampilkan, lalu paduan suara anak serta kelas-kelas Sekolah Minggu yang riang ketika guru-guru yang ramah mengajarkan kata-kata tentang Juru Selamat mereka kepada anak-anak seperti saya.

“”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Ayah saya tidak memerlukan kata-kata ekstra. Saya juga. Berkata singkat adalah yang utama, dan kemudian, melepaskan kendali. Atau menyerahkan kembali kekuatan kita yang goyah kepada Allah yang kuat – satu-satunya yang memiliki segala kuasa.

Yesus mengucapkan perkataan ini kepada para murid-Nya setelah Perjamuan Malam Terakhir, untuk menenteramkan, menghibur dan meneguhkan hati mereka karena mereka merasa cemas Dia akan pergi, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku.Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:10). Dan ini merupakan kabar baik yang luar biasa. Sebagai orang percaya yang ditebus dengan darah-Nya, kita juga memiliki Roh Bapa yang tinggal di dalam kita. Dengan demikian, kita juga dapat berbicara kepada orang lain, bukan dari diri kita sendiri, tetapi dengan percaya kepada Allah yang “melakukan pekerjaan-Nya.”

Inilah yang dibutuhkan teman saya yang kehilangan pekerjaan itu dari saya. Sedikit perkataan dan banyak kepercayaan. Bersyukur Roh Kudus menunjukkan caranya kepada saya, dengan mengingatkan saya untuk pertama-tama mengucapkan kata sederhana ini kepada teman saya: “Saya sedih.”

Saya berkata padanya, “Saya sangat sedih hal ini terjadi padamu.” Mendengar simpati saya, ia jadi bisa berbicara. Dan saya bisa mendengar hal yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun selama bertahun-tahun – kerinduannya untuk mengejar kembali mimpi yang terlupakan. Ketika berbicara tentang mimpi itu, wajahnya terangkat. Kami sama-sama jadi bersemangat. Saya memberinya nama-nama yang saya ketahui. Ia mengingat nama-nama yang sudah ia lupakan.

Syukur kepada Tuhan, kami makin bersemangat dan penuh harapan. Wajah muramnya berubah menjadi sukacita. Pertemuan kecil kami di warung kopi itu diakhiri dengan doa syukur yang tulus atas harapan dan kejelasan yang dimunculkan. Bagian saya? Berbicara dengan lemah lembut.Seperti Yesus. Menyampaikan kata-kata yang penuh kasih—dansingkat.

Sesingkat apa?

Sesingkat permintaan Yesus yang penuh kuasa kepada perempuan Samaria di tepi sumur: “Berilah Aku minum” (Yohanes 4:7).

Sesingkat nasihat Mordekhai yang penuh kuasa kepada Ratu Ester: “Untuk saat seperti ini” (Ester 4:14).

Sesingkat kata-kata nabi Natan kepada Raja Daud: “Engkaulah orang itu!” (2 Samuel 12:7).

Semua perkataan ini singkat. Tetapi memberi ruang kepada Tuhan. Maka Dia akan berbicara kepada

hati yang kacau. Dapatkah kita percaya bahwa Dia bersedia? Dan ketika kita melakukannya, kita memberi kesempatan kepada-Nya untuk melakukan yang tak dapat kita lakukan. Dia menyembuhkan kita semua. Sederhana. Penuh kasih. Lemah lembut.