Cukup Sudah

(Jamie A. Hughes)

Pelajaran dari Elia dan seorang janda tentang menemukan kepuasan sejati

Ketika pelayan mengantarkan kue tar lemon pesanan saya, pikiran saya awalnya adalah, Wah, sepertinya akan mengecewakan. Kue itu kecil – tidak lebih dari empat gigitan – dengan sedikit buah stoberi dan sejumput krem buatan sendiri. Tetapi ketika saya memasukkan gigitan pertama ke mulut saya, pendapat itu berubah drastis. Lapisan kulit biskuit yang renyah terasa gurih dengan kegaringan sempurna untuk isinya yang lembut, yang merupakan campuran yang seimbang dari rasa asam dan manis. Tidak seperti makanan penutup perjamuan yang dibuat secara masal dan kadang tidak memuaskan, tar kecil ini benar-benar berbeda. Saya menikmati setiap gigitan, menikmati rasa dan teksturnya yang menyatu, dan ketika gigitan terakhir sudah tertelan, saya duduk dengan puas dan benar-benar kenyang.

Dalam hal makanan, nabi Elia adalah orang yang memahami betul konsep kekurangan sebagai kelebihan – meskipun makanannya jauh lebih dari sederhana. Setelah ia menyampaikan kepada raja Ahab bahwa tidak akan ada embun atau hujan di Israel kecuali jika ia mengatakannya, Allah menyuruhnya pergi ke sungai Kerit yang terletak di sebelah timur sungai Yordan (1 Raja-raja 17:1-3). Dan di tempat keramat dan terpencil ini, ia menunggu waktu Tuhan untuk menyampaikan kebaikan dari janji itu. Sementara berada di sana, ia minum dari air sungai itu dan burung-burung gagak – yang dianggap najis oleh orang Yahudi karena pemakan bangkai –  membawakannya “roti dan daging pada waktu pagi dan petang” (1 Raja-raja 17:6).

Makanan Elia bukan makanan pesta besar yang diturunkan sekaligus dari langit. Makanan itu datang, sedikit demi sedikit, melalui paruh burung-burung gagak itu. Meskipun termasuk dalam kelompok unggas besar, burung gagak hanya bisa terbang dengan ketinggian sekitar 60 cm. Diperlukan beberapa ekor burung untuk membawakan makanan yang cukup untuk Elia makan dua kali sehari. Porsi makanan nabi itu mungkin kecil, tetapi cukup untuk memeliharanya sampai sungai itu menjadi kering dan ia pindah ke tempat lain.

Setelah itu Elia lalu pergi ke Sarfat, kota orang non-Yahudi di daerah Sidon (yang sekarang dikenal sebagai Libanon). Di sana ia bertemu dengan “jenis burung kecil hitam” yang lain—seorang janda yang sedang mencari kayu api untuk memasak—dan memintanya untuk menyediakan makanan dan minuman. Kesan pertama, permintaan ini mungkin tidak luar biasa, tetapi mari kita renungkan situasinya. Tidak ada banyak air di negeri itu sejak kekeringan dimulai, dan janda miskin itu hanya memiliki cukup tepung dan minyak untuk membuat makanan terakhir bagi dirinya dan anaknya,dan “setelah mereka memakannya, maka mereka akan mati” (1 Raja-raja 17:12). Wanita ini sudah tinggal memiliki ampas-ampas makanan saja, tetapi hal itu tidak mengubah permintaan Elia. “Jangan takut,” kata Elia kepadanya, “Pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu” (1 Raja-raja 17:13). Yang mengherankan, ia berbuat tepat tepat seperti itu. Orang non-Yahudi ini memberikan porsi makanannya kepada nabi itu karena janji Allahnya: “Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi” (1 Raja-raja 17:14).

Kita tidak tahu berapa lama Elia tinggal bersama janda ini, meskipun kita tahu bahwa kekeringan yang dinubuatkan nabi ini berlangsung selama tiga setengah tahun. Dan selama waktu itu, meskipun tidak ada hujan dan dalam kemiskinan, tidak ada yang kelaparan di dalam rumah itu. Tepung dalam tempayan, sesuaiyang dijanjikan, tidak pernah habis. Dan selalu ada cukup minyak dalam buli-buli. Firman Allah tidak menyebutkan buli-buli itu dipenuhi sampai meluap; ini bukan berkat yang “dipadatkan, digoncang dan tumpah ke luar” (Lukas 6:38). Tetapi, seperti makanan Elia pada saat di padang gurun, berkat ini tersedia cukupdari hari ke hari. Setiap pagi dan petang, janda itu masuk ke dapurnya dan mendapati, lagi-lagi, bahwa Allah Elia adalah Yahweh Yireh— Tuhan yang menyediakan. Melalui makanan demi makanan itu, ia juga menerima butir-butir kebenaran.

Daud di Mazmur 37:18-19 berkata, “TUHAN mengetahui hari-hari orang yang saleh, dan milik pusaka mereka akan tetap selama-lamanya; mereka tidak akan mendapat malu pada waktu kecelakaan, dan mereka akan menjadi kenyang pada hari-hari kelaparan.” Beberapa versi Alkitab yang lain menerjemahkan kata kenyangdi sini dengan kata yang berbeda-beda. Alkitab versi NIV (New International Version), mengatakan umat Allah akan “enjoy plenty” (menikmati banyak). Versi ESV (The English Standard Version) mengatakan kita akan “have abundance” (mendapat kelimpahan), dan versi NKJV (New King James Version) menjanjikan orang saleh “shall be satisfied” (akan dipuaskan). Dari ketiga versi terjemahan ini yang paling mendekati teks Ibrani aslinya adalah yang terakhir. Kata yang dipakai Daud di ayat ini adalah yiśbā’ū—dari kata saba, yang artinya “dikenyangkan atau dipuaskan.”

Kata puas/kenyang mengandung konotasi yang agak berbeda dari kata-kata yang dipakai lainnya. Kata ini berbicara tentang kepuasan, penyelesaian, dan kepenuhan dalam arti yang tidak berkaitan dengan kuantitas atau besaran jumlah. Orang yang puas tidak membutuhkan apa-apa lagi. Itulah sebabnya empat gigitan kue lemon sempurna yang saya nikmati lebih memuaskan daripada sepiring besar permen – dan itu sebabnya Elia dan janda itu tidak pernah sekali pun merasa ditinggalkan.

Yesus datang agar kita “mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10), tetapi yang lebih seringnya, kelimpahan itu tidak seperti yang didefinisikan dunia. Entah didorong oleh kerakusan atau ketakutan, banyak orang dengan serakah meraih seks, kekuasaan, kekayaan, cinta – apa saja yang mereka percaya akan melindungi mereka dari kekurangan. Seperti keluarga dalam  cerpen D. H. Lawrence yang berjudul “The Rocking-Horse Winner,” mereka dihantui dengan kata-kata yang tidak terucapkan ini: “Harus ada lebih banyak uang! Harus ada lebih banyak uang!” Mereka makan dan tak pernah kenyang. Mereka tak pernah merasa cukup. Tetapi kita yang mengikut Kristus mengenal kepuasan sejati itu, kepenuhan yang datang bersama keselamatan kita. Kita tahu ada sesuatu yang jauh melebihi kepenuhan tiada tara yang bisa kita nikmati dalam kehidupan ini. Inilah pelajaran terakhir yang harus dipelajari janda Sarfat itu.

Sebelum Elia pergi, sebuah tragedi terjadi. Anak janda itu, pelipur laranya dalam penderitaan, tiba-tiba meninggal dunia. Menghadapi kehilangan besar ini, ia sejenak terlupa pada pelajaran-pelajaran yang sudah diterimanya dari mukjizat pemeliharaan Allah setiap hari. “Apakah maksudmu datang ke mari, ya abdi Allah?” teriaknya, “Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?” (1 Raja-raja 17:18). Ia belum mengenal kuasa Tuhan yang sesungguhnya—Roti Hidup yang berkata, “Ujilah Aku” dan mencurahkan berkat sampai berkelimpahan, dan yang memegang segala kunci maut dan kerajaan maut (Maleakhi 3:10; Wahyu 1:18).

Namun ketika anaknya keluar dari kamar dan hidup kembali di tangan nabi itu, ia tahu. Ia mengerti. Allah Elia ternyata lebih berkuasa dari yang selama ini ia pahami, Pemelihara yang tidak sekadar menyediakan tepung dan minyak. DialahSang maha mencukupi, yang lebih dari cukup. Menghadapi mukjizat seperti itu, ia hanya dapat memandang Elia dan berkata, “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar” (1 Raja-raja 17:24). Dan dengan pengakuan iman ini, perkataan “Setelah kami memakannya, maka kami akan mati” menjadi “Ambillah, makanlah, dan hiduplah.”