Hasrat Untuk Menyembah

(Jamie A. Hughes)

Ada alasannya mengapa berhala itu berbahaya—mereka mengambil bentuk-bentuk yang menyenangkan.

Gambar-gambar kartun, terutama yang dibuat Warner Bros, penuh hal-hal kocak dan mustahil. Satu gambar yang melekat di benak saya adalah gambar sebuah pabrik yang bergetar dan menyemburkan asap, sementara barisan mainan atau mesin-mesin yang bentuknya sama persis tak habis-habisnya bergerak di sepanjang sabuk pengikat barang yang berputar. Namun, betapapun kocaknya gambar itu, kelucuan itu tidak jauh dari kebenaran yang menyangkut kecenderungan hati manusia untuk membuat berhala. Perhatikan Yesaya 44:9-20  ketika nabi Yesaya menggambarkan seorang tukang kayu yang memakai batang pohon untuk dua kegunaan yang berbeda: “Setengahnya dibakarnya dalam api dan di atasnya dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang … Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi allah, menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya” (Yesaya 44:16-17). Kita mungkin menertawakan hal yang tak masuk akal itu, tetapi faktanya kita sendiri juga melakukan kebodohan yang sama.

Ada beberapa kata yang diterjemahkan sebagai berhala di dalam Perjanjian Lama: terafim, sejenis berhala keluarga; gillul, yang secara kasar diterjemahkan sebagai “benda tak berbentuk” atau “gambar boneka”; dan pesel, yang merujuk pada “patung pahatan”, yang seringkali menyerupai manusia atau binatang. Di dalam Perjanjian Baru, kata yang paling sering digunakan adalah eidólon, istilah Yunani yang berarti “gambar atau rupa.” Tetapi, penggunaan awalnya yang diketahui sudah beberapa abad sebelum Paulus dan merujuk pada sesuatu yang jauh lebih spesifik daripada patung ukiran sederhana. Dalam bahasa Yunani, kata itu merujuk pada gambar roh orang yang sudah meninggal—semacam hantu. Homer menggunakan kata ini dalam kedua puisi epiknya untuk menggambarkan orang mati yang berkeliaran di Troy dan di rumah Odysseus di pulau Ithaca.

Dalam banyak kasus di dunia kuno, berhala fisik menyerupai manusia, dan alasannya mudah dimengerti. Apakah Anda melihat diri kita baru-baru ini? Manusia itu indah. Keindahan arsitektur tulang-tulang kita dan lekukan-lekukan lentur daging tubuh kita membuat kita menjadi karya seni yang sesungguhnya, yang sangat masuk akal, mengingat fakta bahwa Tuhan menciptakan kita dengan tangan-Nya sendiri dan, ketika Dia menjadikannya bersama segala sesuatu yang lain di Taman Eden, Dia menyatakan bahwa kita sungguh amat baik. Tetapi dalam keinginan kita untuk menjadi allah sendiri, kita membelokkan keindahan itu kepada tujuan-tujuan suram kita sendiri. Berhala-berhala kita, tidak seperti karya seni yang hebat, tidak merayakan keindahan rupa manusia, tetapi merusaknya.

Kecenderungan kita kepada penyembahan berhala begitu kuat, sehingga, itulah salah satu hal terakhir yang disampaikan Yosua kepada orang Israel sebelum ia meninggal: “Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah;… . Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:14-15). Bob Dylan mengungkapkan kebenaran yang sama beberapa abad kemudian ketika ia bernyanyi, “You may be an ambassador to England or France / You may like to gamble, you might like to dance / You may be the heavyweight champion of the world / You may be a socialite with a long string of pearls / But you’re gonna have to serve somebody, yes indeed / You’re gonna have to serve somebody.”  (“Anda mungkin duta besar di Inggris atau Prancis / Anda mungkin suka berjudi, Anda mungkin suka menari / Anda mungkin juara kelas berat dunia / Anda mungkin seorang sosialita dengan untaian mutiara yang panjang / Tetapi Anda harus melayani seseorang, ya sungguh / Anda harus melayani seseorang.”)

Apa yang diakui kedua orang ini—dan yang juga harus kita pahami—adalah bahwa manusia dipenuhi dengan hasrat-hasrat keinginan yang baik: hasrat atau kerinduan untuk menyembah. Tetapi kerinduan itu harus diarahkan kepada penerima yang tepat: Dia yang layak menerima segala pujian dan penyembahan. Kita mungkin tidak memakai kayu atau batu sekarang ini, tetapi kita masih membelokkan penggunaan banyak hal untuk tujuan-tujuan yang jahat. Pikirkan tentang uang, misalnya. Uang dapat digunakan untuk melakukan banyak kebaikan di dunia ini—memberi makan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, menyambut orang asing, mewujudkan keadilan. Tetapi yang lebih sering, cinta akan uang membuat orang menimbun kekayaan untuk diri sendiri, yang biasanya dengan merugikan orang lain.

Anak-anak juga bisa menjadi berhala: miniatur diri kita yang kita manjakan dan besarkan untuk kesuksesan. Karier, keluarga, minat/hobi, dan prestasi—semuanya diam-diam bisa menjadi harta milik yang disembah tanpa memperhatikan fakta, dan yang sangat penting bagi kita, bahwa kita seharusnya meletakkannya di tempat yang tepat. Seperti dikatakan Dr. Stanley, “Berhala adalah hal-hal yang tidak kentara. Berhala bisa mengambil berbagai macam bentuk dan ukuran, hidup atau mati. Dan terkadang mereka menyelinap masuk tanpa kita sadari bahwa mereka sudah ada di sana. Mereka bersaing dengan Tuhan dalam hidup kita.” Sangat mudah untuk menggantikan Pencipta dengan ciptaan. Kita melakukan hal itu dengan seribu macam cara setiap hari, dengan menempatkan kasih kita di tempat yang salah secara sembarangan. Perlu usaha yang disadari untuk terus menjaga pikiran dan hati kita tetap terfokus pada Bapa. Sebuah keputusan yang harus kita lakukan berulang kali—resolusi yang harus kita penuhi  dengan pertolongan Roh Kudus.