Harga Kemurahan Hati

(Jamie A. Hughes)

Kita tidak boleh terlalu sibuk untuk dapat memerhatikan orang lain – dan mengasihi mereka – seperti yang dilakukan Tuhan.

Minggu pagi bisa menjadi hari yang paling “rempong” dalam seminggu bagi keluarga yang memiliki anak-anak kecil. Membangunkan semua orang, menyiapkan makanan, membantu berpakaian, sampai akhirnya meninggalkan rumah terasa seperti tugas yang sangat berat – salah satu hal yang hanya dapat dilakukan dengan berdoa dan berpuasa. Karena itu, setiap kali saya melihat satu keluarga berjalan memasuki pintu gereja, saya tidak bisa tidak merasa bangga pada mereka, karena saya teringat pada saat dan segala sesuatu yang dituntut dari saya ketika saya menjadi seorang istri dan ibu.

Beberapa minggu lalu kami duduk di dekat satu keluarga yang memiliki dua anak kecil, laki-laki dan perempuan, yang berumur di bawah 5 tahun. Mereka menyelinap masuk setelah ibadah dimulai dan duduk dengan berusaha sedapat mungkin untuk tidak menarik perhatian. Si Ibu sudah membawa beberapa mainan untuk setiap anak dan bahkan sudah memikirkan membawa selimut untuk menutupi bangku gereja dan mengatur agar segala sesuatu tidak menjadi terlalu gaduh.

Ia mengawasi mereka sepanjang kebaktian berlangsung, membagi perhatian antara beribadah dan menangani aktivitas mereka. Ia tersentak setiap kali ada suara yang sedikit terlalu berisik baginya, dan saya melihat ia memeluk setiap anak secara bergantian ketika mereka menjadi rewel, berbicara dengan manis kepada mereka dan mengecup atas kepala mereka. Jelas itu adalah pekerjaan ganda yang luar biasa, tetapi entah bagaimana, ia berhasil melakukannya, meskipun seluruh pengalaman itu jelas membuatnya agak tertekan.

Ketika ia berkemas-kemas, saya membungkuk untuk mengambil beberapa mainan yang agak jauh dari jangkauannya dan menyerahkannya padanya. Kami lalu melipat selimut, membuatnya sampai cukup kecil untuk bisa dimasukkan ke dalam tasnya. Kami melakukan semuanya tanpa berkata-kata, dua wanita yang melakukan tugas yang perlu dilakukan dengan kecekatan dan ketepatan, tetapi saya merasa terdorong untuk mengatakan sesuatu padanya sebelum kami berpisah. Sambil menepuk tangannya, saya menatap matanya dan berkata, “Saya melihat Anda, Mama.” Saya ingin ia tahu bahwa, jauh dari sikap menghakimi atas segala hal yang mungkin gagal ia lakukan, seseorang telah memerhatikan semua kerja keras itu dan percaya bahwa ia sudah melakukan pekerjaan yang sangat baik.

Dampaknya terlihat seketika. Bahu dan wajahnya menjadi lebih rileks, dan ia menarik napas panjang yang melegakan. Ia bahkan tersenyum kecil ketika berkata, “Terima kasih.” Momen yang begitu singkat. Sebelum kami dapat mengucapkan perkataan lain kepada satu sama lain, anak-anak itu mulai menarik-narik bajunya, mengatakan seperti mereka ingin makan donat di ruang persekutuan, dan mereka lalu keluar bersama-sama – si rambut keriting yang acak-acakan dan si pemakai kemeja yang sudah tidak rapi lagi, yang bahagia.

Dalam buku Fully Human: 21 Days to Flourishing Relationships, Dr. Stanley menulis, “Seberapa baik kita mengasihi, mendengarkan dan berkorban bagi orang lain mungkin berbeda-beda kadarnya, tetapi hal ini tidak boleh dilakukan hanya pada orang-orang terdekat kita saja. Seberapa sering perjalanan hidup kita pada suatu hari berubah karena perkataan yang ramah, pengorbanan kecil atau senyum bersahabat dari orang lain? Kita bisa memberikan kasih karunia yang sama kepada orang-orang di sekitar kita – dari pejalan kaki di trotoar sampai orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersama kita.”

Ada banyak peristiwa ketika saya menerima tindakan-tindakan kemurahan semacam itu: kata-kata yang menguatkan dari rekan-rekan pengajar ketika saya akan meninggalkan kelas selamanya; ungkapan turut berdukacita yang tulus dan makanan-makanan masakan-ruman dari teman-teman gereja ketika kakek saya meninggal; dan bahkan pujian dari seorang tak dikenal yang berkata bahwa saya kelihatan cantik pada saat saya sedang merasa sangat kacau. Amsal 17:22 berkata, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Saya sudah mengalami kedua keadaan ekstrem itu dan yakin bahwa ketika ada orang yang mengasihi dengan baik melalui perkataan dan perbuatan, hati yang gembira saya dipulihkan. Kelemahlembutan dan perhatian mereka mengubah segala sesuatu. Karena mereka, saya tahu betapa berartinya kita dalam perjuangan satu sama lain, dan mata saya selalu terbuka. Saya ingin menjadi orang seperti itu bagi orang lain. Saya perlu menunjukkan belas kasih sebanyak yang perlu diterima orang lain (bahkan lebih banyak lagi).

Empat kata sederhana pada Minggu pagi itu tidak mengharuskan saya membayar harga apa pun, tetapi saya bisa katakan perkataan itu sangat berarti baginya – sesama peziarah yang dalam perjalanan seperti saya, yang berjalan dalam terang, kebenaran dan kasih Tuhan sebaik yang ia tahu (Kisah Para Rasul 9:2; 1 Yohanes 1:5; 2 Yohanes 1:4-5). Dalam khotbahnya tentang Persahabatan Kristen, Dr. Stanley berkata, “Tuhan menciptakan kita bukan hanya untuk diri-Nya, tetapi Dia menciptakan kita untuk satu sama lain. Dia menciptakan kita untuk saling membutuhkan. Dia menciptakan kita untuk bekerja sama dan bersekutu dengan satu sama lain.” Dalam waktu yang sangat singkat, ibu muda itu dan saya, telah berada bersama-sama dalam komunitas yang saling menunjukkan kasih kepada satu sama lain. Jika itu bukan kasih karunia, saya tidak tahu lagi apa namanya itu.