Jangan Takut

Alkitab memperingatkan kita lagi dan lagi untuk tidak takut pada apa pun, tetapi banyak orang Amerika — termasuk orang Kristen — membiarkan ketakutan mendominasi hidup mereka.

Oleh Mike Cosper

Beberapa bulan yang lalu putri saya terkilir bahunya. Pada saat itu, itu adalah misteri yang nyata bagi kami. Dorothy tidak ingat melakukan sesuatu yang khusus yang menyebabkan pundaknya keluar dari sendi; dia baru menyadari, selama di sekolah, bahwa dia tidak bisa mengangkat lengannya.

Kami membawanya ke ruang gawat darurat, berbicara dengan dokter tentang apa yang salah. Beberapa anak, kata mereka, memiliki persendian yang longgar dan hal semacam ini terjadi begitu saja. Mungkin ada penyebab mendasar lainnya juga — gangguan sendi atau penyakit autoimun. Saat kami duduk di sana, banyak kemungkinan yang terjadi. Bahu yang terluka bisa berarti banyak hal menakutkan. Jadi untuk lebih amannya,kami mengizinkan putri kami untuk dibius menyeluruh dan diatur ulang bahunya.

Ketika tiba saatnya untuk menjalani prosedur, kami pindah ke sesuatu yang mirip dengan ruang operasi besar. Mereka mengenakan jubahrumah sakit pada Dorothy, membaringkannya di atas brankar yang terlalu besar baginya, dan memasukkan infus ke lengan kecilnya. Mereka menjelaskan prosedurnya dan kemudian menyuruh kami duduk di dekatnya. “Jangan kuatir,” kata mereka. “Kami melakukan hal ini sepanjang waktu.” Kami melihat seperti sepasukan dokter dan perawat berbaris di sekelilingnya. Dokter yang memimpin operasi memberi tahu Dorothy untuk mulai menghitung mundur, dan mereka menyuntikkan obat bius ke dalam infusnya. Dengan cepat dia tertidur, dan tim medis langsung bertindak, menggerakkan lengannya dan mencoba memindahkannya kembali ke tempatnya.

Ada dua hal yang langsung terlihat tidak beres. Yang pertama, kamimelihat, adalah rasa panik dari para dokter karena persendiannya tidak mau bekerja sama. Yang kedua adalah ketika alarm berbunyi. Anestesi telah menghentikan napas Dorothy.

Kami menatap dengan mata terbelalak saat mereka memompa udara ke paru-parunya. Ajaibnya (dan saya bersungguh-sungguh dengan kata ini), seorang dokter muda berjalan ke ruangan dan bertanya apa yang sedang terjadi. Ternyata dia adalah residen ortopedi pediatrik, dan saat melihat masalah dengan persendiannya, dia dengan cepat mengambil alih. Pada saat yang sama, dia mulai bernapas normal lagi, dan mereka menghentikan aliran obat bius. Ruangan itu berhenti berputar. Satu demi satu, perawat dan dokter pergi, memastikan kami bahwa semuanya baik-baik saja. Dan faktanya, memang demikian. Tak lama Dorothy bangun dan meminum Sprite. Denyut nadi kami kembali normal. Kami membawanya pulang dan menidurkannya.

Saya dan istri saya menutup pintu, kami saling memandang, dan mulai menangis.

Saat Anda takut, tubuh Anda akan beraksi, dan Anda berpikir harus berbuat apa. Darah tambahan mengalir ke otot-otot Anda, yang dapat membuat Anda merasa gugup dan gelisah. Anda menjadi berkeringat atau merinding. Reaksi-reaksi ini hampir bersifat universal, dan merupakan bagian dari pengalaman manusia sejak lahir. Tidak dapat dihindari bahwa Anda akan mengalami ketakutan dalam hidup Anda; jadi, pertanyaan yang harus diajukan adalah bagaimana cara menghadapinya.

Setelah cedera putri saya, keinginan kami untuk melindunginya sangat kuat. Kami ingin menemukan cara untuk mengunci bahunya di tempatnya. Untuk memastikan dia tidak akan pernah harus menjalani anestesi lagi. Pada hari-hari setelah cederanya, jika Anda menawarkan pada kami cangkang pelindung untuk memasukkan dia dan saudara perempuannya, kami akan dengan senang hati mengambilnya. Tetapi sesuatu yang luar biasa terjadi ketika kami membawanya ke ahli bedah ortopedi. Dia hanya mengangkat bahunya dan menguatkan kami untuk tidak kuatir. “Inilahputri Anda,” katanya. “Ini adalah tantangannya, dan dia bisa hidup dengan itu.” Kami bertanya tentang implikasi di masa depan saat iaberolahraga dan bermain, dan dia kembali mengangkat bahunya. “Setelah dia selesai dengan terapi fisiknya, dia dapat melakukan apa pun yang dia inginkan. Dia mungkin akan mengatasinya, atau dia bisa saja terkilir lagi. Tetapi kita akan dapat menemukan cara untuk mengatasinya.”

Terapi fisik menjadi bagian penting dari kehidupannya selama beberapa bulan ke depan. Setiap minggu, terapis akan menantang Dorothy untuk menggunakan bahunya lebih banyak, melakukan berbagai latihan yang membawa kekuatan dan stabilitas pada sendinya. Cara untuk menjaga bahu tetap sehat adalah dengan menggunakannya, mengkonfrontasinya, dan menantangnya secara langsung — bukan dengan menahannya dengan maksud untuk melindunginya. Bagi saya, ini tampak berlawanan dengan intuisi.

Ketakutan tidak bisa dihindari, tetapi reaksi kita terhadapnya dapat menuntun kita ke berbagai arah. Terkadang naluri kita yang paling cepat — dalam hal ini, untuk menarik dan melindungi — adalah reaksi yang salah. Bagaimana jika Alkitab memanggil kita untuk bersikap berani dan mengkonfrontasinya? Tampaknya memang berlawanan dengan intuisi, tetapi itulah tepatnya yang kita akan temukan saat kita mulai melihat ke sekitar.

Ungkapan “jangan takut” muncul puluhan kali dalam Alkitab. Allah mengatakannya. Malaikat mengatakannya. Yesus mengatakannya. Itu adalah tema yang gigih, pastinya. Namun, jika kita tidak berhati-hati, kita mungkin salah membacanya sebagai pernyataan moral tentang rasa takut, seolah-olah perasaan / emosi itu sendiri adalah dosa atau salah. Sebaliknya, kita seharusnya melihat pernyataan-pernyataan ini dalam konteks ceritanya. “Jangan takut” adalah respons terhadap rasa takut, bukan rasa malu terhadap rasa takut. Itu adalah undangan kepada keberanian — untuk mendekat ke hadirat Tuhan atau pergi ke dunia dengan keyakinan bahwa Tuhan beserta kita.

Sebuah perikop tentang rasa takut terdapat dalam Yesaya 41. Klimaksnya pada ayat 10, dimana sang nabi menulis, “Janganlah takut, sebabAku menyertai engkau.” Konteks ayat ini sangat membantu untuk memahami mengapa Allah mengundang kita untuk “jangan takut” —dua ayat sebelumnya berbunyi,” Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi; engkau yang telah Kuambil dari ujung-ujung bumi dan yang telah Kupanggil dari penjuru-penjurunya, Aku berkata kepadamu: “Engkau hamba-Ku, Aku telah memilih engkau dan tidak menolak engkau” (Yesaya 41:8-9).

Sebelum Allah memberi tahu kita “jangan takut,” Dia mengingatkan kita tentang siapa Dia dan apa yang telah Dia lakukan. Dia adalah teman Abraham yang telah “mengambil” kita, “memanggil” kita, dan “memilih” kita. Realitas ini menjadi latarbelakang bagi keberanian kita: Kita adalah milik Tuhan, yang mengasihi kita dan memanggil kita sebagai teman. Dia membawa setiap kita ke tempat dimana kita dapat mengenal-Nya, dan sebagai anak-anak-Nya, kita telah diselamatkan dari hal terburuk yang pernah terjadi — keterpisahan dari-Nya. Kita ditarik oleh-Nya, dan itu memberi kita alasan untuk tidak takut.

Kemudian kita sampai pada Yesaya 41:10: “janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”Tuhan menyertai kita. Dia akan “meneguhkan,” “menolong,” dan “memegang” kita. Tuhan yang menyebut kita sebagai milik-Nya tidak akan meninggalkan kita. Ini bukanlah kata-kata hampa, terutama bagi para pembaca asli kitab Yesaya, yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang memusuhinya. Bagian ini dilanjutkan dengan berkata, “Sesungguhnya, semua orang yang bangkit amarahnya terhadap engkau akan mendapat malu dan kena noda; orang-orang yang membantah engkau akan seperti tidak ada dan akan binasa; engkau akan mencari orang-orang yang berkelahi dengan engkau, tetapi tidak akan menemui mereka; orang-orang yang berperang melawan engkau akan seperti tidak ada dan hampa. Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: “Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau.”(Yesaya 41: 11-13).

Karena Dia adalah Tuhan kita, ancaman yang mengelilingi kita pada akhirnya tidak akan membahayakan kita. Bagi bagsa Israel, janji ini bersifat politis. Dalam realita baru yang diresmikan Yesus, janji-janji ini masih ada, tetapi dengan cara yang jauh lebih dalam. Kita tahu bahwa musuh kita bukanlah darah dan daging. Si musuh sejati — yaitu, mereka yang “marah” terhadap kita — adalah Iblis, dosa, dan maut. Mereka tidak akan menjadi “apa-apa.” Kerajaan Allah maju dengan cara yang pada akhirnya akan mengakhiri mereka.

Maka, pertimbangkan bagaimana hal itu mengubah cara kita memandang dunia kita — “musuh” kita, konflik kita, dan bahkan pemahaman kita tentang bahaya. Yesus sendiri memberi tahu kita, “Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa” (Matius 10:28). Ini adalah kata-kata yang sulit untuk orang-orang Yahudi yang ditindas oleh orang Romawi dan dibenci oleh tetangga Samaria mereka. Namun Yesus mengatakan kepada mereka untuk tidak takut akan apa yang dilakukan musuh-musuh semacam itu terhadap mereka tetapi sebaliknya untuk “takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu.Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.” (Mat. 10: 28-31).

Ini harus menjadi kata-kata yang sulit bagi pembaca mana pun, dan tentu saja itu menantang bagi kita. Di Amerika Utara, kami dikelilingi oleh budaya yang memangsa rasa takut. Hal itu mengisi retorika politik kita. Hal ini memicu konsumerisme kita. Hal itu membuat ruang untuk kecemasan. Psikolog berbicara tentang rasa takut sebagai salah satu “emosi utama” kita — emosi yang sering kali terletak di bawah emosi lain seperti kecemasan dan kemarahan. Yoda juga membicarakan hal ini, ketika dia memperingatkan Anakin Skywalker bahwa “rasa takut mengarah pada kemarahan. Kemarahan menuntun pada kebencian. Kebencian menuntun pada penderitaan.”Ya, kata-kata bijak diucapkan oleh satu boneka hijau, namun tetap benar adanya.

Ketika saya berpikir tentang kemarahan sebagai emosi sekunder, saya langsung memikirkan gambar-gambar mengerikan dari Charlottesville: supremasi kulit putih berbaris dengan obor, wajah mereka dipenuhi amarah. Tentunya di balik amarah ini adalah ketakutan yang jauh lebih dalam — takut kehilangan, takut tidak mampu, dan yang terutama, takut akan “orang lain.” Respons terhadap kemarahan seperti itu, bagi mereka yang memahaminya, seharusnya rasaiba, doa, dan harapan bahwa pada titik tertentu mereka dapat mendengar kata “jangan takut” dan bertobat.

Bagaimana kelihatannya bagi gereja untuk menjadi tempat tanpa rasa takut yang benar? Agar komunitas kita ditandai oleh semangat kepercayaan dan keberanian yang berlawanan dengan budaya, didorong oleh pengetahuan bahwa kita adalah milik Tuhan dan tidak ada yang dapat benar-benar melukai kita begitu jiwa kita aman di dalam Dia? Bagaimana jika kita merupakan suara kenabian yang konsisten dan mengatakan, “Jangan takut”? Dunia mungkin akan menjadi tempat kedamaian yang lebih besar. Dunia pasti akan menjadi tempat dengan sedikit kemarahan.

Ini bukan berarti saya mengatakan tidak ada bahaya dan tekanan yang harus kita hadapi. Gereja berada di tempat yang lemah dalam budaya kita, karena sekularisme sedang bangkit dan kebebasan beragama dipertentangkan. Tetapi alih-alih membiarkan rasa takut mendorong kita naik ke gunung atau ke tempat tersembunyi dari apa yang kita imani secara pribadi, kita harus mengikuti undangan Yesus dari perikop dalam kitab Matius ini: “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.”(Matius 10:27). Dengan kata lain, hadirlah dengan berani di dunia yang memusuhi kita, dan buatlah kerajaan Allah terlihat di tempat yang tidak terlihat. Undanglah dunia untuk mengenal Allah yang memberi tahu mereka, “Jangan takut.”

Demikian juga, keberanian yang berlawanan dengan budaya akan membuat kita curiga terhadap mereka yang memicu kecemasan dan kemarahan. Ketika para politisi, pakar, dan yang lainnya memberi tahu kita untuk takut — entah mereka memicu ketakutan tentang apa yang mungkin dilakukan suatu partai, perubahan budaya apa yang mungkin terjadi, atau apa yang mungkin dilakukan oleh “orang lain” di dunia kita— kita harus melawan mereka. Kita dapat dengan serius menanggapi panggilan untuk merawat para janda, anak yatim, para pendatang (baca: imigran), orang miskin, orang sakit, orang tua, pemarah, orang yang remuk hati, dan yang terhilang dan mendekat kepada mereka meskipun ada ketakutan yang mungkin timbul. Kita mempercayakan hidup kitakepada pemeliharaan tangan Tuhan dan bergerak menuju dunia, bukan menjauhinya.