Kelahiran dan Kelepasan

kelahiran-dan-kelepasanSeperti yang umumnya dilakukan orang ketika melihat bayi yang baru lahir, kita akan memandang takjub, memuji dan meluncurkan kata-kata seperti: oh hidungnya semungil kuncup bunga mawar, rambutnya hitam lebat dan lembut…. Saat membuai bayi merah saya dalam dekapan, saya pun tak dapat berkata-kata untuk mengungkapkan betapa indah dan dalamnya kasih yang saya rasakan: membuat saya ingin melindungi dan merawatnya, memastikan kesehatan dan perkembangannya, meskipun saya harus mengorbankan diri saya sendiri.      

Para orangtua memang berkorban bagi anak-anaknya. Saya memahami hal ini sebelum anak sulung saya lahir, sebelum saya tahu apa artinya – atau tepatnya untuk siapa – saya berkorban. Seperti yang dialami banyak calon ibu, saya selalu muntah-muntah di bulan-bulan awal kehamilan saya dan harus mengunyah obat maag pada bulan-bulan berikutnya untuk mengatasi rasa panas di dalam perut. Saya mengalami perubahan suasana hati dan kecemasan yang luar biasa. Dan kemudian, tentu saja, saya mengalami saat melahirkan itu sendiri, yang merupakan puncak penderitaan.

“Mengapa Tuhan menginginkan saya menderita seperti ini?” tanya saya pada suatu ketika. “Yah begitulah kalau ingin memiliki seorang bayi,” jawab perawat. Kalau begitu aku tak yakin aku menginginkannya, pikir saya. Oh diri saya yang kurang beriman, saya tak sanggup mengharapkan kehidupan baru yang menanti saya di balik segala kesakitan dan penderitaan ini.    

Ayat Alkitab yang biasanya digunakan saat membicarakan tentang kelahiran adalah Kejadian 3:16, di mana Allah berkata bahwa Dia akan membuat "susah payah yang sangat banyak” waktu perempuan mengandung dan melahirkan kehidupan baru ke dunia ini. Namun, di dalam perikop itu juga ada pertanda bahwa suatu kelepasan akan datang dari kesengsaraan itu. Kelahiran adalah sebuah proses yang meliputi penderitaan, tetapi juga membawa pengharapan. Penderitaan yang sama – meski caranya tidak sama – dengan penderitaan yang membuat orang Kristen menyebut hari Jumat kematian Yesus sebagai Jumat Agung (Good Friday).    

Bagi saya, rintangan terbesar dalam saya menggapai keutuhan adalah saya sering tergesa-gesa, secara rohani: saya ingin langsung melompat ke “Pagi Kebangkitan” sementara saya masih berada ditengah peristiwa “Jumat Agung.” Dan bagi saya, ketergesa-gesaan ini biasanya berupa kecemasan, ketika saya menuntut jaminan-jaminan yang mustahil bahwa segala sesuatu harus menjadi baik.    

Ketika putra kedua kami baru berumur 18 bulan, ia terkena infeksi serius yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama delapan hari. Ia dipasangi berbagai selang yang dihubungkan ke monitor yang akan berderit keras ketika obatnya hampir habis atau saya menyenggolnya tanpa sengaja. Saat itu kami tinggal di Jerman, dan selama di rumah sakit itu tak ada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan sangat jelas. Bahasa Jerman saya dan bahasa Inggris mereka tidak cukup memadai untuk membuat saya mendapat penjelasan yang memuaskan. Dalam keterasingan dan ketakutan saya, saya menyadari keputusasaan saya. Sambil mendekap putra saya yang tertidur, saya memohon agar Tuhan menyelamatkan nyawanya.     Saya tidak mau mengakui, bahkan kepada Allah, bahwa anak saya bisa mati dan tidak ada yang dapat saya lakukan tentang hal itu. Sekalipun saya bisa berbahasa Jerman dan menjadi dokter spesialis penyakit anak, saya benar-benar tidak berdaya menghadapi ketakutan yang tak tertanggungkan itu: kematian itu sendiri. 

Namun, bukankah saya sudah memiliki janji bahwa tidak ada apa pun yang dapat memisahkan saya dari kasih Allah dalam Kristus Yesus? Bukankah kematian dan kebangkitan Yesus adalah jaminan pasti dari janji itu: yang menjamin bahwa kita juga kelak akan dibangkitkan dalam keutuhan? 

Kita tak bisa benar-benar tahu apa yang ada di balik segala penderitaan kita. Saya tak bisa membayangkan si kecil yang akan hadir dalam kehidupan kami ketika saya melahirkan bayi pertama kami ke dunia. Atau, mana mungkin, ketika saya sedang mendekap anak kedua saya di rumah sakit, saya bisa membayangkan betapa gembiranya anak-anak saya kelak, atau bagaimana senyumnya menyejukkan hati saya? Saya tidak mengerti bahwa penderitaan itu berharga, bahwaalih-alih dihancurkan oleh penderitaan itu, saya justru akan menjadi utuh dengan mengasihi mereka.      

“Sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin,” kata Paulus di Roma 8:22, “sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (ayat23).Namun, justru melalui penderitaan itulah kita bisa mengerti bahwa realitas kebangkitan akhir kita – yang saya sebut realitas Ciptaan Baru – memiliki banyak kesamaan dengan proses kelahiran bayi di dunia ini. Kita harus berpengharapan bahwa penderitaan yang kita alami sekarang ini adalah bagian dari pekerjaan Allah yang dimaksudkan untuk mendatangkan kebaikan dan kemuliaan.        

Untuk menggapai keutuhan, kita tak boleh lupa bahwa Jumat Agung terjadi sebelum Minggu Kebangkitan, yang bisa jadi sangat lama sebelum kita memahami arti kesedihan kita yang mendalam. Ada semacam keutuhan yang didapat hanya dengan mengakui – selama kita menanti dalam pengharapan – bahwa realitas yang akan datang itu akan lebih jelas, lebih indah, lebih dikenal, dan lebih sangat mengejutkan dari yang pernah kita bayangkan. Bagi kita yang sudah melihat gambaran yang samar-samar itu, kita akan melihat Yesus (I Korintus 13:12). Dan kita akan memandang-Nya dengan penuh rasa takjub.

-Rachel Marie Stone