Kasih Yang Timbal Balik

(Charity Singleton Craig)

Ketika Yesus datang, Dia tidak mengikuti hierarki duniawi

 

Ketika masih kecil, saya sering melihat kakak saya menunjukkan cara-cara menjelajahi kehidupan. Gerry adalah teman pertama saya, dan orang pertama yang saya ikuti. Saya belajar membaca di usia dini karena saya tertarik dengan bacaan yang bisa ia baca. Saya juga mengerti cara berelasi dengan orangtua karena melihat Gerry berinteraksi dengan mereka. Meskipun ayah dan ibu saya memberi saya kebijakan dan pengarahan yang luar biasa, saya tidak pernah mendengarkan nasihat mereka sesaksama jika kakak saya yang menyampaikannya. Ia mengerti saya.

Relasi saya dengan orangtua berlangsung dengan sistem hierarki bawaan. Saya memperlakukan mereka dengan hormat (atau tidak) berdasarkan posisi mereka yang berotoritas atas saya. Sebuah relasi yang tidak seimbang selama minimal 18 tahun pertama: Mereka menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran saya. Mereka menyediakan kebutuhan-kebutuhan saya. Mereka memberitahukan apa yang harus saya lakukan dan bagaimana saya harus bertindak.

Tetapi relasi saya dengan kakak saya berlangsung dengan cara yang berbeda. Ia adalah orang pertama yang bertengkar dengan saya, dan orang pertama yang dengannya saya harus menyelesaikan pertengkaran. Relasi kami harus timbal balik. Pastinya, ketika saya masih sangat kecil, ibu saya mungkin memaksanya untuk bermain dengan saya, untuk membiarkan saya mengikutinya ke mana-mana, dan berlaku baik terhadap saya. Jika bukan karena paksaan itu, belum tentu ia akan menggembirakan saya atau menerima kekurangan-kekurangan saya sebagaimana halnya orangtua saya. Ia tidak harus begitu.

Di sisi lain, Yesus mengajarkan pada kita bagaimana berada dalam relasi yang timbal balik dengan Allah, untuk berinteraksi, mendekat dan mengasihi tanpa dipaksa. Sebagaimana dikatakan penulis surat Ibrani, Yesus bukanlah “imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Yesus mengerti paksaan/tekanan daging, waktu dan bahkan dosa serta dampak-dampaknya pada dunia ini. Namun Dia mencontohkan cara berdoa, menyembah, melayani dan mengasihi Allah sebagai seorang saudara – sebagai sesama ahli waris. Dia bahkan menunjukkan pada kita bagaimana menderita bagi Kerajaan Allah, dan seperti ditulis oleh Paulus, untuk “mendapat bagian dalam kemuliaan-Nya juga” (Roma 8:17).

Dan memiliki Yesus sebagai Saudara tidak hanya mengajar kita cara berelasi dengan Allah dari posisi kita yang lemah (=di bawah otoritas-Nya). Kita juga diajar bagaimana mengasihi orang lain dalam relasi-relasi yang tidak hierarkis (=sejajar). Ketika Yesus berkata bahwa setiap kali kita melayani “orang-orang yang paling hina,” kita melayani Dia, itu adalah panggilan untuk lebih dari sekadar melayani (Matius 25:40). Di sini Yesus memanggil kita untuk berelasi dengan orang lain secara setara. Yesus, Saudara kita yang berinkarnasi, mengangkat harkat manusia dan meneguhkan bukti penerimaan-Nya atas setiap anak maupun orang berusia lanjut, setiap anak jalanan maupun anak kalangan hartawan, setiap gelandangan yang mengulurkan tangan maupun wanita berpakaian mewah dan bersepatu hak tinggi. Umat manusia itu sendiri adalah keluarga yang setara, dan denganberada di antara orang-orang yang paling hina, Yesus menegaskan bahwa itu adalah kebenaran.

Yesus sendiri memiliki beberapa saudara kandung di bumi ini. Dan saya membayangkan apa yang dipikirkan saudara-saudara Yesus itu ketika Dia berkata, “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” ketika mereka mencari-Nya (Markus 3:33). Apakah perkataan itu terasa sangat menyakitkan? Apakah saat itu merupakan titik kritis dalam relasi mereka?

Atau, apakah Yesus sedang menyampaikan hal lain? Bahwa relasi yang penting di awal hidup kita adalah menyiapkan kita untuk menerima lebih banyak orang lain di sepanjang hidup kita. Dengan Yesus sebagai Saudara kita, kita semuanya benar-benar adalah sebuah keluarga.