Ditopang Dengan Doa

ditopang-dengan-doaKatakan, apa yang kausukai?” Pendeta yang mengajar saya tentang doa akan mengajukan pertanyaan ini setiap kali ia menolong orang belajar berdoa. Ia percaya pertanyaan itu sangat penting karena doa menurutnya bukanlah suatu pekerjaan ringan yang tak ada hubungannya dengan pertumbuhan hidup kita. 

Jika seseorang suka berkebun, atau berlari, memotret, atau membuat masakan di dapur, hal ini akan menyatakan sesuatu tentang caranya berhubungan atau berbicara dengan Tuhan. Momen-momen yang biasa ini akan menjadi kesempatan khusus untuk setiap kita dapat mengalami kehadiran Tuhan yang paling nyata, karena Dia mengenal kita dan menjumpai kita di kedalaman jiwa kita yang halus.

Visi doa ini menghancurkan segala dikotomi yang keliru antara diri kita dan Allah, dan hidup kita. Kedatangan Anak Allah setidaknya mengajarkan kepada kita, bahwa tubuh dan segala detail keberadaan kita yang paling manusiawi (makan, tidur, bekerja, tertawa, menangis, berdoa) tidaklah bertentangan dengan pengalaman kita bersama Tuhan. Dengan kata lain, doa menarik kita lebih dalam kepada kasih Tuhan dan seni hidup (dua hal yang tak pernah dapat dipisahkan). Atau, seperti dikatakan Franciscus dari Assisi, “Hasil doa adalah kehidupan.”     Kita sering tergoda untuk memandang doa sebagai hal yang harus segera kita selesaikan agar kita dapat melanjutkan urusan kita yang sebenarnya. Mungkin kita berpikir doa itu laksana bahan bakar untuk menjalankan yang perlu kita capai, atau sebagai kewajiban rohani yang harus dipenuhi agar kita memperoleh berkat. Padahal, jika doa menjadi dasar kehidupan kita yang sebenarnya, sikap kita terhadap doa akan melampaui semua visi yang kecil-kecil ini.  

Faktanya, doa membentuk kita menjadi orang-orang yang diteguhkan kuasa Roh Kudus, yang sedang belajar bagaimana caranya hidup dan mengasihi dengan bebas. Doa membentuk kita sebagai anak-anak Allah; menolong kita mengatasi kebohongan besar bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita; dan mengajar kita untuk melepaskan segala kecemasan kita, karena Dia yang sudah mengalahkan maut berkata agar kita jangan takut.     

Doa mengajar kita bahwa meskipun kita mungkin kelaparan, kita dapat mempercayai Bapa untuk memberi kita makanan setiap hari. Hal ini membuat kita percaya dengan segenap hati bahwa meskipun si jahat mengancam akan menghancurkan kita, kerajaan Allah akan datang di bumi seperti di surga. Doa lagi-lagi, dan selalu, mengembalikan kita kepada yang digambarkan rasul Yohanes sebagai “hidup yang berkelimpahan” (Yohanes 10:10). Dengan kata lain, doa menopang kita dengan yang paling kita butuhkan untuk hidup berkelimpahan: Allah.       Karena doa terjadi ketika kita tenggelam dalam realita kehidupan, tidak ada rumusan tertentu yang harus diikuti. Gereja di sepanjang sejarah memberi kesaksian tentang orang-orang percaya yang berkomunikasi dengan Tuhan dalam berbagai cara. Hal ini jelas saya alami dalam kehidupan saya sendiri. Ada saatnya doa-doa saya begitu teratur dan teduh, namun ada pula saatnya ketika doa-doa itu sangat spontan dan bersemangat. Bahkan ada kalanya ketika satu-satunya kata-kata doa yang keluar hanyalah, “Tuhan, kasihanilah…”

Pengalaman nabi Elia menjadi petunjuk yang bermanfaat di sini, karena doanya yang berubah-ubah secara dramatis. Yang tidak berubah adalah bahwa ia terus-menerus menghadapi fakta, bahwa hidupnya bergantung pada Tuhan. Jika Allah tidak bertindak baginya dan menopangnya, ia tentu sudah hancur.    

Ketika Elia menghadapi nabi-nabi Baal di puncak gunung Karmel, ia menghadapi perjuangan yang berat (I Raja-raja 18:20-40). Satu nabi Yahweh menghadapi 450 nabi Baal. Masing-masing menyiapkan korban bakaran di mezbah persembahan. Masing-masing berdoa. Persembahan siapa yang habis dimakan api akan menunjukkan siapa yang telah melayani Allah yang benar. Nabi-nabi Baal lebih dulu berdoa dengan berjingkat-jingkat mengelilingi mezbah, menoreh-noreh tubuh mereka dengan pedang dan tombak, dan menampilkan seni menyembah tradisi mereka. Waktu terus berlalu, tetapi tidak ada api yang membakar persembahan mereka. Ketika Elia melakukan gilirannya (setelah menyiram korban persembahannya dengan 12 tempayan air), ia menaikkan doa singkat dan sederhana, dan meminta Tuhan turun tangan. Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya (I Raja-raja 18:38).  

Pada saat itu, Elia menunjukkan keyakinan penuh kepada Allah. Tetapi hanya beberapa waktu kemudian, Elia yang pemurung tenggelam dalam keputusasaan. Sebetulnya, pikir kita, jika Anda pernah melihat api turun dari langit, iman Anda pasti takkan pernah goyah lagi. Namun, tak lama setelah peristiwa di gunung Karmel itu, Elia menerima pesan dari Ratu Izebel bahwa ia akan dibunuh. Kali ini, Elia menjadi takut dan kehilangan semangatnya (19:3). Ia duduk di bawah sebuah pohon dan meminta Tuhan mencabut nyawanya. Tetapi malaikat Tuhan lalu menemuinya, memberinya makan dan membuatnya mampu berjalan sampai ke gunung Horeb.    

Horeb (atau Sinai, yang juga dikenal sebagai Gunung Allah) memiliki makna yang sangat penting bagi bangsa Israel. Di gunung ini Musa berjumpa dengan Tuhan melalui belukar yang menyala, dan kemudian menerima Sepuluh Hukum Tuhan. Bagi orang Israel, Horeb merupakan fakta bahwa Allah selalu hadir dan rindu mengasihi umat-Nya. Lewat belukar yang menyala, Allah mencari Musa yang bersembunyi di padang gurun. Dan di dalam gua itu, Allah mencari Elia, yang merasa hidupnya sudah berakhir. Melalui doa, memang benar jika dikatakan kita mencari Tuhan, tetapi yang lebih benar sesungguhnya adalah: Tuhanlah yang datang mencari kita.  

Dalam keadaan kecewa dan lelah, Elia berdoa dari gua itu. Sesungguhnya, perkataannya lebih merupakan keluhan seorang yang kelelahan: “Hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku" (ayat 10). Doa ternyata tidak selalu harus bersemangat dan penuh iman. Bahkan tidak harus selalu benar (Elia jelas bukan satu-satunya umat setia yang masih tinggal). Doa Elia (seperti juga mazmur tertentu) mengajarkan kepada kita bahwa, jika kita bisa bersikap jujur di hadapan Tuhan, setidaknya pada saat itu, itu saja sudah cukup.    

Seorang pendeta yang bijak pernah memberi saya nasihat yang membebaskan ini: “Berdoalah yang Anda bisa, bukan yang Anda tidak bisa.” Dan ketika tenaga rohani kita berkurang, Dialah yang mencari kita dan membuat kita mampu melangkah lagi.

-Winn Collier