Diciptakan Untuk Mencipta

Manusia lahir dengan kehausan untuk mengalami dan menciptakan keindahan. Dan kita melayani Allah yang menghendaki kita mendapat pemenuhan dari kedua-duanya.

diciptakan-untuk-menciptaAnak-anak memiliki imajinasi yang luar biasa. Bagi mereka, kardus dan barang bekas bisa diubah menjadi pesawat ruang angkasa dan hewan langka, dan dunia merupakan tempat segala kemungkinan dan kegembiraan yang aman. C.S. Lewis mengungkapkan hal ini dengan tepat dalam The Chronicles of Narnia, ketika sebuah lemari bukan menjadi sekadar perabot rumah yang pengap, dan sebuah lukisan bukan cuma sebagai penghias dinding, tetapi merupakan pintu gerbang untuk ke dunia lain.

Imajinasi adalah sesuatu yang memungkinkan kita melihat “apa yang dapat dijadikan” di tengah “apa yang ada” dan hal itu merangsang semua daya kreatif. Anak-anak melakukannya lewat cara bermain dan terbuka; mereka benar-benar tidak dapat menahan diri mereka. Dan meskipun kita sudah dewasa, bakat ini tetap ada. Kita melihatnya dengan jelas pada para penulis, pelukis, pemusik, pembuat film, tim kreatif dan desainer interior. Dan kita menemukannya dalam aktivitas sehari-hari seperti saat menghias kue atau menata taplak meja yang cantik. Manusia tidak cuma butuh hidup di dunia yang fungsional. Kita juga perlu membuat dunia ini menjadi indah dan menggairahkan. Dan kreativitas adalah sentuhan yang dapat membuat semua itu terjadi.

Ditugaskan untuk Mencipta

Dunia tidak terdiri dari seniman dan orang pedalaman yang tanpa bakat, dan kreativitas bukanlah milik beberapa orang istimewa saja. Setiap manusia memiliki dasar itu. Orang yang berpikir, “Aku tidak kreatif” akan membuktikan pernyataan ini tidak benar setiap kali mereka membuat kue, merawat taman bunga atau merancang sebuah pesta. Menjadi manusia berarti menjadi kreatif, dan untuk mengetahui alasannya, kita perlu memperhatikan tidak jauh-jauh dari Kejadian 1 dan 2.

Ketika Tuhan menciptakan manusia di Kejadian 1, Dia menjadikan kita menurut gambar-Nya (Kejadian 1:26). Perkataan ini – betapa pun menariknya – tidak memiliki banyak penjelasan di Alkitab, tetapi konteks ayat itu menunjukkan beberapa hal. Manusia, laki-laki dan perempuan, diberi tanggung jawab untuk “beranakcucu dan bertambah banyak” dan “memenuhi bumi dan menaklukkannya” (Kejadian 1:28). Perkataan ini pada dasarnya adalah suatu penugasan untuk melanjutkan sejarah penciptaan. Allah memulai pekerjaan-Nya dengan bumi yang kosong dan tidak berbentuk, lalu Dia menciptakan dan memisahkan langit dari bumi, lautan dan daratan, flora dan fauna. Manusia ditempatkan di tengah segala penciptaan itu dan dipanggil untuk melanjutkannya – menciptakan lebih banyak kehidupan melalui kelahiran, dan membuat lebih banyak keteraturan dengan memberi namanama dan memerintah dunia.

Sebagai gambar dari Sang Pencipta, kita telah diberi karunia kreativitas, yang memampukan kita untuk mengadakan keteraturan dari ketidakteraturan, untuk membayangkan dan menjadikan, dan untuk mengelola bumi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih baik dari ketika kita menemukannyal Jika dalam seluruh kisah penciptaan ia ditulis dengan huruf besar, dalam penciptaan Adam di Kejadian 2 ia ditulis dengan huruf kecil.

Di Kejadian 1, Allah bekerja dari nihil (tidak ada apa-apa). Dia berfirman maka ciptaan-Nya pun jadi. Tetapi di Kejadian 2, cara kerja-Nya berubah. Di sini Bapa memulai dengan sesuatu yang sudah diciptakan – debu tanah. Dia membentuk dan membuatnya, memberi nafas hidup ke dalamnya dan menjadikannya sesuatu yang baru: manusia. Hawa diciptakan dengan cara yang hampir sama, hanya ia tidak dibuat dari debu tanah, tetapi dari tulang rusuk Adam. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa Allah memilih cara seperti ini untuk menjadikan manusia. Mengapa Dia tidak langsung saja berfirman, “Jadilah laki-laki dan perempuan,” maka mereka pun jadi? Mengapa Dia memakai ciptaan lainnya untuk menjadikan kita manusia?

Jawaban pertanyaan ini mengungkapkan sesuatu tentang Allah. Dia senang menangani segala sesuatu dan membuatnya jadi istimewa. Debu tanah itu baik, manusia itu lebih baik. Kita juga bisa melihat betapa Tuhan senang bercerita melalui ciptaan-Nya – bagaimana pohon menjadi besar melalui lingkaran-lingkaran yang terpusat, sungai mengukir jalan melalui batu-batu, tumbuhan dan lumut memanfaatkan bagian yang terbuang. Dunia menyingkapkan Allah yang menyukai berbagai kemungkinan dari suatu ciptaan, dan kesadaran bahwa kemungkinan itu adalah karunia yang Dia berikan pada kita. Kita selalu akanberjalan mengikuti langkah-Nya, mengerjakan ciptaan seperti yang telah Dia kerjakan pada kita – mengerjakannya, membayangkannya lagi, membentuknya lagi, dan menjadikannya sesuatu yang baru. Kita adalah gambaran Sang Pencipta, yang mencerminkan citra-Nya ketika kita dengan sukacita mengerjakan yang ditugaskan pada kita, pekerjaan yang sudah ditetapkan untuk kita sejak mulanya.

Namun ada yang lebih dari tindakan mencipta. Bayangkan sebuah lukisan. Sebuah kerangka kayu dengan kain kanvas terentang. Dan permukaan kosong yang dilumuri minyak dan cat warna-warni.
Ketika melihatnya, Anda tidak akan berkata, “Sungguh campuran yang menarik dari minyak, zat pewarna, kain dan kayu.” Tetapi Anda akan berkata, “Sungguh suatu pemandangan yang indah” atau “Inilah Starry Night (Malam Berbintang) karya Van Gogh” atau, seperti yang terjadi pada saya ketika saya berada di musium, Anda tidak berkata-kata sama sekali karena lukisan itu telah membuat Anda tak bisa berkata apa-apa lagi. Bakat kreativitas menyatakan dirinya melalui tindakan mencipta maupun menikmati suatu benda seni yang diciptakan. Itulah sebabnya kita kadang berdiri menahan napas di depan sebuah karya seni, atau dibuat terpana oleh suatu pesta yang meriah. “Bahan” yang menjadikan benda seni itu (kayu dan kanvas, atau ikan dan kentang) telah diubah dan menjadi sesuatu yang baru.
Dengan menerima dan menikmatinya, kita mengambil bagian dalam penciptaan-baru diri kita. Dan ini hanya bisa terjadi karena kita adalah gambar-Nya.

Kreativitas dan Kejatuhan

Kisah Alkitab tentu saja tidak berakhir di Kejadian 2. Di dunia pasca-kejatuhan, kreativitas terus berlanjut sementara kita mencari makna dan penebusan. Kita semua memiliki rasa kehancuran, namun selain oleh penyataan-diri Allah, kita tidak dapat menjawab persoalan kita sendiri. Kita tidak dapat menemukan Allah kalau bukan Allah yang menemukan kita. Ini tentu saja tidak berarti kita tidak boleh berusaha, tetapi kita harus hati-hati karena usaha-usaha mendapatkan penebusan ini juga bisa menimbulkan berhala.

Mungkin dalam hal ini di Alkitab tidak ada yang sejelas kisah Yesaya tentang tukang kayu yang bodoh ini:
“Ia menebang pohon-pohon aras atau ia memilih pohon saru atau pohon tarbantin, lalu membiarkannya tumbuh menjadi besar di antara pohon-pohon di hutan, atau ia menanam pohon salam, lalu hujan membuatnya besar. Dan kayunya menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagipula ia menyalakannya untuk membakar roti. Tetapi juga ia membuatnya menjadi allah lalu menyembah kepadanya; ia mengerjakannya menjadi patung lalu sujud kepadanya.
Setengahnya dibakarnya dalam api dan di atasnya dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang
dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri sambil berkata: “Ha, aku sudah menjadi panas, aku
telah merasakan kepanasan api.” Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi allah, menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya, katanya: “Tolonglah aku, sebab engkaulah allahku!” (Yesaya 44:14-17).

Tukang kayu ini jelas kreatif. Ia melihat pohon dan membayangkan bahan bakar untuk memasak makanannya dan juga kemungkinan akan sebuah patung. Ia memakai karunia kreativitas dari Allah untuk membuat pohon itu menjadi sesuatu yang ”baru” tetapi produk ciptaan-baru itu beracun. Itulah pengharapan yang palsu. Yesaya menunjukkan sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas:

“Orang seperti itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat, dan hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang mempertimbangkannya, tidak ada cukup pengetahuan atau pengertian untuk mengatakan: “Setengahnya sudah kubakar dalam api dan di atas baranya juga sudah kubakar roti, sudah kupanggang daging, lalu kumakan. Masakan sisanya akan kubuat menjadi dewa kekejian?
Masakan aku akan menyembah kepada kayu kering?” Orang yang sibuk dengan abu belaka, disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan jiwanya atau mengatakan: “Bukankah dusta yang menjadi peganganku?” (Yesaya 44:18-20).

Dari perspektif penyataan-diri Allah, penyembahan berhala sangatlah bodoh. Bagaimana mungkin ia tidak melihat bahwa benda yang disembahnya hanyalah kayu kering yang bisu? Tetapi bagi orang ini, yang tidak terhubung dengan Tuhan, yang merindukan makna dan penebusan, kayu itulah satu-satunya harapan yang dapat ia lihat. Ada beberapa variasi tentang hal ini di Roma 1:25, ketika Paulus menyatakan betapa manusia yang sudah jatuh dalam dosa “menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk (ciptaan) dengan melupakan Penciptanya.” Godaan ini masih ada pada setiap kita sampai saat ini. Kita tidak pernah mengatasi penyembahan berhala. Kita mungkin tidak menciptakan patung, tetapi kita dapat tergoda untuk menciptakan sesuatu yang kita pikir bisa menyelamatkan kita. Misalnya dengan bisnis yang kita bangun, reputasi atau pencitraan yang kita coba pertahankan, atau kesuksesan anak-anak atau pasangan kita.

Bagi banyak orang, bakat kreatif itu sendiri bisa menjadi berhala. Apa pun pekerjaan kita, kita bisa mendapati hidup mati kita secara emosional ditentukan oleh pujian dan penghargaan yang kita terima.
Padahal Injil menunjukkan bahwa Allah menerima kita karena pengorbanan Anak-Nya, bukan berdasarkan apa pun yang kita capai. Bakat kreativitas dimaksudkan untuk menjadi tindakan penyembahan, bukan tolok ukur untuk mengetahui seberapa besar kita berharga atau berkenan kepada Allah.

Masa Depan Kreativitas

Bersyukurlah, Allah tidak membiarkan dunia membusuk dalam penyembahan berhala. Dia datang kembali ke bumi ini dan kepada pekerjaan yang telah dimulai-Nya. Ada siklus kebenaran di sini: Di Kejadian 2, manusia berdosa yang ditetapkan untuk kembali kepada debu, diangkat melalui rencana penebusan Allah, dan dikembalikan kepada hidup.

Paulus menggambarkan gereja sebagai “buatan Allah, yang diciptalan dalam Kristus untuk melakukan pekerjaan baik” (Efesus 2:10). Kata “buatan” sebenarnya adalah poiema, kata yang dalam bahasa Inggris “poem” (puisi)bukan saja menunjukkan suatu “karya” – tetapi ”karya yang indah.” Tujuan manusia ditebus bukan saja untuk dipulihkan, tetapi juga untuk dijadikan lebih indah dan lebih menyenangkan dari sebelumnya.

Penciptaan baru ini tidak hanya untuk manusia; di dalam Kristus, Allah akhirnya akan menjadikan segala sesuatu baru. Dengan perspektif ini, kita bisa memahami betapa karya kreatif kita menantikan pengharapan besar ini. Kerinduan untuk membuat dunia menjadi lebih baik, memulihkan segala yang usang dan rusak, menceritakan kisah-kisah yang berakhir bahagia, menghasilkan karya seni dan musik yang menyentuh hati banyak orang dengan kehangatan dan keindahan – ini hanyalah beberapa saja dari cara kita menantikan dan mengungkapkan kerinduan kita akan penebusan. Kita rindu melihat segala sesuatu menjadi baru, dan kita dapat berusaha mencapai tujuan-tujuan itu dengan cara-cara yang telah kita lakukan sebelumnya ketika kita mencipta dan bekerja di dunia.

Kreativitas adalah karunia yang indah dari Allah yang baik. Dia membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, dan ketika kita menjalani hari-hari kita, membuat dan menemukan karya anak-anak Allah yang inspirasional, kita memiliki kesempatan besar untuk menyaksikan dan menunjukkan bagaimana karunia ini mengubah dunia kita. Kita melihat kehebatan Allah tercermin dalam kehebatan para gambar-Nya yang menulis kisah-kisah, memainkan musik, memasak makanan pesta dan menghiasi dunia kita. Kita melihat kebaikan hati Allah dalam berbagai imajinasi menakjubkan yang sudah terwujud ini.

Allah mengambil debu dari dunia ini dan memberinya kehidupan – dari Taman Eden, ke suatu makam di Yerusalem, sampai pada suatu hari ketika Dia berkata, “Lihat, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Wahyu 21:5). Dan inilah karya kreatif terbesar itu: tindakan membalikkan kematian yang membuat dunia kita menjadi jauh lebih indah dari yang dapat kita harapkan atau impikan.