Hal Yang Kekanak-Kanakan

(C. Lawrence)

Kedewasaan dalam Kristus dicapai dengan menyerahkan diri, bukan memerangi orang lain.

Itu adalah dunia di dalam dunia, dunia yang kami hidupi sebagai anak laki-laki. Jumlah kami ada tujuh orang, dan kelompok ini punya kebiasaan aneh – menyerang satu anggota sebagai kambing hitam secara temporer dan tanpa tujuan, yang biasanya dipicu oleh satu anak tertentu. Saya pernah menerima pukulan berat, tetapi Adam berada di pihak yang lebih sering menerima.

Ia setahun lebih tua dari saya—lebih tinggi, lebih kuat, lebih dewasa dari yang seharusnya. Ia tinggal bersama ayahnya, seorang pria kasar yang bekerja dengan tangannya. Kadang kami mendapat kesan ia juga menerapkan tangannya di tubuh anaknya, meski tak ada yang tahu pasti. Adam hidup dengan semacam kemarahan yang meluap-luap — amarah yang hampir tak bisa diwadahi dalam bentuk-bentuk ketenangan luar orang pinggir kota yang bisa diterima. Kami sering melihat amarah itu menerobos keluar, kadang setelah ada pemicunya, dan kadang tidak.

Saya masih ingat pada hari ketika ia menantang saya. Kami sekelompok sedang duduk di ruang makan ketika ia melangkah masuk. Ia berhenti tepat di depan kasir dengan nampan penuh makanan dan menjulurkan lehernya untuk melihat sekeliling. Ia melihat kami dan berjalan ke arah meja kami yang sudah penuh.

“Apa kamu sudah selesai?” ia berkata pada saya. Saya masih duduk dengan piring kosong, menikmati kebersamaan.

“Belum.” Saya tidak bermaksud untuk melucu, tetapi dua orang yang duduk di situ tertawa.

“Berdiri.” Bibirnya menegang, dan rahangnya gemeretak.

Saya tidak suka diperintah-perintah. Jawaban saya dengan tegas tetap “tidak.”

“Berdiri!”

Ketika saya lagi-lagi menolak, ia menggumamkan sesuatu dan beringsut dengan marah ke meja lain. Nampan plastiknya membentur permukaan kayu dengan keras, dan ia duduk di sana tanpa makan apa pun.

Ketika kami ke luar, saya sudah melupakan pertengkaran itu, tetapi ia tidak. Adam keluar dari pintu-pintu dan ketika saya lengah, ia melayangkan kedua tangannya ke perut saya. Saya terhuyung-huyung ke belakang dan terjerembab di trotoar.

“Berdiri! Lawan aku!” katanya.

Mengenang kembali saat itu, pada masa kehidupan itu, saya teringat pada asumsi kekerasan dalam pemahaman kami yang kekanak-kanakan tentang dunia – budaya berkelahi yang esensial dan tak dapat dihindari. Saya berdiri dan berhadapan dengan Adam. Wajah dan lehernya memerah

“Tidak,” saya berkata sambil melangkah pergi. Seperti anak laki-laki pada umumnya, saya mengagumi keterampilan berkelahi yang kuat dan terlatih. Saya mengagumi disiplin, ketepatan dan kelincahan gerakan. Tetapi berkelahi dengan seseorang? Itu bukan diri saya. Dan meskipun ia orang yang mudah marah, saya menganggap Adam sebagai teman.

Jika ditinjau ulang, saya seharusnya rela memberikan tempat duduk saya. Saat mengenang kembali saat itu, saya seperti melihat seorang anak laki-laki kelas delapan yang kesepian berdiri di depan saya – ibunya tidak ada, ayahnya hampir tidak ada dan sering mabuk ketika ada. Saat itu tidak terpikirkan, tetapi sekarang saya sadar: keengganan saya untuk memberikan tempat meneguhkan sesuatu yang sudah lama sekali ia rasakan – bahwa ia tidak diinginkan.

Sebagai orang dewasa, kita suka berpikir bahwa kita sudah melewati masa remaja yang mementingkan diri sendiri – bahwa kita sudah cukup belajar, sudah cukup terpukul oleh kehidupan, untuk mendapati diri kita mampu untuk lebih berempati. Namun dari pengalaman hidup saya sendiri menunjukkan bahwa yang sering terjadi tidak begitu. Perkataan dan tindakan pria dan wanita yang saya kenal menunjukkan mereka juga masih membutuhkan pemulihan.

Kegelisahan Adam di ruang makan saat itu adalah hal yang saya rasakan dan kadang masih saya alami juga. Ketakutan saya tentang akan ditinggalkan, tak punya teman, adalah hal sesungguhnya yang membuat saya tidak dapat memikirkan dan memenuhi kebutuhannya. Namun inilah jenis visi pengosongan diri yang ada di pusat tindakan orang Kristen: kesediaan menjalani kelemahan dan pengorbanan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Kristus sendiri, entah dalam skala yang sangat besar maupun setaraf meja makan siang sehari-hari yang biasa.

Ketika bel berbunyi, yang menandakan waktu makan siang sudah usai, saya berjalan menuju kelas berikutnya – kelas yang juga ada Adam. Dan ketika saya berbelok ke sudut, ia sudah ada di sana, menunggu. Saya mau menghindar. Tetapi yang membuat saya ragu, ia menunduk dan kemudian memandang saya dengan wajah menyesal.

“Maafkan aku,” katanya.

Saya juga berkata meminta maaf padanya.

“Ayo kita masuk,” katanya.

Kami lalu duduk sementara guru mulai mengajar, dan saya merasa sesuatu yang signifikan telah terjadi, meskipun saya tidak tahu itu apa. Sekarang saya tahu bahwa kami sudah beralih dari konflik kepada substansi persahabatan, substansi dari semua relasi. Kami sudah bertumbuh sedikit lebih bijak. Kami sudah menapaki satu langkah kecil yang lebih maju dari hal yang kekanak-kanakan.